Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, March 16, 2018

Satu-Satu











Satu-Satu












Apa ada yang lebih tulus dari hati?
Sepanjang diksi yang dipilih
Tak satupun makna yang mematikannya.

Begitu pula dunia mencoba mengerti
Butiran hati, lengket oleh sejarah
Menyusun album-album lama, menjadikannya tiada.

Lalu, apa ada yang lebih tulus dari hati?
Bertubi pisau terasah, mengirisnya segila-gila
Tabah, dalam ujung ajalnya.

Di jalanan, orang-orang berdemonstrasi
Menyerukan seribu aksi
Agar ketulusan tetap terpagar.

Lantas, apa ada yang lebih tulus dari hati?
Semuanya tentu sepakat
Ketulusan ada, jika hati merestui.
 


Benturan itu terdengar dari dapur. Keributan ini lebih parah dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Seseorang sedang bergulat dengan benda mati. Aku hanya menonton keheranan. Paman suka mengoleksi es batu. Pria paruh baya ini menjadi satu-satunya makhluk yang paling unik bagiku. Satu persatu diletakkannya es ini di dalam baskom. “Hanya sekedar menyapa: selamat pagi” imbuhnya menjelaskan padaku. Paman tidak bercanda? Pagi-pagi memecahkan sepuluh bungkus es batu, hanya untuk diucapkan selamat pagi. Tapi protes itu hanya dibalas dengan senyuman. Mati keheranan aku dibuatnya, keromantisan ini tidak bisa dijelaskan secara logika. “Begitu saja terus, ucapkan padanya.” Teriak bibi yang sedang menanak nasi di kompor. Puluhan tahun berumah tangga, setiap minggu tidak pernah menyapa selamat pagi. “ada! kemarin” Paman membela dirinya. Bibi yang saat itu memegang centong nasi mengangkatnya tinggi. Dengan helaan nafas panjang dia membalas : Kemarin? Ingatkah sekarang tanggal 3. Dirimu mengucapkan selamat pagi itu tanggal 2, bulan lalu. Sedangkan ucapan itu selalu kudengar setiap kau menyapa es batumu itu. Aku sudah kalah darinya, dan aku terbalut cemburu.
       Antara makan dan melerai, aku lebih memilih makan. Membiarkan kisruh internal itu diselesaikan berdua. Menjadi seorang remaja polos yang tidak tau urusan rumah tangga. Begitu keduanya diam, suasana menjadi hening. Semua disibukan dengan urusan tersendiri. Hanya terdengar suara TV di ruang tamu. Berbicara tapi tak ada penonton, hanya mengisi kekosongan hari. Rumah ini seperti kuburan, sunyi, tenang, sepi, adem ayem dan aku merasa bosan. Paman dan Bibi tidak pernah bisa akur, meski hubungan berumah tangga terbina puluhan tahun. Pernah dulu ada pertikaian yang luar biasa. Mengalahkan kisruh di perang dunia kedua. Bibi terbalut cemburu karena paman membawa es batu kesayangannya untuk tidur sekasur bersama mereka. Pertikaian ini berakhir ditangan dukun, bibi mengira paman sudah kemasukan roh jahat. Paman sempat sembuh, atau pura-pura sembuh. Beberapa jam kemudian, kembali dia mengucapkan selamat siang kepada es batunya.
       Ada patrisia ini yang berwarna merah, rakel berwarna biru dan yang bening ini belum punya nama, jelas paman kepadaku. Paman tidak didiagnosa sakit jiwa. Dia sehat, sama seperti kami semua. Doktrin keanehan itu menjadi candu bagiku untuk menindaklanjuti. Paman orang yang pintar, kepintaran itu turun ke semua anaknya. Putra saat ini menempuh pendidikan master di Australia. Seluruh biaya full ditanggung sebuah perusahaan. Adiknya Bella menuntut ilmu di perguruan tinggi favorit tanah air. Semester kemarin Bella mendapat hasil sempurna di kampusnya.
       Saat ditanya sampai kapan kebiasaan ini berakhir. Paman selalu menjawab sampai tuhan memagar dirinya. Lalu kita dapat melihat tidak ada lagi pergerakan menggelikan kemudian pecah menjadi tawa. Hanya ada air mata, suasana sendu dan isak tangis. Satu persatu es batu itu diletakannya di dalam baskom. Ada suatu rasa yang belum bisa dirasa olehku, yaitu tulus. Ketulusan bisa hinggap disiapa saja dan untuk siapa saja. Hidup dalam comberan khianat menimbulkan kelaknatan. Ketulusan paman pada es itu dan bibi pada paman. Saling berkaitan, paman menjadi senjata bagi bibi untuk selalu bahagia. Bibi menjadi amunisi bagi paman untuk sebuah ketulusan dan kasih sayang.
       Air tidak pernah protes ketika dia dipaksa untuk menjadi es batu. Menerima dengan tulus, menjadi penawar rasa panas dalam hidup. Itu mengapa dia harus disayang, karena mereka memberi kesejukan dalam panasnya kehidupan. Manusia tidak pernah mengerti jika benda mati memiliki hati. Air tidak akan pernah bisa mengeluh saat dirinya dipaksa untuk berubah menjadi es. Dia bisa memposisikan diri, menjalankan peran berbeda dalam setiap kewajiban. Air yang dipanaskan akan menjadi uap, Sebab dia tau posisinya. Partikel air mengalami kondensasi uap akan menjadi embun, sebab dia tau kemana jalan pulang. Kemudian air yang dibekukan akan menjadi es, sebab dia tau tugasnya sendiri.
       Satu persatu es batu itu mulai habis. Paman berhenti sejenak dan menghela nafas. “Andai kita dapat merasakan ketulusan, betapa rasa itu sangat berharga. Mengerti dimana posisi, kemana jalan kembali, serta tugas yang diemban. Tentu tidak ada saling caci, kemudian semua makhluk akan saling mencintai.” Suasana rumah kembali hening. TV tiba-tiba berhenti mengoceh, listrik padam yang ada hanya suara paman dengan es batunya. Bibi sudah selesai menanak nasi dan duduk istirahat di atas kursi. Satu persatu es batu itu mulai habis. Hingga sampai pada urutan terakhir. Aku bergerak menuju kulkas, mengeluarkan sepuluh buah es batu. Lalu memecahkannya, sejenak kebisingan itu kembali terdengar dari dapur. Akhirnya, aku duduk mulai menghitung satu persatu es batu bersama dengan paman. Bibi menghela nafas, mengambil ponsel di meja lalu menghubungi rumah sakit jiwa.

"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"


No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *