Satu-Satu
Apa
ada yang lebih tulus dari hati?
Sepanjang
diksi yang dipilih
Tak
satupun makna yang mematikannya.
Begitu
pula dunia mencoba mengerti
Butiran
hati, lengket oleh sejarah
Menyusun
album-album lama, menjadikannya tiada.
Lalu,
apa ada yang lebih tulus dari hati?
Bertubi
pisau terasah, mengirisnya segila-gila
Tabah,
dalam ujung ajalnya.
Di
jalanan, orang-orang berdemonstrasi
Menyerukan
seribu aksi
Agar
ketulusan tetap terpagar.
Lantas,
apa ada yang lebih tulus dari hati?
Semuanya
tentu sepakat
Ketulusan
ada, jika hati merestui.
Benturan itu terdengar dari dapur. Keributan ini lebih
parah dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Seseorang sedang bergulat dengan
benda mati. Aku hanya menonton keheranan. Paman suka mengoleksi es batu. Pria
paruh baya ini menjadi satu-satunya makhluk yang paling unik bagiku. Satu
persatu diletakkannya es ini di dalam baskom. “Hanya sekedar menyapa: selamat
pagi” imbuhnya menjelaskan padaku. Paman tidak bercanda? Pagi-pagi memecahkan
sepuluh bungkus es batu, hanya untuk diucapkan selamat pagi. Tapi protes itu
hanya dibalas dengan senyuman. Mati keheranan aku dibuatnya, keromantisan ini
tidak bisa dijelaskan secara logika. “Begitu saja terus, ucapkan padanya.”
Teriak bibi yang sedang menanak nasi di kompor. Puluhan tahun berumah tangga,
setiap minggu tidak pernah menyapa selamat pagi. “ada! kemarin” Paman membela
dirinya. Bibi yang saat itu memegang centong nasi mengangkatnya tinggi. Dengan
helaan nafas panjang dia membalas : Kemarin? Ingatkah sekarang tanggal 3.
Dirimu mengucapkan selamat pagi itu tanggal 2, bulan lalu. Sedangkan ucapan itu
selalu kudengar setiap kau menyapa es batumu itu. Aku sudah kalah darinya, dan
aku terbalut cemburu.
Antara makan
dan melerai, aku lebih memilih makan. Membiarkan kisruh internal itu
diselesaikan berdua. Menjadi seorang remaja polos yang tidak tau urusan rumah
tangga. Begitu keduanya diam, suasana menjadi hening. Semua disibukan dengan
urusan tersendiri. Hanya terdengar suara TV di ruang tamu. Berbicara tapi tak ada
penonton, hanya mengisi kekosongan hari. Rumah ini seperti kuburan, sunyi,
tenang, sepi, adem ayem dan aku merasa bosan. Paman dan Bibi tidak pernah bisa
akur, meski hubungan berumah tangga terbina puluhan tahun. Pernah dulu ada
pertikaian yang luar biasa. Mengalahkan kisruh di perang dunia kedua. Bibi
terbalut cemburu karena paman membawa es batu kesayangannya untuk tidur sekasur
bersama mereka. Pertikaian ini berakhir ditangan dukun, bibi mengira paman
sudah kemasukan roh jahat. Paman sempat sembuh, atau pura-pura sembuh. Beberapa
jam kemudian, kembali dia mengucapkan selamat siang kepada es batunya.
Ada patrisia
ini yang berwarna merah, rakel berwarna biru dan yang bening ini belum punya
nama, jelas paman kepadaku. Paman tidak didiagnosa sakit jiwa. Dia sehat, sama
seperti kami semua. Doktrin keanehan itu menjadi candu bagiku untuk
menindaklanjuti. Paman orang yang pintar, kepintaran itu turun ke semua
anaknya. Putra saat ini menempuh pendidikan master
di Australia. Seluruh biaya full ditanggung sebuah perusahaan. Adiknya
Bella menuntut ilmu di perguruan tinggi favorit tanah air. Semester kemarin
Bella mendapat hasil sempurna di kampusnya.
Saat ditanya
sampai kapan kebiasaan ini berakhir. Paman selalu menjawab sampai tuhan memagar
dirinya. Lalu kita dapat melihat tidak ada lagi pergerakan menggelikan kemudian
pecah menjadi tawa. Hanya ada air mata, suasana sendu dan isak tangis. Satu
persatu es batu itu diletakannya di dalam baskom. Ada suatu rasa yang belum
bisa dirasa olehku, yaitu tulus. Ketulusan bisa hinggap disiapa saja dan untuk
siapa saja. Hidup dalam comberan khianat menimbulkan kelaknatan. Ketulusan
paman pada es itu dan bibi pada paman. Saling berkaitan, paman menjadi senjata
bagi bibi untuk selalu bahagia. Bibi menjadi amunisi bagi paman untuk sebuah
ketulusan dan kasih sayang.
Air tidak
pernah protes ketika dia dipaksa untuk menjadi es batu. Menerima dengan tulus,
menjadi penawar rasa panas dalam hidup. Itu mengapa dia harus disayang, karena
mereka memberi kesejukan dalam panasnya kehidupan. Manusia tidak pernah
mengerti jika benda mati memiliki hati. Air tidak akan pernah bisa mengeluh
saat dirinya dipaksa untuk berubah menjadi es. Dia bisa memposisikan diri,
menjalankan peran berbeda dalam setiap kewajiban. Air yang dipanaskan akan
menjadi uap, Sebab dia tau posisinya. Partikel air mengalami kondensasi uap
akan menjadi embun, sebab dia tau kemana jalan pulang. Kemudian air yang
dibekukan akan menjadi es, sebab dia tau tugasnya sendiri.
Satu persatu
es batu itu mulai habis. Paman berhenti sejenak dan menghela nafas. “Andai kita
dapat merasakan ketulusan, betapa rasa itu sangat berharga. Mengerti dimana
posisi, kemana jalan kembali, serta tugas yang diemban. Tentu tidak ada saling
caci, kemudian semua makhluk akan saling mencintai.” Suasana rumah kembali
hening. TV tiba-tiba berhenti mengoceh, listrik padam yang ada hanya suara
paman dengan es batunya. Bibi sudah selesai menanak nasi dan duduk istirahat di
atas kursi. Satu persatu es batu itu mulai habis. Hingga sampai pada urutan
terakhir. Aku bergerak menuju kulkas, mengeluarkan sepuluh buah es batu. Lalu
memecahkannya, sejenak kebisingan itu kembali terdengar dari dapur. Akhirnya,
aku duduk mulai menghitung satu persatu es batu bersama dengan paman. Bibi
menghela nafas, mengambil ponsel di meja lalu menghubungi rumah sakit jiwa.
![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |


No comments:
Post a Comment