Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Saturday, April 20, 2019

Gawaiphobia


Gawaiphobia

Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata





Joko tidak pernah menyangka bisa terkenal dalam waktu singkat, seluruh warga kota mengenalnya. Kejadian itu sekejap mata, berkat keputusan tidak waras. Wajahnya selalu terpampang besar di seluruh pamflet, baliho dan media sosial. Followers Instagram Joko sangat banyak, mengalahkan artis ternama. Padahal dia sudah lama memutuskan untuk gantung gawai, pensiun bermain sosial media. Semua itu terjadi secepat kilat, seperti tersambar petir di tengah terik.
***
Suatu hari, Joko berada di Angkringan Bang Ucok. Menikmati purnama romantis bersama Si Pacar. Mendalo mendadak riuh sabtu malam, angkringan penuh tanpa sudut kosong. Meski begitu, tidak sedikitpun suara ocehan terdengar. Mereka generasi sopan, selalu menunduk menatap dunia teknologi canggih di tangan. Keheningan sangat disukai Joko, dia bisa bermesraan dengan Si Pacar tanpa harus dibisingkan dengan suara rumpi atau celotehan aneh yang kerap disebut carut-marut.
“Kasih, kau serupa purnama di langit gelap, indahmu berkuasa di tengah malam. Aku takjub menjadi bintang penyinar” Intonasinya sangat lembut, puisi itu ditulis Joko tiga bulan yang lalu. Malam itu, dia bacakan dengan lantang sembari menggoda si pacar. “Kasih, kau serupa bola lampu angkringan, bercahaya sendiri di tengah sepi. Aku laron mendekat dan mencumbu. Kasih, kau serupa rima romantis. Aku takluk dalam pelukmu!” Setelah itu Joko tersenyum lebar.
Si Pacar tidak merespon, hanya menunduk sopan menatap gawai di tangan. Sesekali senyum sendiri, marah sendiri, gerah sendiri, bingung sendiri, persis seperti pengunjung angkringan yang lain. Si Pacar belum berkata apapun malam itu, bahkan sekedar menyapa Jokopun tidak mau.
“Sudahlah main tu!” Joko mulai risih dan menegur si pacar.
“Iyo”
“Iyo iyo, tapi masih jugo main hape.”
“Iyo.”
“Ay lah, malas nian aku kayak gini.”
“Iyo.”
“Apo yang iyo tu?”
“Iyo.”
Joko sabar, dia menatap Si Pacar penuh kasih sayang. Menggenggam jemarinya dengan lembut, mencium seperti biasa. Joko mengelus celah-celah jemari tangan kiri yang basah oleh keringat. Dicubit sedikit-sedikit berharap Si Pacar gelisah dan melihatnya. Si Pacar tetap menunduk, tanpa reaksi sedikitpun. Joko mulai mencubit lebih keras, Si Pacar melepaskan genggaman Joko.
“Sakit!”
Joko tidak peduli, dia lekas menggenggam tangan Si Pacar kembali. Si Pacar sempat berontak, tapi tidak kuasa. Tangan Joko lebih besar darinya, Si Pacar tetap fokus menikmati dunia kecil yang berada dalam genggaman.
“Biso dak jangan cubit-cubit gitu, ganggu be.” Ultimatum Si Pacar meluncur ke telinga Joko, dia tidak peduli, terus menggoda.
“Heeee, tengkar nian. Aku risih dicubit gitu, sudahlah jangan kayak anak kecil.”
Joko berhenti mencubit “Jangan marah-marah, agek cepat tuo.”
“Makanya jangan cubit-cubit.”
Setelah memberi ultimatum kepada Joko, Si Pacar kembali menunduk. Padahal Joko sudah senang Si Pacar berbicara dan menatap ke arahnya. Ternyata hanya satu menit saja, setelah itu kembali menunduk seperti pengunjung lain. Keramaian terasa sepi, malam romantis menjadi hambar. Puisi yang dibaca tidak sampai ke hati Si Pacar.
Joko memanggil pelayan, seorang pria tampan berbadan kekar mendatangi mereka. Pelayan membawa daftar menu.
“Mau pesan apa?”
Joko membuka daftar menu, pertama-tama dia melihat daftar harga. Joko memilih makanan yang pas di kantong. Pelayan siaga dengan secarik kertas dan sebuah pena. Lama Joko membaca, mempertimbangkan kecukupan dana yang dia punya. Si Pacar masih sibuk bermain gawai, Joko tidak bisa memilih lalu melimpahkan kepada Si Pacar.
“Mau makan apa?”
“Ngikut be!”
“Dak ado makanan ngikut”
“Harus ado.”
Joko bingung, bukan karena harga mahal tapi nama menunya aneh-aneh. “Gawai Geprek, Gawai Rica-Rica, Nasi Goreng Gawai, Gawai Panggang”. Dia membuka lembar berikutnya dan membaca daftar minuman. Sama saja, tidak ada yang normal. “Es Kepal Gawai, Chocolate Gawai, Jus Gawai, Kopi Gawai”. Joko menutup daftar menu, menatap tajam ke arah pelayan.
“Kenapa semua menu ada bacaan gawai?”
“Karena itu konsumsi yang paling laris saat ini, kemudian menurut hasil penelitian beberapa ahli, gawai mengandung banyak vitamin.”
“Vitamin apo nian?”
“Dak tahu jugo sih, tapi kata bos aku mengandung vitamin A, S, dan U, sangat baik untuk pertumbuhan otak.”
“Sinting! Tempat ini benar-benar sinting.”
“Loh loh, kok malah marah-marah dak jelas!”
Pelayan berbadan kekar menggoyang otot dadanya, dia belum marah. Pelayan kekar mencuri pandang ke arah Si Pacar. Tatapan genit direspon positif. Sesaat Si Pacar mematikan gawai, meletakkan di atas meja.
“Bang pelayan, biar saya saja yang pesan.” Lembut menggoda suaranya.
“Baik mbak, mau pesan apa?” Pelayan mengambil paksa daftar menu dari tangan Joko, memberikan kepada Si Pacar yang cantik jelita. Rambut terurai sepinggang, membuat pelayan tergoda. Matanya melotot, Si Pacar senyum menggoda.
“Saya pesan yang paling istimewa saja mas.”
“Ada ni mbak, nasi goreng gawai spesial level 20. Pasti mantap nian.”
“iya, saya pesan itu be dua porsi ya.”
“Baik, minumnya mbak?”
“Jus gawai dingin be lah.”
“Baik mbak.” Pelayan mengambil daftar menu, kemudian pergi ke dapur.
Wajah Joko bertambah masam, dia mendadak cemberut. Api cemburu ada dalam hatinya, tapi Si Pacar tidak peduli. Joko dibiarkan berdiam dingin, bermandi angin yang menggigit. Si Pacar mengambil gawai, kembali menunduk seperti sedia kala. Tidak peduli wajah Joko yang bukan hanya masam, tapi juga hambar.
Si Pacar lanjut bermain sosial media, senyum-senyum sendiri. Sesekali gawainya berdering, ada pesan mendarat. Cepat-cepat Si Pacar menutup gawai, merahasiakan pesan dari Joko. Setiap Joko mendekat, Si Pacar makin menjauh. Takut dibaca, ada jutaan rahasia di gawai putih bermerek Apel tersebut.
“Ngapo sih ditutup gitu? Ado rahasia ni pasti. Pacaran kok gini nian, katanya harus saling jujur, terbuka, dak boleh main rahasia-rahasiaan, tapi aku nengok dikit be dak boleh!”
“Bukannyo dak boleh, tapi bendo ni sangat pribadi. Jangankan kau, keluargaku be dak ado yang boleh minjam.”
“Aduhh, sayang.... aku ni pacarmu, wajar be lah kalau aku curiga.”
“Tuu... Kan, mulai membatas-batasi, mulai curiga-curigaan, katanya harus saling percaya.”
“Iya, emang aku percaya kok.”
“Nah... Kalau gitu, kau harus percaya kalau aku idak ado berbuat yang aneh-aneh dengan gawai ni. Aku ni cuma main game be, tengoklah na!”
Si Pacar memperlihatkan layar gawai yang menampakkan aplikasi PUBG, ML, bahkan HAGO. Tapi, ketika si pacar hendak memalingkan gawai tiba-tiba sebuah pesan WA mendarat bagai rudal. Si Pacar ligat menarik gawai dan mematikannya.
“Tuh tuh, ado pesan yang masuk ke hapemu, masih jugo nak bohong.” Joko marah besar, wajahnya merah emosi. Dia lebih tampak seperti kecewa, sedikit mau menangis.
Si Pacar melihat gawai pelan-pelan, tertera nama “Sayang ke-2” di layar kontak pesan. Dia mulai mencari alasan konkrit.
“Aduhh... Cuma pesan dari Ayah aku be kok jadi marah gitu.”
“Ayah siapa? Ayah-ayahan maksudmu?”
“Ayah akulah, kau dak percaya?” Si Pacar lebih sangar dari Joko, nyali Joko kembali ciut. “Sudah dua bulan kito menjalin hubungan kau masih dak percaya samo aku. Kau mau cari gara-gara lagi? Ingat dak dua tahun kau tu nembak aku tapi aku tolak terus. Masih untung sekarang aku mau jadi pacar kau, eh kau malah nyari masalah. Enak jugo nyari duit, bisa kasih ke aku.”
“Aku ni cuma mengutarakan maksud, sayang. Dak ado maksud aku untuk....”
“Sudah cukup! Bulan lalu kau jugo yang buat ribut, habis tu aku minta  putus kau malah nangis-nangis. Bulan ni kau jugo bikin ribut, mau aku putusi lagi?”
Joko kaget, dia mulai mendekati Si Pacar kemudian menggenggam jemarinya. Si Pacar lekas menjauh dan menghempas genggaman Joko. Mata Joko sayu, dia tidak berdaya.
“Aduuhh... Bukan gitu maksudku, sayang. Aku tu percaya, dak pernah aku meragukan kesetiaanmu. Tapi, aku tu mau sekali be nengok pesan di hapemu itu.”
Tiba-tiba pelayan datang membawa makanan yang masih tertutup. Dia mendekati Si Pacar dengan romantis.
“Ini makanannya sudah siap, mbak. Makanan spesial untuk wanita spesial pula.”
“Ehemm....” Joko seketika batuk, sebetulnya memberi implikatur kepada pelayan. Tidak berhasil, pelayan semakin kurang ajar. Dia menggenggam jemari Si Pacar dan menciumnya. Sontak Joko emosi dan berdiri, pelayan tak gentar juga berdiri. Mereka saling berhadapan, Joko mulai lemas ketika tubuh tinggi, besar, dan kekar pelayan menghanguskan keberanian Joko.
“Maaf bang, bukannyo mau ngajak betinju. Cewek tu pacar aku, jadi abang jangan ganggu hubungan kami.” Tutur kata Joko berubah lebih sopan, dia tidak berani dengan pelayan. “Aku mohon bang, kami lagi bertengkar abang masuk be ke dapur lagi. Biarkan kami selesaikan masalah kami” Joko menangis tersedu, dia memohon kepada pelayan. Sontak pelayan merasa jijik, dia meninggalkan mereka.
Si Pacar membereskan tas, cas, dan gawainya kemudian bergegas pergi. Joko menghadang, dia memegang erat tangan Si Pacar.
“Jangan pergi dulu, aku dak mau kito bertengkar terus.”
“Sumpah, aku malu! Kau ni jadi cowok dak ado harga diri nian!”
“Aku tu bukannyo dak ado harga diri, tapi aku dak mau ada keributan di sini. Aku dak suka ngajak betinju, kau kan tahu aku ni cuma sok jagoan be padahal rapuh.”
“Sudahlah, aku nak pulang!”
Joko menangis terpingkal, dia masih memegang lengan Si Pacar seperti anak kecil. Akhirnya Si Pacar duduk kembali dengan wajah cemberut.
“Kito selesaikan dulu ya, makan be dulu, sayang.” Joko membuka makanan, mereka terkejut! Di dalam piring terisi penuh gawai-gawai bekas.
“Aku dak mau makan ni!” Si Pacar mengajukan protes “Ngapo kau pesan menu ni?”
“Loh, kan sayang yang mesan makanan ni.”
“Pokoknya aku dak mau makan.”
Melihat Si Pacar yang sudah tidak baik, Joko memanggil Bang Ucok selaku pemilik angkringan. Bang Ucok berbadan pendek, kurus, berkulit hitam, Joko berani marah padanya. Bang Ucok mirip pria lemah yang penyakitan.
“Bang, ngapo makanan di sini isinyo bendo ni!”
Bang Ucok heran, dia membuka penutup makanan. “Ohh... Memang begitu mas, semua makanan di sini berbahan dasar gawai. Bahan itu sudah menjadi pokok, inti sari, dan kebutuhan primer hidup. Sebentar lagi akan masuk dalam kategori empat sehat enam sempurna, dan gawai sebagai makanan penyempurna. Coba saja dulu dimakan, pasti enak!”
“Sinting! Mana mau aku makan bendo ni!” Joko bertindak seperti pahlawan, dia berani memaki Bang Ucok yang berbadan kecil.
“Gawai ini kaya vitamin....”
“ASU, vitamin ASU, aku udah tahu bang! Pelayan abang yang sok kuat itu sudah menjelaskan panjang lebar.”
“Kalau mas dak suka, boleh deh ganti menu lain. Saya kasih gratis!”
Joko tidak peduli, dia mendorong Bang Ucok hingga terlempar ke belakang. Bang Ucok jatuh menimpa meja. Suasana menjadi riuh, pelayan-pelayan berbadan kekar mendekat. Joko cemas! Dia menatap si pacar, memegang lengannya kemudian lari menyelamatkan diri. Terlambat! Pelayan sudah mengepung. Mereka memukul Joko hingga babak belur, seorang pelayan tampan menggoda Si Pacar. Mereka berduaan sedikit jauh dari keributan. Di sana Si Pacar berbincang romantis bersama pelayan tersebut. Hingga satu jam lamanya, Joko sudah babak belur penuh luka sekitar muka.
  ***
Suatu pagi kerumunan di rumah duka terasa sepi. Bendera kuning terpasang di bawah rintik sendu air mata yang jatuh dari langit. Yasin terdengar lantang, keluarga tidak rela anaknya tewas malam itu. Di pinggir sungai Batanghari, jasadnya ditemukan sudah membusuk oleh beberapa warga yang masih terbangun dan melintas di sana. Wanita itu tewas mengenaskan, tapi pihak keluarga enggan melakukan otopsi.
Saran pihak kepolisian ditolak mentah-mentah, keluarga tidak mau. Mereka tetap menuntut kepolisian menemukan pelaku pembunuhan, meski tanpa otopsi. Jelas perkara itu adalah tindakan pembunuhan, ada bekas cekik di sekitar leher. Keluarga tidak tega melihatnya, mereka mencoba ikhlas tapi gagal.
Hujan air mata tergenang di rumah duka. Tidak ada suara selain tangisan, juga yasin terdengar lantang. Pak Ustad khusyuk dengan bacaannya, duduk di sebelah mayat. Mama tidak kuat hati, ibu-ibu tetangga berusaha menenangkan. Bapak mencoba tenang dan menjalani pagi dengan tegar.
Tidak tampak di sana, Joko. Dia tidak datang saat pemakaman Si Psacar berlangsung. Keluarga tidak peduli, hubungan mereka tidak pernah direstui. Keluarga bersyukur Joko tidak datang ke sana. Mereka jijik melihat tingkah laku Joko, menurunkan harga diri keluarga mereka.
Setelah pemakaman usai, dua orang polisi datang ke rumah. Polisi berbadan besar dengan kacamata hitam pekat membawa kumpulan berkas, sementara rekannya yang kurus kerempeng menenteng pentongan seperti satpam.
“Apo ibu tahu kemano anak ibu malam tu?” Si Besar membuka kacamata
“Dak tahu, Pak eh.” Sembari bicara, Mama terus menangis sendu.
“Hmm... Aneh! Orang tua kok dak perhatian nian samo anaknyo.”
“Orang tua zaman kini emang gitu, dak ado nian mau nengok anaknyo” Cetus Si Kerempeng menatap sinis ke arah Mama.
“Jago mulut kau tu! Polisi dak pantas ngomong gitu. Harusnya bikin tenang, bikin damai, malah bikin tambah rusuh. Coba kau be di posisi aku!” Mama emosi, dia hampir tidak bisa menahan amarah.
Si Kerempeng tidak berkutik, dia diam tanpa kata. Si Besar melerai ketegangan di antara mereka. “Dari pado marah-marah dak jelas, mending Ibu jelasi be terakhir anak Ibu pergi kemano?”
“Tu lah yang aku lupo, kalau dak salah Dio pergi samo Joko.”
“Siapo Joko tu, Bu?”
“Joko tu pacar anak sayo, orangnya sih baik tapi selalu buat malu be. Pernah waktu kami lagi makan di cafe, kaki Joko naik ke meja kayak lagi di warung nasi Supik.”
“Siapo supik tu?”
“Penjual nasi uduk sebelah rumah ni.”
“Heee... dak apolah, Bu. Biaso be kalau gitu.”
Sambil terengah-engah Mama berdiri “Jatuh nian hargo diri keluarga aku.”
“Santai, Bu santai.” Si Besar memasang sikap bela diri. “Damai be lah, jangan kayak PEMILU.”
“Kok PEMILU?”
Si Besar melihat kondisi sekitar “Ribut terus, harusnya PEMILU itu menguatkan persatuan, bukan malah tercecer cerai. Sebagai seorang polisi patriot dan punya jiwa nasionalis tinggi, kejadian ini tidak bisa dibiarkan.”
“Elehh... Padek nian bohong kau ni, baru dibentak atasan dikit be udah ciut, apolagi dibentak pejabat. Bisa pingsan!”
Si Besar menggulung lengan baju, dia marah. “Ibu jangan menghina! Ibu kira aku ni cowok apaan? Aku ni juga punya harga diri.” Tiba-tiba Si Besar menangis terisak “Sakit hati aku ni tau dak. Dak ado nian orang yang menghargai aku, selalu be direndahkan. Aku ni polisi, harusnyo Ibu tu segan samo aku.”
Si Kerempeng mengelus kepala Si Besar “Sudah sudah, jangan menangis terus. Polisi kok nangis, udah besar loh...”
“Dio tu na dak ado nian hargai aku, apasalahnya hargai diriku sebelum kau nilai siapa diriku.”
“Kok malah nyanyi sih.”
Mama duduk kembali, nada bicaranya mulai pelan. “Siapolah yang tega membunuh anak aku? Dak ado hati nian.” Dengan wajah iba mama menatap kedua polisi yang juga diam mendengarkan. “Kalian harus cari pelakunyo.”
“Dak nak!”
“Aku bilang ni samo atasan kau.”
“Dasar pengadu!”
“Dasar oknum, seharusnya kalian itu bekerja profesional ni malah buat resah. Mau aku bilang nian ke atasan?”
Kedua polisi saling tatap, mereka berbisik kemudian menatap kembali ke arah Mama. “Untung be cewek, kalau cowok udah habis aku sikat!”
“Homo!”
“Kurang ajar!”
***
Joko bersembunyi di dalam tong sampah besar dekat pasar Angso Duo. Matanya merah, kantung mata melar, mendadak sikapnya berubah. Dia menjadi manusia kalong yang tidur di siang hari. Anehnya Joko enggan pulang ke rumah, benci wanita, benci manusia.
Setiap Joko menyapa manusia, selalu diacuhkan. Generasi menunduk selalu menatap gawai. Joko sering menegur, tapi tidak mempan. Jadilah dia sebagai lelaki kalong yang benci keramaian. Joko cinta sepi, dia senang menyendiri. Di siang hari, Joko selalu berada di dalam tong sampah besar dekat pasar. Bila malam gulita, Joko keluar menuju pemakaman umum tempat Si Pacar dimakamkan.
Bukannya sedih atau berdoa, Joko diresahkan dengan suara musik “Aisyah Ku Jatuh Cinta” dari dalam kubur Si Pacar. Semakin malam, suara musik bertambah kencang. Keanehan itu membuat Joko memendam tanda tanya besar. Dia bermaksud menggali makam, tapi tidak berani.
Joko sudah berdiskusi dengan indigo, polisi, penjaga makam, pejabat, hingga petinggi partai yang balihonya terpampang besar di sekitar pemakaman. Hasilnya nihil, mereka tidak bisa mengungkap kenapa ada musik di dalam kubur. Ketika pertanyaan itu di lontarkan Joko, mereka selalu berkata “Kalau mau tahu, harus bayar dulu!” sambil tertawa sinis dan memainkan gawai seperti orang sibuk.
Sebagai lelaki kalong yang mendadak miskin, Joko tidak bisa membayar hanya untuk mencari tahu persoalan itu. Sepanjang hari musik “Aisyah ku jatuh cinta” terngiang di otaknya. Menjadi batu besar memenuhi ruang kepala. Menjadikan Joko setengah gila, ditambah pergaulan sosial menendangnya dari kehidupan. Joko terpental jauh seorang diri, berkawin dengan sepi di dalam tempat sampah besar.
Lapar dan dahaga hanya ilusi, dia sudah kenyang mengkonsumsi kenyataan pahit. Bukan hanya Joko, ternyata seluruh tempat sampah di Jambi sudah dijadikan rumah bagi kalong-kalong lain. Berbaur dengan sampah-sampah yang perlahan menjadi kulit manusia. Tidak bisa lagi membedakan bau sampah dan bau manusia.
***
Purnama memantulkan sinar di langit, Joko berada di rumah tua tidak jauh dari pemakaman. Orang banyak menyebut seorang datuk pemilik rumah sebagai juru kunci pemakaman.
“Apo datuk dengar suara aneh dari dalam kubur setiap malam?”
Pria tua berpakaian serba hitam dengan bekas jahit di dahi tidak merespon. Datuk fokus komat-kamit membaca mantra. Sesekali mengangguk padahal Joko tidak bicara.
“Datuk, o datuk.”
Datuk kaget dan menyembur air ke wajah Joko. “Bilo kau ado di sini? Kok aku dak nampak.”
“Datuk kan udah tuo, jadi wajar be lah.”
“Ai lah, anak mudo kini dak ado nian sopan santun.” Datuk menggeleng kecewa. “Dulu waktu aku masih mudo, raso hormat dengan orang tuo tu nomor satu. Zaman kami dulu keras, kalau kami melawan samo orang tua langsung melayang ikat pinggang. Zaman kini apo ha?” Datuk tertawa. “Anak sekolah baru be keno cubit dikit, sudah bawa-bawa  polisi. Padahal dio nian yang salah buat onar di kelas, malu datuk jadinyo.”
“Beda zaman tuk, apo datuk dak nengok anak-anak zaman kini? Mereka lebih sopan, setiap waktu selalu menunduk sampe-sampe dak mau mendongak lagi.”
“Itu bukan sopan, tapi sudah terpengaruh gawai! Sekarang zaman globalisasi, bos. Jadi wajar be lah.”
Joko membetulkan duduknya “Justru globalisasi sudah membuka wawasan generasi muda menjadi lebih kritis.” Mata sayu akibat tidak tidur berhari-hari seketika membesar. “Sikap kritis itulah yang diterapkan generasi muda di sekolah. Makonyo sekarang banyak pelajar yang melawan guru, tawuran, betinju, itu semua karena bersikap kritis. Kritis terhadap rasa malu.”
“Kritis yang dak penting! Bikin malu negara, tidak bermoral.”
“Sudahlah, tuk. Kok jadi ngurusin negara sih, aku ni nak nanyo tentang lagu di dalam kubur tu.”
Datuk memasukkan beberapa daun kelor ke dalam guci yang berisi air panas. “Minumlah!”
“Apo ni, tuk?” Joko minum dengan lahap, seketika menyembur keluar kepanasan. “Panasss...... Ini jampi-jampi yo?”
“Bukan! Itu rebusan air kelor, baik untuk kesehatan. Habiskanlah, kau butuh itu. Aku lihat kesehatanmu terganggu.”
Joko marah, tapi tetap menghabiskan rebusan daun kelor. “Aku tidak gila!”
“Loh, siapa yang bilang gila? Kau deweklah yang meraso.”
“Aku serius Datuk, tatap mata aku!” Datuk menatap mata Joko. “Aku dengar ado suara aneh di dalam kubur.”
“Suara apo?”
“Dak tahu, kayak lagu-lagu viral sekarang. Entahlah, ngeri, coba datuk dengar sendiri. Datuk juru kunci pemakaman itu, harus segera bertindak.”
“Itu  makam siapo? Kok peduli nian dengan makam tu?”
Joko terdiam, dia gugup. “Makam pacar aku, datuk.”
“Ngapo dio biso meninggal?”
Joko terdiam tuntas, tidak ada lagi balasan untuk pertanyaan yang diajukan datuk.    
***
Mereka sampai di sebelah kuburan yang dimaksud Joko. Suasana mencekam, terdengar suara burung gagak dan lolongan anjing dari setiap sudut. Lebih seram dari rumah hantu dan film horror. Joko tidak berani jauh-jauh dari datuk, malam itu seketika lebih seram dari malam sebelumnya.
“Nah.. Nahh... Coba datuk dengar dewek!”
Dari dalam sana terdengar lagu “a-a-a-a aisyah, ku jatuh cinta” perlahan semakin kencang. Datuk kaget, dia hampir ingin berlari.
“Ini....”
“Kenapa datuk?”
“Sungguh menyeramkan, suaro tu. Hiii... Dak pernah aku dengar.”
“Aku seringlah dengarnyo di kota beberapo hari yang lalu.”
“Sumpah, ini mengerikan! Aku dak kuat, nak balek.”
Joko memegang lengan Datuk erat, dia menariknya agar tidak pergi. “Kito harus selesaikan masalah ni malam ni jugo!”
“Aku dak mau! Ngeri nian.”
Tiba-tiba Joko menarik baju Datuk hingga koyak. Datuk berusaha menjauh dari pemakaman. Dari arah depan segerombolan polisi datang menyergap.
“Angkat tangan!”
Joko dan Datuk mengangkat kedua tangan, Joko gemetar hampir ngompol sementara Datuk merasa tenang.
“Tolong..... Ado suaro mengerikan di dalam kubur tu!” Datuk menunjuk kuburan dengan nama Ningsih di batu nisan.
Segerombolan polisi terkejut, tapi tidak takut suara itu sering mereka dengar. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah hanyalah menggali. Mereka cepat mengambil sekop di rumah Datuk. Hanya butuh waktu lima belas menit, kubur itu berhasil digali. Di balik papan itu sesuatu yang mengerikan akan tampak.
“Buka!” Perintah Si Besar lantang.
Mereka semua kaget ketika papan itu dibuka. Kubur telah kosong, tersisa hanya kumpulan gawai mahal dari berbagai merek. Gawai itu serempak membuka tampilan aplikasi musik lipsinc yang viral baru-baru ini. Dari situlah sumber suara berasal, semua menjadi lega. Keanehan telah terpecahkan.
“Tapi, dimana mayatnya?” Joko bertambah takut, tubuhnya merinding.
“Di atas pohon!”
Datuk terpelongo sekaligus gagap ketika melihat mayat itu berada di atas pohon sambil memegang gawai.
“Ngapain di situ?”
Mayat melihat tajam ke arah mereka. “Di bawah tidak ada sinyal!”
Joko tiba-tiba pingsan, terjatuh ke dalam kubur. Tubuhnya kusut, bau, kumal, tidak dirawat berbulan-bulan lamanya.
“Tangkap dia!” Gerombolan polisi memborgol lengan Joko.
Datuk bingung “Kenapo dio ditangkap?”
“Dialah pembunuh Ningsih, yang punya makam ini.”
Mayat tersenyum lebar ke arah mereka, Datuk tiba-tiba ikut pingsan dan masuk ke dalam kuburan bersama Joko.
***
Setelah kondisi kacau di angkringan Bang Ucok, serta Joko babak belur dikeroyok. Si Pacar masih tidak peduli, dia bahkan tidak menganggap Joko ada. Si Pacar terus bermain gawai selama perjalanan pulang. Joko terus menegur, Si Pacar merespon kurang baik. Sedan merah berhenti di pinggir Sungai Batanghari, Joko mencekik Si Pacar. Mata dan hati Joko sudah buta, dia tidak lagi bisa merasakan. Joko sudah gelap mata, malam itu Si Pacar tewas di tangan Joko. Jasadnya dibuang ke dalam Sungai Batanghari.
***
“Dimano aku?” Joko berteriak kaget, jiwanya masih terganggu. Dokter berhasil mengidentifikasi penyakit yang dideritanya. Joko terkena penyakit Gawaiphobia yang disebabkan karena kekurangan kasih sayang akibat teknologi canggih tapi pemisah tegur-sapa. Dia dikurung dalam sel tahanan.
“Di penjaro.” Tuntas Si Kerempeng sambil tertawa lebar. Joko tidak mau dikurung, dia berusaha kabur tapi tidak bisa. Joko menangis terisak, besi jeruji itu digoyang-goyangkannya. Dia sengaja membuat bising, ternyata kebisingan itu membuat tahanan lain terganggu. Sebentar lagi hidupnya akan tamat di dalam penjara. Dimangsa tahanan yang menatapnya buas.
Sementara di luar sana, terpampang besar baliho, pamflet, spanduk bergambar Joko. Bukan baliho kampanye, atau visi misi, melainkan baliho sindiran dengan kata-kata unik. Beberapa kata yang dipakai: Pensiunan Sosial Media, Kita Semakin Jauh, Dunia Besar Terasa Kecil, dan Gawaiku Hidupku. Di pusat Kota Jambi terpajang besar baliho ukuran enam kali enam bergambar Joko lagi tersenyum dengan tulisan “Aktivis Sosial Media”.
2019



  

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *