Gawaiphobia
![]() |
| Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata |
Joko tidak pernah menyangka bisa terkenal dalam waktu
singkat, seluruh warga kota mengenalnya. Kejadian itu sekejap mata, berkat
keputusan tidak waras. Wajahnya selalu terpampang besar di seluruh pamflet,
baliho dan media sosial. Followers
Instagram Joko sangat banyak, mengalahkan artis ternama. Padahal dia sudah
lama memutuskan untuk gantung gawai, pensiun bermain sosial media. Semua itu
terjadi secepat kilat, seperti tersambar petir di tengah terik.
***
Suatu hari, Joko berada di Angkringan Bang Ucok. Menikmati
purnama romantis bersama Si Pacar. Mendalo mendadak riuh sabtu malam,
angkringan penuh tanpa sudut kosong. Meski begitu, tidak sedikitpun suara
ocehan terdengar. Mereka generasi sopan, selalu menunduk menatap dunia
teknologi canggih di tangan. Keheningan sangat disukai Joko, dia bisa
bermesraan dengan Si Pacar tanpa harus dibisingkan dengan suara rumpi atau
celotehan aneh yang kerap disebut carut-marut.
“Kasih, kau serupa purnama di langit gelap, indahmu
berkuasa di tengah malam. Aku takjub menjadi bintang penyinar” Intonasinya
sangat lembut, puisi itu ditulis Joko tiga bulan yang lalu. Malam itu, dia
bacakan dengan lantang sembari menggoda si pacar. “Kasih, kau serupa bola lampu
angkringan, bercahaya sendiri di tengah sepi. Aku laron mendekat dan mencumbu.
Kasih, kau serupa rima romantis. Aku takluk dalam pelukmu!” Setelah itu Joko
tersenyum lebar.
Si Pacar tidak merespon, hanya menunduk sopan menatap
gawai di tangan. Sesekali senyum sendiri, marah sendiri, gerah sendiri, bingung
sendiri, persis seperti pengunjung angkringan yang lain. Si Pacar belum berkata
apapun malam itu, bahkan sekedar menyapa Jokopun tidak mau.
“Sudahlah main tu!” Joko mulai risih dan menegur si
pacar.
“Iyo”
“Iyo iyo, tapi masih jugo main hape.”
“Iyo.”
“Ay lah, malas nian aku kayak gini.”
“Iyo.”
“Apo yang iyo tu?”
“Iyo.”
Joko sabar, dia menatap Si Pacar penuh kasih sayang.
Menggenggam jemarinya dengan lembut, mencium seperti biasa. Joko mengelus
celah-celah jemari tangan kiri yang basah oleh keringat. Dicubit
sedikit-sedikit berharap Si Pacar gelisah dan melihatnya. Si Pacar tetap
menunduk, tanpa reaksi sedikitpun. Joko mulai mencubit lebih keras, Si Pacar
melepaskan genggaman Joko.
“Sakit!”
Joko tidak peduli, dia lekas menggenggam tangan Si Pacar
kembali. Si Pacar sempat berontak, tapi tidak kuasa. Tangan Joko lebih besar
darinya, Si Pacar tetap fokus menikmati dunia kecil yang berada dalam
genggaman.
“Biso dak jangan cubit-cubit gitu, ganggu be.”
Ultimatum Si Pacar meluncur ke telinga Joko, dia tidak peduli, terus menggoda.
“Heeee, tengkar nian. Aku risih dicubit gitu, sudahlah
jangan kayak anak kecil.”
Joko berhenti mencubit “Jangan marah-marah, agek cepat
tuo.”
“Makanya jangan cubit-cubit.”
Setelah memberi ultimatum kepada Joko, Si Pacar
kembali menunduk. Padahal Joko sudah senang Si Pacar berbicara dan menatap ke
arahnya. Ternyata hanya satu menit saja, setelah itu kembali menunduk seperti
pengunjung lain. Keramaian terasa sepi, malam romantis menjadi hambar. Puisi
yang dibaca tidak sampai ke hati Si Pacar.
Joko memanggil pelayan, seorang pria tampan berbadan
kekar mendatangi mereka. Pelayan membawa daftar menu.
“Mau pesan apa?”
Joko membuka daftar menu, pertama-tama dia melihat
daftar harga. Joko memilih makanan yang pas di kantong. Pelayan siaga dengan
secarik kertas dan sebuah pena. Lama Joko membaca, mempertimbangkan kecukupan
dana yang dia punya. Si Pacar masih sibuk bermain gawai, Joko tidak bisa
memilih lalu melimpahkan kepada Si Pacar.
“Mau makan apa?”
“Ngikut be!”
“Dak ado makanan ngikut”
“Harus ado.”
Joko bingung, bukan karena harga mahal tapi nama
menunya aneh-aneh. “Gawai Geprek, Gawai Rica-Rica, Nasi Goreng Gawai, Gawai
Panggang”. Dia membuka lembar berikutnya dan membaca daftar minuman. Sama saja,
tidak ada yang normal. “Es Kepal Gawai, Chocolate Gawai, Jus Gawai, Kopi
Gawai”. Joko menutup daftar menu, menatap tajam ke arah pelayan.
“Kenapa semua menu ada bacaan gawai?”
“Karena itu konsumsi yang paling laris saat ini,
kemudian menurut hasil penelitian beberapa ahli, gawai mengandung banyak
vitamin.”
“Vitamin apo nian?”
“Dak tahu jugo sih, tapi kata bos aku mengandung
vitamin A, S, dan U, sangat baik untuk pertumbuhan otak.”
“Sinting! Tempat ini benar-benar sinting.”
“Loh loh, kok malah marah-marah dak jelas!”
Pelayan berbadan kekar menggoyang otot dadanya, dia
belum marah. Pelayan kekar mencuri pandang ke arah Si Pacar. Tatapan genit
direspon positif. Sesaat Si Pacar mematikan gawai, meletakkan di atas meja.
“Bang pelayan, biar saya saja yang pesan.” Lembut
menggoda suaranya.
“Baik mbak, mau pesan apa?” Pelayan mengambil paksa
daftar menu dari tangan Joko, memberikan kepada Si Pacar yang cantik jelita.
Rambut terurai sepinggang, membuat pelayan tergoda. Matanya melotot, Si Pacar
senyum menggoda.
“Saya pesan yang paling istimewa saja mas.”
“Ada ni mbak, nasi goreng gawai spesial level 20.
Pasti mantap nian.”
“iya, saya pesan itu be dua porsi ya.”
“Baik, minumnya mbak?”
“Jus gawai dingin be lah.”
“Baik mbak.” Pelayan mengambil daftar menu, kemudian
pergi ke dapur.
Wajah Joko bertambah masam, dia mendadak cemberut. Api
cemburu ada dalam hatinya, tapi Si Pacar tidak peduli. Joko dibiarkan berdiam
dingin, bermandi angin yang menggigit. Si Pacar mengambil gawai, kembali
menunduk seperti sedia kala. Tidak peduli wajah Joko yang bukan hanya masam,
tapi juga hambar.
Si Pacar lanjut bermain sosial media, senyum-senyum
sendiri. Sesekali gawainya berdering, ada pesan mendarat. Cepat-cepat Si Pacar
menutup gawai, merahasiakan pesan dari Joko. Setiap Joko mendekat, Si Pacar
makin menjauh. Takut dibaca, ada jutaan rahasia di gawai putih bermerek Apel
tersebut.
“Ngapo sih ditutup gitu? Ado rahasia ni pasti. Pacaran
kok gini nian, katanya harus saling jujur, terbuka, dak boleh main
rahasia-rahasiaan, tapi aku nengok dikit be dak boleh!”
“Bukannyo dak boleh, tapi bendo ni sangat pribadi.
Jangankan kau, keluargaku be dak ado yang boleh minjam.”
“Aduhh, sayang.... aku ni pacarmu, wajar be lah kalau
aku curiga.”
“Tuu... Kan, mulai membatas-batasi, mulai
curiga-curigaan, katanya harus saling percaya.”
“Iya, emang aku percaya kok.”
“Nah... Kalau gitu, kau harus percaya kalau aku idak
ado berbuat yang aneh-aneh dengan gawai ni. Aku ni cuma main game be, tengoklah
na!”
Si Pacar memperlihatkan layar gawai yang menampakkan
aplikasi PUBG, ML, bahkan HAGO. Tapi, ketika si pacar hendak
memalingkan gawai tiba-tiba sebuah pesan WA
mendarat bagai rudal. Si Pacar ligat menarik gawai dan mematikannya.
“Tuh tuh, ado pesan yang masuk ke hapemu, masih jugo
nak bohong.” Joko marah besar, wajahnya merah emosi. Dia lebih tampak seperti
kecewa, sedikit mau menangis.
Si Pacar melihat gawai pelan-pelan, tertera nama
“Sayang ke-2” di layar kontak pesan. Dia mulai mencari alasan konkrit.
“Aduhh... Cuma pesan dari Ayah aku be kok jadi marah
gitu.”
“Ayah siapa? Ayah-ayahan maksudmu?”
“Ayah akulah, kau dak percaya?” Si Pacar lebih sangar
dari Joko, nyali Joko kembali ciut. “Sudah dua bulan kito menjalin hubungan kau
masih dak percaya samo aku. Kau mau cari gara-gara lagi? Ingat dak dua tahun
kau tu nembak aku tapi aku tolak terus. Masih untung sekarang aku mau jadi
pacar kau, eh kau malah nyari masalah. Enak jugo nyari duit, bisa kasih ke
aku.”
“Aku ni cuma mengutarakan maksud, sayang. Dak ado
maksud aku untuk....”
“Sudah cukup! Bulan lalu kau jugo yang buat ribut,
habis tu aku minta putus kau malah
nangis-nangis. Bulan ni kau jugo bikin ribut, mau aku putusi lagi?”
Joko kaget, dia mulai mendekati Si Pacar kemudian
menggenggam jemarinya. Si Pacar lekas menjauh dan menghempas genggaman Joko. Mata
Joko sayu, dia tidak berdaya.
“Aduuhh... Bukan gitu maksudku, sayang. Aku tu
percaya, dak pernah aku meragukan kesetiaanmu. Tapi, aku tu mau sekali be
nengok pesan di hapemu itu.”
Tiba-tiba pelayan datang membawa makanan yang masih tertutup.
Dia mendekati Si Pacar dengan romantis.
“Ini makanannya sudah siap, mbak. Makanan spesial
untuk wanita spesial pula.”
“Ehemm....” Joko seketika batuk, sebetulnya memberi
implikatur kepada pelayan. Tidak berhasil, pelayan semakin kurang ajar. Dia
menggenggam jemari Si Pacar dan menciumnya. Sontak Joko emosi dan berdiri,
pelayan tak gentar juga berdiri. Mereka saling berhadapan, Joko mulai lemas
ketika tubuh tinggi, besar, dan kekar pelayan menghanguskan keberanian Joko.
“Maaf bang, bukannyo mau ngajak betinju. Cewek tu
pacar aku, jadi abang jangan ganggu hubungan kami.” Tutur kata Joko berubah
lebih sopan, dia tidak berani dengan pelayan. “Aku mohon bang, kami lagi
bertengkar abang masuk be ke dapur lagi. Biarkan kami selesaikan masalah kami” Joko
menangis tersedu, dia memohon kepada pelayan. Sontak pelayan merasa jijik, dia
meninggalkan mereka.
Si Pacar membereskan tas, cas, dan gawainya kemudian
bergegas pergi. Joko menghadang, dia memegang erat tangan Si Pacar.
“Jangan pergi dulu, aku dak mau kito bertengkar
terus.”
“Sumpah, aku malu! Kau ni jadi cowok dak ado harga
diri nian!”
“Aku tu bukannyo dak ado harga diri, tapi aku dak mau
ada keributan di sini. Aku dak suka ngajak betinju, kau kan tahu aku ni cuma
sok jagoan be padahal rapuh.”
“Sudahlah, aku nak pulang!”
Joko menangis terpingkal, dia masih memegang lengan Si
Pacar seperti anak kecil. Akhirnya Si Pacar duduk kembali dengan wajah
cemberut.
“Kito selesaikan dulu ya, makan be dulu, sayang.” Joko
membuka makanan, mereka terkejut! Di dalam piring terisi penuh gawai-gawai
bekas.
“Aku dak mau makan ni!” Si Pacar mengajukan protes
“Ngapo kau pesan menu ni?”
“Loh, kan sayang yang mesan makanan ni.”
“Pokoknya aku dak mau makan.”
Melihat Si Pacar yang sudah tidak baik, Joko memanggil
Bang Ucok selaku pemilik angkringan. Bang Ucok berbadan pendek, kurus, berkulit
hitam, Joko berani marah padanya. Bang Ucok mirip pria lemah yang penyakitan.
“Bang, ngapo makanan di sini isinyo bendo ni!”
Bang Ucok heran, dia membuka penutup makanan. “Ohh...
Memang begitu mas, semua makanan di sini berbahan dasar gawai. Bahan itu sudah
menjadi pokok, inti sari, dan kebutuhan primer hidup. Sebentar lagi akan masuk
dalam kategori empat sehat enam sempurna, dan gawai sebagai makanan
penyempurna. Coba saja dulu dimakan, pasti enak!”
“Sinting! Mana mau aku makan bendo ni!” Joko bertindak
seperti pahlawan, dia berani memaki Bang Ucok yang berbadan kecil.
“Gawai ini kaya vitamin....”
“ASU, vitamin ASU, aku udah tahu bang! Pelayan abang
yang sok kuat itu sudah menjelaskan panjang lebar.”
“Kalau mas dak suka, boleh deh ganti menu lain. Saya
kasih gratis!”
Joko tidak peduli, dia mendorong Bang Ucok hingga
terlempar ke belakang. Bang Ucok jatuh menimpa meja. Suasana menjadi riuh, pelayan-pelayan
berbadan kekar mendekat. Joko cemas! Dia menatap si pacar, memegang lengannya
kemudian lari menyelamatkan diri. Terlambat! Pelayan sudah mengepung. Mereka
memukul Joko hingga babak belur, seorang pelayan tampan menggoda Si Pacar.
Mereka berduaan sedikit jauh dari keributan. Di sana Si Pacar berbincang
romantis bersama pelayan tersebut. Hingga satu jam lamanya, Joko sudah babak
belur penuh luka sekitar muka.
***
Suatu pagi kerumunan di rumah duka terasa sepi. Bendera
kuning terpasang di bawah rintik sendu air mata yang jatuh dari langit. Yasin
terdengar lantang, keluarga tidak rela anaknya tewas malam itu. Di pinggir
sungai Batanghari, jasadnya ditemukan sudah membusuk oleh beberapa warga yang
masih terbangun dan melintas di sana. Wanita itu tewas mengenaskan, tapi pihak
keluarga enggan melakukan otopsi.
Saran pihak kepolisian ditolak mentah-mentah, keluarga
tidak mau. Mereka tetap menuntut kepolisian menemukan pelaku pembunuhan, meski
tanpa otopsi. Jelas perkara itu adalah tindakan pembunuhan, ada bekas cekik di
sekitar leher. Keluarga tidak tega melihatnya, mereka mencoba ikhlas tapi
gagal.
Hujan air mata tergenang di rumah duka. Tidak ada
suara selain tangisan, juga yasin terdengar lantang. Pak Ustad khusyuk dengan
bacaannya, duduk di sebelah mayat. Mama tidak kuat hati, ibu-ibu tetangga
berusaha menenangkan. Bapak mencoba tenang dan menjalani pagi dengan tegar.
Tidak tampak di sana, Joko. Dia tidak datang saat
pemakaman Si Psacar berlangsung. Keluarga tidak peduli, hubungan mereka tidak
pernah direstui. Keluarga bersyukur Joko tidak datang ke sana. Mereka jijik
melihat tingkah laku Joko, menurunkan harga diri keluarga mereka.
Setelah pemakaman usai, dua orang polisi datang ke
rumah. Polisi berbadan besar dengan kacamata hitam pekat membawa kumpulan
berkas, sementara rekannya yang kurus kerempeng menenteng pentongan seperti
satpam.
“Apo ibu tahu kemano anak ibu malam tu?” Si Besar
membuka kacamata
“Dak tahu, Pak eh.” Sembari bicara, Mama terus
menangis sendu.
“Hmm... Aneh! Orang tua kok dak perhatian nian samo
anaknyo.”
“Orang tua zaman kini emang gitu, dak ado nian mau
nengok anaknyo” Cetus Si Kerempeng menatap sinis ke arah Mama.
“Jago mulut kau tu! Polisi dak pantas ngomong gitu.
Harusnya bikin tenang, bikin damai, malah bikin tambah rusuh. Coba kau be di
posisi aku!” Mama emosi, dia hampir tidak bisa menahan amarah.
Si Kerempeng tidak berkutik, dia diam tanpa kata. Si
Besar melerai ketegangan di antara mereka. “Dari pado marah-marah dak jelas,
mending Ibu jelasi be terakhir anak Ibu pergi kemano?”
“Tu lah yang aku lupo, kalau dak salah Dio pergi samo
Joko.”
“Siapo Joko tu, Bu?”
“Joko tu pacar anak sayo, orangnya sih baik tapi
selalu buat malu be. Pernah waktu kami lagi makan di cafe, kaki Joko naik ke
meja kayak lagi di warung nasi Supik.”
“Siapo supik tu?”
“Penjual nasi uduk sebelah rumah ni.”
“Heee... dak apolah, Bu. Biaso be kalau gitu.”
Sambil terengah-engah Mama berdiri “Jatuh nian hargo
diri keluarga aku.”
“Santai, Bu santai.” Si Besar memasang sikap bela
diri. “Damai be lah, jangan kayak PEMILU.”
“Kok PEMILU?”
Si Besar melihat kondisi sekitar “Ribut terus, harusnya
PEMILU itu menguatkan persatuan, bukan malah tercecer cerai. Sebagai seorang
polisi patriot dan punya jiwa nasionalis tinggi, kejadian ini tidak bisa
dibiarkan.”
“Elehh... Padek nian bohong kau ni, baru dibentak
atasan dikit be udah ciut, apolagi dibentak pejabat. Bisa pingsan!”
Si Besar menggulung lengan baju, dia marah. “Ibu
jangan menghina! Ibu kira aku ni cowok apaan? Aku ni juga punya harga diri.” Tiba-tiba
Si Besar menangis terisak “Sakit hati aku ni tau dak. Dak ado nian orang yang
menghargai aku, selalu be direndahkan. Aku ni polisi, harusnyo Ibu tu segan
samo aku.”
Si Kerempeng mengelus kepala Si Besar “Sudah sudah,
jangan menangis terus. Polisi kok nangis, udah besar loh...”
“Dio tu na dak ado nian hargai aku, apasalahnya hargai
diriku sebelum kau nilai siapa diriku.”
“Kok malah nyanyi sih.”
Mama duduk kembali, nada bicaranya mulai pelan. “Siapolah
yang tega membunuh anak aku? Dak ado hati nian.” Dengan wajah iba mama menatap
kedua polisi yang juga diam mendengarkan. “Kalian harus cari pelakunyo.”
“Dak nak!”
“Aku bilang ni samo atasan kau.”
“Dasar pengadu!”
“Dasar oknum, seharusnya kalian itu bekerja
profesional ni malah buat resah. Mau aku bilang nian ke atasan?”
Kedua polisi saling tatap, mereka berbisik kemudian
menatap kembali ke arah Mama. “Untung be cewek, kalau cowok udah habis aku
sikat!”
“Homo!”
“Kurang ajar!”
***
Joko bersembunyi di dalam tong sampah besar dekat
pasar Angso Duo. Matanya merah, kantung mata melar, mendadak sikapnya berubah. Dia
menjadi manusia kalong yang tidur di siang hari. Anehnya Joko enggan pulang ke
rumah, benci wanita, benci manusia.
Setiap Joko menyapa manusia, selalu diacuhkan.
Generasi menunduk selalu menatap gawai. Joko sering menegur, tapi tidak mempan.
Jadilah dia sebagai lelaki kalong yang benci keramaian. Joko cinta sepi, dia
senang menyendiri. Di siang hari, Joko selalu berada di dalam tong sampah besar
dekat pasar. Bila malam gulita, Joko keluar menuju pemakaman umum tempat Si
Pacar dimakamkan.
Bukannya sedih atau berdoa, Joko diresahkan dengan
suara musik “Aisyah Ku Jatuh Cinta” dari dalam kubur Si Pacar. Semakin malam,
suara musik bertambah kencang. Keanehan itu membuat Joko memendam tanda tanya
besar. Dia bermaksud menggali makam, tapi tidak berani.
Joko sudah berdiskusi dengan indigo, polisi, penjaga
makam, pejabat, hingga petinggi partai yang balihonya terpampang besar di
sekitar pemakaman. Hasilnya nihil, mereka tidak bisa mengungkap kenapa ada
musik di dalam kubur. Ketika pertanyaan itu di lontarkan Joko, mereka selalu
berkata “Kalau mau tahu, harus bayar dulu!” sambil tertawa sinis dan memainkan
gawai seperti orang sibuk.
Sebagai lelaki kalong yang mendadak miskin, Joko tidak
bisa membayar hanya untuk mencari tahu persoalan itu. Sepanjang hari musik
“Aisyah ku jatuh cinta” terngiang di otaknya. Menjadi batu besar memenuhi ruang
kepala. Menjadikan Joko setengah gila, ditambah pergaulan sosial menendangnya
dari kehidupan. Joko terpental jauh seorang diri, berkawin dengan sepi di dalam
tempat sampah besar.
Lapar dan dahaga hanya ilusi, dia sudah kenyang
mengkonsumsi kenyataan pahit. Bukan hanya Joko, ternyata seluruh tempat sampah
di Jambi sudah dijadikan rumah bagi kalong-kalong lain. Berbaur dengan
sampah-sampah yang perlahan menjadi kulit manusia. Tidak bisa lagi membedakan
bau sampah dan bau manusia.
***
Purnama memantulkan sinar di langit, Joko berada di
rumah tua tidak jauh dari pemakaman. Orang banyak menyebut seorang datuk
pemilik rumah sebagai juru kunci pemakaman.
“Apo datuk dengar suara aneh dari dalam kubur setiap
malam?”
Pria tua berpakaian serba hitam dengan bekas jahit di
dahi tidak merespon. Datuk fokus komat-kamit membaca mantra. Sesekali
mengangguk padahal Joko tidak bicara.
“Datuk, o datuk.”
Datuk kaget dan menyembur air ke wajah Joko. “Bilo kau
ado di sini? Kok aku dak nampak.”
“Datuk kan udah tuo, jadi wajar be lah.”
“Ai lah, anak mudo kini dak ado nian sopan santun.” Datuk
menggeleng kecewa. “Dulu waktu aku masih mudo, raso hormat dengan orang tuo tu
nomor satu. Zaman kami dulu keras, kalau kami melawan samo orang tua langsung
melayang ikat pinggang. Zaman kini apo ha?” Datuk tertawa. “Anak sekolah baru
be keno cubit dikit, sudah bawa-bawa
polisi. Padahal dio nian yang salah buat onar di kelas, malu datuk
jadinyo.”
“Beda zaman tuk, apo datuk dak nengok anak-anak zaman
kini? Mereka lebih sopan, setiap waktu selalu menunduk sampe-sampe dak mau
mendongak lagi.”
“Itu bukan sopan, tapi sudah terpengaruh gawai!
Sekarang zaman globalisasi, bos. Jadi wajar be lah.”
Joko membetulkan duduknya “Justru globalisasi sudah
membuka wawasan generasi muda menjadi lebih kritis.” Mata sayu akibat tidak
tidur berhari-hari seketika membesar. “Sikap kritis itulah yang diterapkan
generasi muda di sekolah. Makonyo sekarang banyak pelajar yang melawan guru,
tawuran, betinju, itu semua karena bersikap kritis. Kritis terhadap rasa malu.”
“Kritis yang dak penting! Bikin malu negara, tidak
bermoral.”
“Sudahlah, tuk. Kok jadi ngurusin negara sih, aku ni
nak nanyo tentang lagu di dalam kubur tu.”
Datuk memasukkan beberapa daun kelor ke dalam guci
yang berisi air panas. “Minumlah!”
“Apo ni, tuk?” Joko minum dengan lahap, seketika
menyembur keluar kepanasan. “Panasss...... Ini jampi-jampi yo?”
“Bukan! Itu rebusan air kelor, baik untuk kesehatan. Habiskanlah,
kau butuh itu. Aku lihat kesehatanmu terganggu.”
Joko marah, tapi tetap menghabiskan rebusan daun
kelor. “Aku tidak gila!”
“Loh, siapa yang bilang gila? Kau deweklah yang
meraso.”
“Aku serius Datuk, tatap mata aku!” Datuk menatap mata
Joko. “Aku dengar ado suara aneh di dalam kubur.”
“Suara apo?”
“Dak tahu, kayak lagu-lagu viral sekarang. Entahlah,
ngeri, coba datuk dengar sendiri. Datuk juru kunci pemakaman itu, harus segera
bertindak.”
“Itu makam
siapo? Kok peduli nian dengan makam tu?”
Joko terdiam, dia gugup. “Makam pacar aku, datuk.”
“Ngapo dio biso meninggal?”
Joko terdiam tuntas, tidak ada lagi balasan untuk
pertanyaan yang diajukan datuk.
***
Mereka sampai di sebelah kuburan yang dimaksud Joko.
Suasana mencekam, terdengar suara burung gagak dan lolongan anjing dari setiap
sudut. Lebih seram dari rumah hantu dan film horror. Joko tidak berani
jauh-jauh dari datuk, malam itu seketika lebih seram dari malam sebelumnya.
“Nah.. Nahh... Coba datuk dengar dewek!”
Dari dalam sana terdengar lagu “a-a-a-a aisyah, ku
jatuh cinta” perlahan semakin kencang. Datuk kaget, dia hampir ingin berlari.
“Ini....”
“Kenapa datuk?”
“Sungguh menyeramkan, suaro tu. Hiii... Dak pernah aku
dengar.”
“Aku seringlah dengarnyo di kota beberapo hari yang
lalu.”
“Sumpah, ini mengerikan! Aku dak kuat, nak balek.”
Joko memegang lengan Datuk erat, dia menariknya agar
tidak pergi. “Kito harus selesaikan masalah ni malam ni jugo!”
“Aku dak mau! Ngeri nian.”
Tiba-tiba Joko menarik baju Datuk hingga koyak. Datuk
berusaha menjauh dari pemakaman. Dari arah depan segerombolan polisi datang
menyergap.
“Angkat tangan!”
Joko dan Datuk mengangkat kedua tangan, Joko gemetar
hampir ngompol sementara Datuk merasa tenang.
“Tolong..... Ado suaro mengerikan di dalam kubur tu!”
Datuk menunjuk kuburan dengan nama Ningsih di batu nisan.
Segerombolan polisi terkejut, tapi tidak takut suara
itu sering mereka dengar. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah
hanyalah menggali. Mereka cepat mengambil sekop di rumah Datuk. Hanya butuh
waktu lima belas menit, kubur itu berhasil digali. Di balik papan itu sesuatu
yang mengerikan akan tampak.
“Buka!” Perintah Si Besar lantang.
Mereka semua kaget ketika papan itu dibuka. Kubur
telah kosong, tersisa hanya kumpulan gawai mahal dari berbagai merek. Gawai itu
serempak membuka tampilan aplikasi musik lipsinc
yang viral baru-baru ini. Dari situlah sumber suara berasal, semua menjadi
lega. Keanehan telah terpecahkan.
“Tapi, dimana mayatnya?” Joko bertambah takut,
tubuhnya merinding.
“Di atas pohon!”
Datuk terpelongo sekaligus gagap ketika melihat mayat
itu berada di atas pohon sambil memegang gawai.
“Ngapain di situ?”
Mayat melihat tajam ke arah mereka. “Di bawah tidak
ada sinyal!”
Joko tiba-tiba pingsan, terjatuh ke dalam kubur.
Tubuhnya kusut, bau, kumal, tidak dirawat berbulan-bulan lamanya.
“Tangkap dia!” Gerombolan polisi memborgol lengan Joko.
Datuk bingung “Kenapo dio ditangkap?”
“Dialah pembunuh Ningsih, yang punya makam ini.”
Mayat tersenyum lebar ke arah mereka, Datuk tiba-tiba
ikut pingsan dan masuk ke dalam kuburan bersama Joko.
***
Setelah kondisi kacau di angkringan Bang Ucok, serta
Joko babak belur dikeroyok. Si Pacar masih tidak peduli, dia bahkan tidak
menganggap Joko ada. Si Pacar terus bermain gawai selama perjalanan pulang. Joko
terus menegur, Si Pacar merespon kurang baik. Sedan merah berhenti di pinggir
Sungai Batanghari, Joko mencekik Si Pacar. Mata dan hati Joko sudah buta, dia
tidak lagi bisa merasakan. Joko sudah gelap mata, malam itu Si Pacar tewas di
tangan Joko. Jasadnya dibuang ke dalam Sungai Batanghari.
***
“Dimano aku?” Joko berteriak kaget, jiwanya masih
terganggu. Dokter berhasil mengidentifikasi penyakit yang dideritanya. Joko
terkena penyakit Gawaiphobia yang disebabkan
karena kekurangan kasih sayang akibat teknologi canggih tapi pemisah
tegur-sapa. Dia dikurung dalam sel tahanan.
“Di penjaro.” Tuntas Si Kerempeng sambil tertawa
lebar. Joko tidak mau dikurung, dia berusaha kabur tapi tidak bisa. Joko
menangis terisak, besi jeruji itu digoyang-goyangkannya. Dia sengaja membuat
bising, ternyata kebisingan itu membuat tahanan lain terganggu. Sebentar lagi
hidupnya akan tamat di dalam penjara. Dimangsa tahanan yang menatapnya buas.
Sementara di luar sana, terpampang besar baliho,
pamflet, spanduk bergambar Joko. Bukan baliho kampanye, atau visi misi,
melainkan baliho sindiran dengan kata-kata unik. Beberapa kata yang dipakai: Pensiunan
Sosial Media, Kita Semakin Jauh, Dunia Besar Terasa Kecil, dan Gawaiku Hidupku.
Di pusat Kota Jambi terpajang besar baliho ukuran enam kali enam bergambar Joko
lagi tersenyum dengan tulisan “Aktivis Sosial Media”.
2019


No comments:
Post a Comment