TULUN
BELUNTANG
Tulun Beluntang wanita buruk rupa yang dulu pernah
menjadi kekasihku ternyata diam-diam masih mengingatku. Aku selalu bertemu
dengannya di kampus, dia selalu mengikutiku kemanapun. Ke ruang kelas, Prodi,
ruang Dekan, bahkan ketika aku sedang diskusi dengan Pak Martoyo, pembimbing
skripsiku. Tulun selalu hadir, dia mengendap dan mengintip di tempat yang tak
tampak. Aku sadar, kejelekan wajahnya tidak pernah lepas dari pikiran.
Bukan sok tahu, atau terlalu percaya diri. Aku pernah
melihatnya sembunyi di dalam tong sampah dan mengintip dari sana. Aku juga
pernah melihatnya sembunyi di dalam selokan, dia ke kampus selalu mengenakan
baju kaos dan dada berisi Tulun tampak indah. Barangkali itu yang membuat aku
tidak bisa melupakannya. Meskipun Tulun buruk rupa, anehnya aku terus teringat
wajahnya yang hitam.
Ketika aku mengajaknya jalan, sungguh sangat
memalukan! Aku selalu mengenakan jaket dengan sarung penutup kepala, dingin
alasanku. Padahal aku tidak mau orang-orang melihatku sedang kencan dengan
Tulun. Aku malu! Meski begitu, hubungan kami harmonis. Akupun tidak menyangka
bisa cinta sepenuh hati. Sekalipun pada akhirnya kami berpisah, aku sudah tidak
kuat menerima cacian pedas dari Baleng.
“hahaa... Kau suka sama pantat kuali? Ya ampun, kok
kau mau sama Tulun? Joko, meski wajahmu dak ganteng amat, tapi masa kau dak
bisa nyari cewek yang lebih cantik? Minimal tidak sejelek Tulun. Kau bayangkan
saja betapa menyeramkannya wanita itu! Apalagi pas malam, mungkin dikira setan.
Bayangkan kalau kau nikah dengan Tulun, hiiiii... mengerikan!” Begitu kata
Baleng tertawa lebar, dia menghinaku!
Aku ingat malam itu, malam minggu. Hujan turun deras,
seperti dalam sinetron kami bertengkar hebat di bawah hujan mengguyur. Petir
menyambar keras, wajah Tulun menyeramkan, benar kata Baleng! Dia seperti setan,
saat itulah aku melepasnya pergi. Kami putus tidak secara baik-baik, kami putus
dengan perasaan benci. Dia sangat kecewa, aku yakin! Aku pergi meninggalkannya
seorang diri, dia seperti setan di tengah jalan.
Besoknya kabar burung sampai ke telingaku, Tulun punya
pacar lagi. Ya ampun, wanita itu benar-benar gila. Kenapa banyak pria yang suka
padanya? Dia tidak mengingatku lagi, tapi semakin lama aku terus
menginginkannya kembali. Aku semakin ingin mendapatkannya lagi. Kenapa dunia
tidak adil? Tulun mudah mendapatkan penggantiku, tapi aku sangat sulit
mendapatkan wanita cantik.
Angel, Bunga, Laraz, Zairah, Hafizah, dan Tari semua
itu rentetan wanita yang aku tembak, tapi mereka menolak mentah-mentah. Wajah
mereka sangat cantik, seperti artis-artis dan mereka wanita hedon. Pastilah
lahir dari keluarga kaya raya, rata-rata ayah mereka menjabat sebagai direktur
perusahaan.
Aku sangat ingin menjadi kekasih salah satu di antara
mereka, seperti yang Baleng katakan “Carilah cewek yang cantik, putih, tinggi,
seksi, kaya, maka hidupmu akan bahagia” Aku menemukan mereka setelah menyeleksi
lebih dari seratus wanita di kampus. Mereka enam besar wanita yang lolos
seleksi, ketenaran mereka sudah sampai ke seluruh penjuru kampus.
Mereka cantik, putih, tinggi, seksi dan kaya. Persis
seperti yang dikatakan Baleng. Aku akan sangat bahagia bila mendapatkan salah
satu di antara mereka. Tapi, ketika aku tembak mereka menolak mentah-mentah.
“Hiii... dak mau!”
“Siapa kamu? Sok nembaku aku!”
“Jijik!”
“Dasar cowok gatal!”
“Edan!”
Begitulah mereka mencaci, menolak cinta yang aku
utarakan. Aku sangat sedih, sakit hati! Aku belum pernah ditolak cewek, karena
Tulun adalah satu-satunya cewek yang pernah aku tembak sebelum ini. Jadi begini
rasanya, cinta bertolak sebelah tangan, kaki, telinga bahkan sebelah jantung. Tidak
bisa dipaksa!
Ada satu yang mau menerimaku, Tari. Ketika aku
menembaknya, dia balik menggoda. Menggenggam tangan, mengelus pipiku, kemudian
berbisik.
“Kalau kamu mau kencan denganku, bayar aku delapan
puluh lima juta!”
Mana punya aku uang sebanyak itu, gila saja harus
membayar sebanyak itu untuk sekali kencan. Akhirnya aku membatalkan niat, aku
menjadi penikmat hidup yang hambar. Setiap malam minggu jalan sendirian,
sementara puluhan pasangan sedang menikmati bintang-bintang di langit. Sangat
mengenaskan!
Tiba-tiba aku teringat Tulun, wanita yang pernah aku
sia-siakan. Di malam itu, wajahnya terus terbayang di langit. Rasi bintang
membentuk wajahnya si buruk rupa. Aku sudah gila membandingkan keindahan
bintang dengan kejelekan wajahnya. Tapi aku tidak peduli! Dia mencintaiku dan
aku mencintainya. Aku tidak peduli cacian orang, aku harus memintanya kembali.
Beberapa hari ini terdengar kabar Tulun ditinggal
pacar. Pria yang menjadi pacar Tulun telah menghilang dan menikah dengan wanita
lain, wanita yang lebih cantik dari Tulun. Ini kesempatan emas! Seperti kilat,
secepat mungkin aku mengambil gawai dan menghubungi wanita itu.
“Haloo....”
“Haloo....”
“Haloooo....”
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah
beberapa saat lagi.”
Tulun sudah tidak mengenakan nomor yang dulu pernah
aku kasih. Dia mungkin sangat kecewa, membuang kartu pemberianku ke dalam
sungai. Aku menyesal telah memutuskannya tanpa sebab. Kerenggangan hubungan
kami waktu itu juga lucu, tidak ada masalah besar. Kami hanya salah paham
tentang tanggal jadian.
“Tanggal dua” Kata Tulun.
“Tiga!”
“Dua...”
“TIGAAA!”
Kejadian itu membawa kami menuju jurang terdalam. Aku
memutuskannya tanpa berpikir apa-apa. Jelas aku sangat menyesal, aku tidak bisa
melupakan Tulun. Wajahnya yang buruk rupa, berkah bagiku. Dia mencintaiku, setelah
itu tidak ada lagi wanita yang mencintaiku seputih Tulun.
Puluhan merpati terbang di atasku, menghias langit
hitam yang sendu. Kemudian mereka berak serentak, jatuh ke atas kepalaku. Aku
tambah kesal, mencaci merpati-merpati itu.
“Anjing! Dasar
binatang, dak punya otak!”
Mereka berak kembali, lebih banyak. Beruntung aku
sempat menghindar, jadi tidak terkena banyak. Aku ke pinggir sungai, mengambil air
dengan telapak tangan. Membersihkan tubuhku dari tahi burung.
“Burung biadab!”
Tidak lupa terus mencaci rombongan burung yang kurang
ajar. Aku juga sempat memaki gerombolan anak-anak yang sedang bermain pancit.
“Ngapa lihat-lihat? Pergi!”
Mereka tidak beranjak dan langsung melemparku dengan
pasir “Anjing!!!” aku teriak keras. Mereka pergi dan dari kejauhan aku hanya
bisa melihat jejak mereka membekas di pasir sepinggiran sungai.
“Aku kejar kalian!”
Cepat aku membersihkan tubuh, hendak mengejar
anak-anak kurang ajar. Malam minggu itu, kesabaranku sudah habis. Aku akan
menjewer mereka semua. Tapi di tengah sungai, ada sesuatu yang membuat mataku
melotot. Wanita itu tidak asing bagiku, Tulun!
Lama aku melihatnya, aku yakin dia Tulun.
“Tuluuunnn!!!!!! Sayangg....... Oiiiiiii” Teriakku keras, tapi tidak sampai ke
telinganya.
Tulun menuju seberang sungai menggunakan Getek. Sejenis
rakit yang dikendalikan oleh seorang pria. Aku berlari menuju seorang pria yang
usianya sekitar enam puluh tahun.
“Pak, sewa Getek ke seberang!”
Tanpa basa-basi aku berdiri di bagian depan, seperti
seorang bajak laut yang memburu harta karun. Pak Tua secepat mungkin
mengendarai Getek sampai ke seberang. Aku membayangkan Tulun berada di depanku
naik Getek berdua, seperti dalam film Titanic.
Dia membentangkan tangan, aku memeluknya dari belakang.
Kami menikmati malam minggu dengan sempurna. Sayangnya
itu hanya mimpi, kami naik Getek berbeda. Tulun jauh di depanku, kami seperti
di arena balap. Aku melihat wanita itu sedang ngupil sambil melihat ke arah
sungai. Dia tidak berubah! Kebiasaan joroknya selalu ngupil dimanapun tanpa
malu.
Aku berhenti di dermaga, Tulun telah berlabuh lebih
dulu. Aku melihatnya masuk ke sebuah rumah panggung kayu. Aku memberikan uang
lima ribu rupiah, Pak Tua tersenyum semringah.
“Ambil saja kembaliannya, pak!”
“Uangnya kurang nak!”
Aku kaget, memeriksa saku baju dan celana tapi tidak
ada uang yang tersisa. Pak Tua tidak bicara, kemudian pergi dengan Geteknya
menuju tempat semula. Aku menatapnya pergi di telan malam.
“Terimakasih, Pak!”
Selepas itu, aku berlari menuju sebuah rumah tempat
Tulun masuk. Sebuah tali tiba-tiba terbentang di depanku, ketika aku melewati
gapura. Aku jatuh, segerombolan anak-anak yang melemparku dengan pasir tadi tertawa
lebar. Mereka kembali berlari, menuju gang sempit.
“Kurang ajar!
Setan!”
Aku mengejar, lari mereka sangat cepat. Ketika di
perempatan, mereka tidak lagi terlihat.
“Anjing!”
Aku merapikan pakaian, membersihkan lutut yang
berlumur lumpur. Secepat mungkin aku berlari menuju rumah Tulun, fokus pada
wanita itu. Aku mengetok pintu kayu yang sudah lapuk. Pintu itu sudah
berlobang, ada rayap sedang bercumbu di sana.
Pintu terbuka, aku terkejut “Tulun!” aku tersenyum
lebar ingin memeluk wanita yang ada di hadapanku. Tulun menatap aneh, dia
was-was.
“Siapa?”
“Aku! Masa dak kenal?”
“Dak kenal!”
“Joko”
“Oalah... Sudah banyak berubah ya, sudah lama dak
ketemu. Mari masuk!”
Aku masuk ke rumah Tulun, duduk di kursi rotan yang
sudah berbunyi dan mau patah. Tulun pergi ke belakang, aku menatap rentetan foto
hitam putih terpajang di dinding. Foto itu sebetulnya kenangan hubungan kami. Tulun
memotongnya sehingga tidak ada lagi wajah aku di sana.
Tulun datang membawa satu gelas teh hangat, aku
menatap keindahan wajah buruk rupanya. Aku melihat masa lampau, sejarah,
kenangan, sekaligus masa depan di sana. Meskipun wajahnya sangat jelek, tapi
itulah keindahan yang sebenarnya. Aku melihat senyuman manisnya, dulu pernah
aku kecup bibir, hidung, pipi, dan keningnya. Baunya khas, Tulun jarang mandi.
Aku ingin memulainya dari awal, menata masa depan yang
sudah lama tertunda. Aku ingin melamarnya, kami akan menikah. Aku akan punya
anak dari Tulun, tidak peduli sejelek apa anak kami nanti. Aku mencintainya,
dia harus tahu!
Belum sempat aku memulai pembicaraan, tiba-tiba dua
laki-laki keluar dari dalam kamar. Aku mengenal mereka, Baleng dan Pak Martoyo.
“O iya, mereka suamiku!”
Dada aku sesak, napas enggan berhembus “Jadi, kau
menikah dengan Baleng dan dosenku!”
“Iya, dan mereka anak-anakku!”
Aku melihat ke arah segerombolan anak-anak kurang ajar
yang telah membuat aku kesal dari tadi. Anak-anak yang aku kejar dari tadi.
“Apa kau punya burung merpati?” Tanyaku hambar.
“Tidak, aku cuma punya dua burung perkutut besar.” Dia
melihat ke arah Baleng dan Pak Martoyo.
Aku tidak bisa bicara, mulut terkunci, pandangan
gelap. Aku terpaku di kursi, menikmati kenyataan yang tidak hanya pahit tapi
kelat, hambar, dan pedih. Aku berkeringat dingin, hatiku meledak menjadi debu.
2019


No comments:
Post a Comment