Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, February 8, 2019

TULUN BELUNTANG


TULUN BELUNTANG
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"





Tulun Beluntang wanita buruk rupa yang dulu pernah menjadi kekasihku ternyata diam-diam masih mengingatku. Aku selalu bertemu dengannya di kampus, dia selalu mengikutiku kemanapun. Ke ruang kelas, Prodi, ruang Dekan, bahkan ketika aku sedang diskusi dengan Pak Martoyo, pembimbing skripsiku. Tulun selalu hadir, dia mengendap dan mengintip di tempat yang tak tampak. Aku sadar, kejelekan wajahnya tidak pernah lepas dari pikiran.
Bukan sok tahu, atau terlalu percaya diri. Aku pernah melihatnya sembunyi di dalam tong sampah dan mengintip dari sana. Aku juga pernah melihatnya sembunyi di dalam selokan, dia ke kampus selalu mengenakan baju kaos dan dada berisi Tulun tampak indah. Barangkali itu yang membuat aku tidak bisa melupakannya. Meskipun Tulun buruk rupa, anehnya aku terus teringat wajahnya yang hitam.
Ketika aku mengajaknya jalan, sungguh sangat memalukan! Aku selalu mengenakan jaket dengan sarung penutup kepala, dingin alasanku. Padahal aku tidak mau orang-orang melihatku sedang kencan dengan Tulun. Aku malu! Meski begitu, hubungan kami harmonis. Akupun tidak menyangka bisa cinta sepenuh hati. Sekalipun pada akhirnya kami berpisah, aku sudah tidak kuat menerima cacian pedas dari Baleng.
“hahaa... Kau suka sama pantat kuali? Ya ampun, kok kau mau sama Tulun? Joko, meski wajahmu dak ganteng amat, tapi masa kau dak bisa nyari cewek yang lebih cantik? Minimal tidak sejelek Tulun. Kau bayangkan saja betapa menyeramkannya wanita itu! Apalagi pas malam, mungkin dikira setan. Bayangkan kalau kau nikah dengan Tulun, hiiiii... mengerikan!” Begitu kata Baleng tertawa lebar, dia menghinaku!
Aku ingat malam itu, malam minggu. Hujan turun deras, seperti dalam sinetron kami bertengkar hebat di bawah hujan mengguyur. Petir menyambar keras, wajah Tulun menyeramkan, benar kata Baleng! Dia seperti setan, saat itulah aku melepasnya pergi. Kami putus tidak secara baik-baik, kami putus dengan perasaan benci. Dia sangat kecewa, aku yakin! Aku pergi meninggalkannya seorang diri, dia seperti setan di tengah jalan.
Besoknya kabar burung sampai ke telingaku, Tulun punya pacar lagi. Ya ampun, wanita itu benar-benar gila. Kenapa banyak pria yang suka padanya? Dia tidak mengingatku lagi, tapi semakin lama aku terus menginginkannya kembali. Aku semakin ingin mendapatkannya lagi. Kenapa dunia tidak adil? Tulun mudah mendapatkan penggantiku, tapi aku sangat sulit mendapatkan wanita cantik.
Angel, Bunga, Laraz, Zairah, Hafizah, dan Tari semua itu rentetan wanita yang aku tembak, tapi mereka menolak mentah-mentah. Wajah mereka sangat cantik, seperti artis-artis dan mereka wanita hedon. Pastilah lahir dari keluarga kaya raya, rata-rata ayah mereka menjabat sebagai direktur perusahaan.
Aku sangat ingin menjadi kekasih salah satu di antara mereka, seperti yang Baleng katakan “Carilah cewek yang cantik, putih, tinggi, seksi, kaya, maka hidupmu akan bahagia” Aku menemukan mereka setelah menyeleksi lebih dari seratus wanita di kampus. Mereka enam besar wanita yang lolos seleksi, ketenaran mereka sudah sampai ke seluruh penjuru kampus.
Mereka cantik, putih, tinggi, seksi dan kaya. Persis seperti yang dikatakan Baleng. Aku akan sangat bahagia bila mendapatkan salah satu di antara mereka. Tapi, ketika aku tembak mereka menolak mentah-mentah.
“Hiii... dak mau!”
“Siapa kamu? Sok nembaku aku!”
“Jijik!”
“Dasar cowok gatal!”
“Edan!”
Begitulah mereka mencaci, menolak cinta yang aku utarakan. Aku sangat sedih, sakit hati! Aku belum pernah ditolak cewek, karena Tulun adalah satu-satunya cewek yang pernah aku tembak sebelum ini. Jadi begini rasanya, cinta bertolak sebelah tangan, kaki, telinga bahkan sebelah jantung. Tidak bisa dipaksa!
Ada satu yang mau menerimaku, Tari. Ketika aku menembaknya, dia balik menggoda. Menggenggam tangan, mengelus pipiku, kemudian berbisik.
“Kalau kamu mau kencan denganku, bayar aku delapan puluh lima juta!”
Mana punya aku uang sebanyak itu, gila saja harus membayar sebanyak itu untuk sekali kencan. Akhirnya aku membatalkan niat, aku menjadi penikmat hidup yang hambar. Setiap malam minggu jalan sendirian, sementara puluhan pasangan sedang menikmati bintang-bintang di langit. Sangat mengenaskan!
Tiba-tiba aku teringat Tulun, wanita yang pernah aku sia-siakan. Di malam itu, wajahnya terus terbayang di langit. Rasi bintang membentuk wajahnya si buruk rupa. Aku sudah gila membandingkan keindahan bintang dengan kejelekan wajahnya. Tapi aku tidak peduli! Dia mencintaiku dan aku mencintainya. Aku tidak peduli cacian orang, aku harus memintanya kembali.
Beberapa hari ini terdengar kabar Tulun ditinggal pacar. Pria yang menjadi pacar Tulun telah menghilang dan menikah dengan wanita lain, wanita yang lebih cantik dari Tulun. Ini kesempatan emas! Seperti kilat, secepat mungkin aku mengambil gawai dan menghubungi wanita itu.
“Haloo....”
“Haloo....”
“Haloooo....”
“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.”
Tulun sudah tidak mengenakan nomor yang dulu pernah aku kasih. Dia mungkin sangat kecewa, membuang kartu pemberianku ke dalam sungai. Aku menyesal telah memutuskannya tanpa sebab. Kerenggangan hubungan kami waktu itu juga lucu, tidak ada masalah besar. Kami hanya salah paham tentang tanggal jadian.
“Tanggal dua” Kata Tulun.
“Tiga!”
“Dua...”
“TIGAAA!”
Kejadian itu membawa kami menuju jurang terdalam. Aku memutuskannya tanpa berpikir apa-apa. Jelas aku sangat menyesal, aku tidak bisa melupakan Tulun. Wajahnya yang buruk rupa, berkah bagiku. Dia mencintaiku, setelah itu tidak ada lagi wanita yang mencintaiku seputih Tulun.
Puluhan merpati terbang di atasku, menghias langit hitam yang sendu. Kemudian mereka berak serentak, jatuh ke atas kepalaku. Aku tambah kesal, mencaci merpati-merpati itu.
“Anjing!  Dasar binatang, dak punya otak!”
Mereka berak kembali, lebih banyak. Beruntung aku sempat menghindar, jadi tidak terkena banyak. Aku ke pinggir sungai, mengambil air dengan telapak tangan. Membersihkan tubuhku dari tahi burung.
“Burung biadab!”
Tidak lupa terus mencaci rombongan burung yang kurang ajar. Aku juga sempat memaki gerombolan anak-anak yang sedang bermain pancit.
“Ngapa lihat-lihat? Pergi!”
Mereka tidak beranjak dan langsung melemparku dengan pasir “Anjing!!!” aku teriak keras. Mereka pergi dan dari kejauhan aku hanya bisa melihat jejak mereka membekas di pasir sepinggiran sungai.
“Aku kejar kalian!”
Cepat aku membersihkan tubuh, hendak mengejar anak-anak kurang ajar. Malam minggu itu, kesabaranku sudah habis. Aku akan menjewer mereka semua. Tapi di tengah sungai, ada sesuatu yang membuat mataku melotot. Wanita itu tidak asing bagiku, Tulun!
Lama aku melihatnya, aku yakin dia Tulun. “Tuluuunnn!!!!!! Sayangg....... Oiiiiiii” Teriakku keras, tapi tidak sampai ke telinganya.
Tulun menuju seberang sungai menggunakan Getek. Sejenis rakit yang dikendalikan oleh seorang pria. Aku berlari menuju seorang pria yang usianya sekitar enam puluh tahun.
“Pak, sewa Getek ke seberang!”
Tanpa basa-basi aku berdiri di bagian depan, seperti seorang bajak laut yang memburu harta karun. Pak Tua secepat mungkin mengendarai Getek sampai ke seberang. Aku membayangkan Tulun berada di depanku naik Getek berdua, seperti dalam film Titanic. Dia membentangkan tangan, aku memeluknya dari belakang.
Kami menikmati malam minggu dengan sempurna. Sayangnya itu hanya mimpi, kami naik Getek berbeda. Tulun jauh di depanku, kami seperti di arena balap. Aku melihat wanita itu sedang ngupil sambil melihat ke arah sungai. Dia tidak berubah! Kebiasaan joroknya selalu ngupil dimanapun tanpa malu.
Aku berhenti di dermaga, Tulun telah berlabuh lebih dulu. Aku melihatnya masuk ke sebuah rumah panggung kayu. Aku memberikan uang lima ribu rupiah, Pak Tua tersenyum semringah.
“Ambil saja kembaliannya, pak!”
“Uangnya kurang nak!”
Aku kaget, memeriksa saku baju dan celana tapi tidak ada uang yang tersisa. Pak Tua tidak bicara, kemudian pergi dengan Geteknya menuju tempat semula. Aku menatapnya pergi di telan malam.
“Terimakasih, Pak!”
Selepas itu, aku berlari menuju sebuah rumah tempat Tulun masuk. Sebuah tali tiba-tiba terbentang di depanku, ketika aku melewati gapura. Aku jatuh, segerombolan anak-anak yang melemparku dengan pasir tadi tertawa lebar. Mereka kembali berlari, menuju gang sempit.
“Kurang ajar!  Setan!”
Aku mengejar, lari mereka sangat cepat. Ketika di perempatan, mereka tidak lagi terlihat.
“Anjing!”
Aku merapikan pakaian, membersihkan lutut yang berlumur lumpur. Secepat mungkin aku berlari menuju rumah Tulun, fokus pada wanita itu. Aku mengetok pintu kayu yang sudah lapuk. Pintu itu sudah berlobang, ada rayap sedang bercumbu di sana.
Pintu terbuka, aku terkejut “Tulun!” aku tersenyum lebar ingin memeluk wanita yang ada di hadapanku. Tulun menatap aneh, dia was-was.
“Siapa?”
“Aku! Masa dak kenal?”
“Dak kenal!”
“Joko”
“Oalah... Sudah banyak berubah ya, sudah lama dak ketemu. Mari masuk!”
Aku masuk ke rumah Tulun, duduk di kursi rotan yang sudah berbunyi dan mau patah. Tulun pergi ke belakang, aku menatap rentetan foto hitam putih terpajang di dinding. Foto itu sebetulnya kenangan hubungan kami. Tulun memotongnya sehingga tidak ada lagi wajah aku di sana.
Tulun datang membawa satu gelas teh hangat, aku menatap keindahan wajah buruk rupanya. Aku melihat masa lampau, sejarah, kenangan, sekaligus masa depan di sana. Meskipun wajahnya sangat jelek, tapi itulah keindahan yang sebenarnya. Aku melihat senyuman manisnya, dulu pernah aku kecup bibir, hidung, pipi, dan keningnya. Baunya khas, Tulun jarang mandi.
Aku ingin memulainya dari awal, menata masa depan yang sudah lama tertunda. Aku ingin melamarnya, kami akan menikah. Aku akan punya anak dari Tulun, tidak peduli sejelek apa anak kami nanti. Aku mencintainya, dia harus tahu!
Belum sempat aku memulai pembicaraan, tiba-tiba dua laki-laki keluar dari dalam kamar. Aku mengenal mereka, Baleng dan Pak Martoyo.
“O iya, mereka suamiku!”
Dada aku sesak, napas enggan berhembus “Jadi, kau menikah dengan Baleng dan dosenku!”
“Iya, dan mereka anak-anakku!”
Aku melihat ke arah segerombolan anak-anak kurang ajar yang telah membuat aku kesal dari tadi. Anak-anak yang aku kejar dari tadi.
“Apa kau punya burung merpati?” Tanyaku hambar.
“Tidak, aku cuma punya dua burung perkutut besar.” Dia melihat ke arah Baleng dan Pak Martoyo.
Aku tidak bisa bicara, mulut terkunci, pandangan gelap. Aku terpaku di kursi, menikmati kenyataan yang tidak hanya pahit tapi kelat, hambar, dan pedih. Aku berkeringat dingin, hatiku meledak menjadi debu.
2019
           
      


No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *