Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, February 1, 2019

Si Putih Yang Pendiam


Si Putih Yang Pendiam

 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"



Dalam cerobong asap, tempat tinggalku. Si Putih sedang bersantai sambil minum susu. Dia menatap layar putih, matanya tajam menonton layar yang tidak menampilkan apa-apa. Dia tidak butuh apa-apa, tidak punya alasan apa-apa, tidak bermaksud apa-apa. Hanya sejenak merenggangkan otot, dan minum susu putih dengan nikmat.
Si Putih tidak terganggu dengan suara lalat mengepak sayap di sekitar. Begitu juga bau tahi tikus di sudut, berceceran ke lantai dan dinding. Lalat-lalat hinggap di sana, bermain dengan tahi tikus. Mereka menikmati hari-hari dalam kebusukan. Tapi, Si Putih tidak terganggu ketika lalat menggoda. Mereka menempel di sekujur tubuh, berharap Si Putih mau diajak ngobrol.
Tikus si tuan tahi tertawa sendiri. Di dekat perapian, menghangatkan diri sejenak. Menikmati cuti akhir pekan. Beralas kain putih, tikus berbaring layaknya di pantai. “Nikmaatttt....!” ujarnya tiap menikmati akhir pekan. Di sudut cerobong asap, menikmati api unggun yang menyala redup.
Tikus tidak sendiri, dia bersama tante tikus, paman tikus, istri tikus, selingkuhan tikus, anak tikus, adek tikus, dan janda tikus. Mereka saling bercengkrama, atau sekedar mempergunjingkan persoalan nyeleneh. Mereka membahas mengenai kenaikan harga keju di toko sebelah. Barangkali tidak itu saja, mereka juga membahas kemolekan tubuh tikus betina penjual keju. Bila mereka berbelanja, tikus-tikus tahan berjam-jam di sana.
Sesekali mereka berjalan ke tempat Si Putih, sekedar menyapa “Hai” tapi tidak digubris. Beberapa kali tikus menyapa, tetap saja hampa. Mereka berjalan, melompat, salto, dan menggigit badan Si Putih. Semua usaha berujung sia-sia,  Si Putih tetap diam. Dia memilih tidak peduli, seperti kebanyakan orang.
Si Putih gatal, dia menggaruk punggung. Matanya tetap tajam menatap layar putih polos. Seperti nonton TV, dia menikmati setiap sajian itu. Si Putih terus menikmati segelas susu yang diminumnya sedikit-sedikit. Dia merdeka, tanpa gangguan apapun. Menikmati akhir pekan sendiri, meski keramaian terus menggoda.
Si Putih mempersilahkan tikus-tikus bermain seperti anak kecil. Di tubuhnya, permainan anak-anak lengkap tersaji. Seperti di taman, tikus tak gentar. Si Putih menikmati, dia tetap fokus memandang kain, memerdekakan diri. Sembari bersyukur, ada pijatan gratis tanpa harus dibayar. Si Putih memang lagi pegal-pegal, anggap saja refleksi tikus. Si Putih tidak perlu bersusah payah menyewa pemijat dari luar.
Di selonjorkannya kaki, Si Putih bersantai layaknya di bioskop. Kakinya ditopang sebuah kaleng rongsokan, bekas biskuit qongguan. Alis matanya tebal, kelopak mata melar, ada noda hitam di sekitarnya. Sesekali Si Putih tertawa, ketika sinetron hayal mengeluarkan lawakan. Tawa itu hanya sepintas, kemudian hening menyerang.
Di engsel pintu cerobong asap, cicak hinggap merayap. Menjulurkan lidah panjang, berharap nyamuk dan lalat hinggap. Dia kelaparan, seekor cicak tua yang sudah lamban. Ekornya tinggal setengah, putus waktu kejepit pintu. Cicak tua tidak bergairah, dia menjalani hidup dengan seadanya.
Sesekali matanya melihat ke arah foto hitam putih yang tertempel di dinding. Anak cicak sudah besar, kemana dia sekarang? Terakhir tampak sedang bercumbu mesra dengan cicak betina di luar cerobong. Mereka mencari rumah, kediaman, dan kenyamanan baru. Berdua saja! Sepasang kekasih baru, bagai raja dan ratu. Bulan madu di tepi jalan raya, menikmati keramaian manusia. Bila ada manusia lewat, mereka sedikit awas, takut terpijak.
Tinggal seorang diri, seekor Cicak tua dengan lidah menjulur. Sekujur tubuh keriput, lidahnya mengkerut. Berharap ada nyamuk hinggap, diam-diam menyantap. Cicak tua dengan kesederhanaan, enggan keluar. Beberapa kali berjalan ke tingkat atas, tempat asap-asap mengepul. Menghirupnya sampai habis, kemudian jatuh ke atas Si Putih.
Si Putih tidak keberatan, dia membiarkan Cicak tua tidur sebentar. Menikmati usia senja, di atas Si Putih yang terus menonton layar putih. Cicak tua mengibaskan ekor, tidur telentang menghadap langit-langit. Membayangkan istri cantiknya yang sudah direbut Cicak lain. Sesekali Cicak tua masih merasakan istrinya hadir, membangunkannya dari tidur.
Cicak tua tidur dua jam, menggelepar menikmati api pembakaran. Cicak tua menggoyangkan kaki, sedikit tersenyum. Kemudian tersentak bangun, mimpi indah buyar seketika. Cicak tua kaget, dia merayap. Melihat sekitar, mengibaskan ekor ke rambut Si Putih.
Cicak tua sudah kenal lama dengannya, Si Putih. Dia sudah duduk di kain itu bertahun-tahun yang lalu. Menikmati susu putih yang tidak pernah habis diminum, hanya dipegang sambil menyelupkan bibirnya. Si Putih tidak pernah bosan menatap layar putih di depannya. Cicak tua merayap turun. Melewati tubuh Si Putih yang kekar, hinggap di hidungnya.
Tidak pernah berhasil, Cicak tua selalu gagal mengajak Si Putih bermain. Dia masuk ke dalam lobang hidung, keluar dari lobang sebelahnya. Cicak tua merayap ke mata, kemudian masuk ke mulut. Digoyangkan ekornya di lidah, menyentuh sela-sela gigi. Tapi nihil, Si Putih tidak tergoda. Dia terus menikmati hidupnya yang hambar.
Cicak tua keluar, merayap ke pinggir gelas. Dijulurkannya lidah yang sudah mengkerut, menikmati secangkir susu milik Si Putih. Hambar! Tidak seperti susu biasa, susu basi! Cicak tua tiba-tiba pusing, kepalanya berputar. Plung! Dia jatuh ke dalam susu, tidak sadarkan diri. Ketika bangun, Cicak tua secepat mungkin naik dan menghirup napas panjang. Si Putih tidak peduli.
Ular kejam mengintai bertahun-tahun, dia sembunyi di balik kayu bakar. Bertahun-tahun dia tidak makan. Menunggu di sana, sampai Si Putih beranjak pergi. Ular tidak bisa menghampiri, dia takut api. Ular kejam itu penakut, bertahun-tahun sudah dia menantikan saat yang tepat. Berharap bara api di cerobong asap mati, kemudian menyantap Si Putih bulat-bulat.
Bertahun-tahun pula dia tidak beranjak. Bara api tidak pernah padam, semakin lama semakin panas. Asap hitam mengepul keluar, ular takut, dia tidak bisa keluar dari sana. Dulu ular mengendap masuk dari pintu, api belum membara. Ular melihat Si Putih duduk tanpa berbuat apapun.
Makanan lezat! Kata ular sambil menjulur lidah dan menggoyang tubuhnya. Seperti mobil balap, dia merayap zigzag. Tapi saat jaraknya hanya tinggal dua puluh senti, api tiba-tiba menyala. Ular kejam ketakutan, langsung berlindung di balik kayu. Dia terjebak, tidak bisa keluar dari sana. Api menyala sampai ke pintu, bertahun-tahun itu ular kejam hanya menunggu. Mengintai Si Putih dengan tatapan ganas, perutnya keroncongan.
Ular sudah dikerubungi rayap, mereka keluar dari celah-celah kayu. Kulit mereka mutung, terbakar api. Tapi mereka masih hidup, keluar karena bosan. Di dalam kayu, tidak melakukan apapun. Cuma diam, menikmati panasnya api. Rayap sesekali ngobrol sama ular.
“lagi ngapain?” Kata rayap di depan wajah ular.
“dak lah!”
“Lapar? Aku punya kayu, mau?”
“Idak!”
Rayap membalik badan, melihat jauh ke arah Ular memandang. “Lagi mantau mangsa?”
“Sok tahu”
“Ngapa dak langsung kejar be?”
“Dak lah.”
“Takut?”
“Idak.”
Begitulah mereka saling berbincang, rayap terus mengulang pertanyaan. Meskipun berulang kali Ular hanya membalas singkat. Dia terganggu dengan kehadiran rayap, tapi dia tidak bisa menutup mulutnya. Rayap berada dekat api, Ular takut! Meski Ular itu kejam, tapi dia juga punya sisi lemah.
Ular terkadang kaget sejadi-jadi ketika Kelelawar datang dari atas cerobong asap. Mereka biasa bertengker di sana siang hari. Menghindari panas matahari, meski asap hitam mengepul sangat banyak. Kelelawar tetap bergantungan seperti patung, dia memejamkan mata, tidur sampai malam tiba.
Bila Kelelawar insomnia, dia pergi jalan-jalan ke bawah cerobong. Mencari udara segar, untuk hidup sehat. Dia sudah bosan menghisap asap-asap itu. Kelelawar mengitari seluruh cerobong tanpa bosan. Dia berkeliling di sana saja, melihat kehidupan makhluk-makhluk cerobong asap.
Kelelawar kadang iseng mengejutkan Ular. Dia sering mengagetkan Ular dari belakang. Ketika Ular melompat kaget, Kelelawar kegirangan dan tertawa lebar. Sempat dia numbur dinding, karena tertawa tanpa henti. Dia memejamkan mata, akhirnya jatuh ke lantai. Di sana Kelelawar bertemu Si Putih. Kelelawar memperhatikan tikus-tikus bermain di tubuh Si Putih. Mereka kegirangan, tentu Kelelawar mau bermain juga.
Dia mendekati Si Putih pelan-pelan, ketika sudah dekat Kelelawar mengepakkan sayap. Tikus terkejut! Tapi hanya dalam pemikirannya saja. Ternyata tikus-tikus malah tertawa melihat Kelelawar yang tampak seperti daun kering. Tubuhnya hitam, kurus, tinggal tulang. Apa yang Kelelawar pikir, ternyata tidak berjalan mulus.
Kelelawar terbang dan menumbur Tikus hingga jatuh. Dia balik tertawa, Kelelawar hinggap di rambut Si Putih. Bergantung sambil mengepakan sayap, dia menggoda Si Putih. Gagal total! Si Putih tidak menanggapi, Kelelawar bermain sendiri seperti tikus-tikus. Dia melompat-lompat, salto, baring-baring tapi tidak menyenangkan.
Gerombolan Tikus menatapnya aneh, mereka memasang wajah tidak bersahabat. Kelelawar tersipu malu, pipinya merah. Tingkahnya terlihat aneh, sementara Cicak tua teronggok tidak sadarkan diri di dalam gelas susu. Gerombolan tikus menyerang, mereka mengusir Kelelawar, merebut taman bermain mereka.
Saat itulah aku masuk, aku khawatir binatang itu akan melukai Si Putih. Mereka saling hajar di tubuh Si Putih. Meski begitu, Si Putih tetap diam. Aku membuka pintu cerobong asap, menyiram satu ember air ke dalam api hingga padam.
“Berhenti...!”
Aku berteriak keras, seperti pahlawan kesiangan. Aku tidak akan membiarkan mereka melukai Si Putih. Dia orang baik, binatang itu harus pergi dari tubuhnya. Si Putih tidak kotor, tubuhnya bersih. Bertahun-tahun duduk di sana, tubuhnya tetap wangi. Bahkan tubuh Si Putih bercahaya, badannya kekar dan keras.
Aku berhenti mendadak, binatang itu menatapku ganas. Wajah mereka beringas, Ular juga ikut nimbrung. Api sudah mati, Ular bebas berjalan kemanapun. Binatang itu ingin memangsaku dengan ganas. Gawat! Aku tidak mungkin mati hina di depan mereka. Aku berencana keluar dari cerobong asap. Sesuatu yang buruk terjadi, pintunya terkunci.
“Emaaakkkk!!!”
Aku teriak keras, sementara Emak sedang membereskan ruang keluarga sambil mendengar musik sangat keras. Emak mengunci aku di sana, di cerobong asap. Menghadapi gerombolan binatang ganas. Mereka mendekat, suara amarah itu terdengar jelas. Aku terjebak, tidak bisa lari. Aku mulai merengek ketakutan.
Tiba-tiba Si Putih mendengar, dia tidak lagi menonton kain putih. Si Putih berdiri, menatap ke arahku yang merengek. Matanya bercahaya, Si Putih sangat tinggi dan besar. Ketika dia berdiri, cerobong asap terasa pengap tidak mampu menampung tubuh Si Putih yang besar. Aneh, padahal ketika duduk dia biasa saja.
Bagaimana bisa? Aku merasa pengap. Tubuh Si Putih menghimpitku dan seluruh makhluk di dalam cerobong asap. Aku bertambah nangis, padahal tidak sakit sedikitpun. Hanya sedikit batuk, terlalu lama menghirup asap. Tubuh Si Putih terus membesar, cahaya di tubuhnya semakin terang. Aku memejamkan mata, menangis sejadi-jadi berharap Emak cepat membuka pintu. Lima menit berlalu, perlahan tubuh Si Putih mengempes. Dia tidak lagi memakan seluruh isi ruangan. Cahaya redup, aku membuka mata. Semua binatang kejam itu mati tergelepar. Si Putih menghilang, kain putihnya sobek. Arang kayu masih sedikit mengeluarkan asap. Segelas susu tergeletak di lantai, Cicak tua tiba-tiba bangun kemudian merayap pelan.
  2019

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *