Tentang
Seorang Wanita
Yang
tertawa Sebelum Ajal
“Bapak anggota dewan yang terhormat, izinkan saya ikut
rapat sejenak. Saya bosan! Saya tidak bisa menikmati hidup yang katanya, MERDEKA.
Saya tertekan, ada bisikan setan masuk ke telinga. Setiap saat saya dihantui
dengan PENINDASAN, itu tidak adil! Saya merasakan penjajahan itu, perampasan
hak yang menimpa saya. Entah disengaja atau tidak, tidak satupun yang peduli.
Satu-satunya yang bisa melihat penderitaan saya, hanya Tuhan. Saya mencoba
sabar, menikmati kehidupan kelam. Saya sudah pergi dari desa ke desa, kota ke
kota, tapi tidak juga bertemu keadilan. Saya sudah lama menutup mulut, hanya
menjadi bom waktu yang setiap waktu bisa meledak.
Bapak anggota dewan yang terhormat, saya bosan! Tubuh
saya kotor, saya memang tidak suci. Tapi, saya punya nurani, saya bisa
merasakan. Tolong dengarkan saya sejenak, wanita yang tidak punya harga diri.
Wanita yang butuh perhatian bapak. Saya orang miskin, tidak punya harta. Saya
ditertawakan, bau busuk. Saya tidak pernah mandi, tidak pernah pakai parfum.
Tapi, tolong dengarkan saya sejenak, ada suara rakyat yang harus bapak dengar.
Entah bapak peduli atau tidak, saya berusaha menyampaikan sesingkat-singkatnya.”
***
Lebih dari seminggu wanita itu, Yuyun! Dicari pihak
kepolisian. Pamflet mengenai hal-hal pencarian telah disebar dalam tempo
secepat-cepatnya. Foto hitam putih wajah perempuan penuh debu, tertempel erat
di tiang listrik, tembok rumah, pohon-pohon. Bahkan dicetak ukuran enam kali
enam meter terpasang di jalan raya.
Kepolisian membentuk tim khusus, guna mencari Yuyun.
Wanita itu harus mempertanggungjawabkan semua kasusnya di pengadilan. Lawak
negara hukum, yang melanggar harus dihukum. Tidak membedakan lelaki atau
wanita. Yuyun, secepatnya harus ditemukan. Dia tidak boleh pergi, tidak boleh
kabur ke luar negeri. Dia harus menyerahkan diri, menyelesaikan kasusnya.
***
Malam minggu, Pak Ujang datang ke rumah. Yuyun baru
selesai mandi, dia masuk ke kamar. Pintu terus digedor, Yuyun bergegas
mengenakan baju kemudian membuka pintu. Eh, Pak Ujang. Dia mempersilahkan Pak
Ujang masuk. Mereka ngobrol di ruang tamu. Tidak begitu besar, rumah itu jauh
dari kata sederhana. Kayu penopang sudah rapuh, mau roboh.
Ruang tamu kotor, lantainya masih tanah. Kursi terbuat
dari kayu yang sudah lapuk. Tidak ada meja, lampu juga tidak ada, Yuyun hanya
punya lilin. Itupun kalau lagi beruntung, bila uangnya tidak cukup membeli
lilin Yuyun dan keluarga rela gelap gulita.
Yuyun membawa lilin ke tengah mereka. Lilin bekas yang
sudah hampir habis. Wajah cantik Yuyun berbayang oleh cahaya api. Tetesan air
di rambutnya juga masih tampak, Yuyun belum selesai sisiran. Dia memang sering
menerima tamu, tapi tidak pernah di malam hari. Mereka tahu jadwal paling pas
ke rumah Yuyun. Pagi atau sore, ketika matahari masih tampak. Mereka tidak mau ngobrol
gelap-gelapan, mengerikan!
Tamu-tamu tidak pernah datang di siang terik. Rumah
itu panas, matahari sampai ke dalam rumah lewat celah-celah kecil. Bila hujan
mengguyur, rintiknya sampai ke dalam. Lantai di rumah menjadi becek, kadang
atapnya juga terbawa angin. Rumah Yuyun hanya beratap nipah.
Langka sekali ada orang yang mau berkunjung ke sana.
Memang beberapa kali Yuyun menerima tamu, tapi biasanya seorang Debt Collector
yang menagih utang, Pak Lurah yang selalu nagih iuran bulanan, atau tetangga
protes ketika anak Yuyun yang terkurung di dapur menangis tak henti. Yuyun menerka-nerka,
dia tidak pernah punya utang sama Pak Ujang, suara anaknya juga tidak sampai ke
rumah Pak Ujang.
“Mana suamimu?” Pak Ujang gelisah, jemari tangannya
terus bergoyang selama duduk.
“Kerja.”
“Sampai kapan?”
“Entahlah, kadang sampai malam, kadang sampai pagi.”
Pak Ujang tambah gelisah, matanya liar melihat setiap
sudut rumah. Sesekali mencuri pandang ke wajah Yuyun yang cantik jelita.
Matanya bulat, pipinya tembem, ada lesung di pipi ketika senyum. Rambut Yuyun
terurai sampai punggung, kaos putihnya tampak kebesaran. Ketika Yuyun menunduk,
Pak Ujang jadi salah tingkah, takut khilaf.
“Kau kesepian?”
“Maksud Bapak?”
Pak Ujang tidak menjawab, dia kembali melihat kondisi.
“Mana anakmu?”
“Di dapur!”
“Kenapa?”
“sakit.”
Pak Ujang bingung, rumah itu sunyi. Ketika mereka
diam, hanya terdengar suara jangkrik saling bersahutan. Bahkan suara lidah
cicak menangkap serangga juga terdengar lirih.
“Kata orang, kau bisa dibayar?”
“Maksud Bapak?”
“Kau bisa dibeli, berapa hargamu? Aku mau membayarmu,
satu jam saja” Pak Ujang menatap wajah cantik Yuyun penuh nafsu.
“Bapak jangan kurang ajar!” Nada bicara Yuyun
membesar, dia membentak “Saya ini masih punya harga diri.”
Sebenarnya Yuyun segan kepada Pak Ujang. Pria itu
anggota dewan di Negeri Lawak, Yuyun mengira kedatangannya untuk kampanye atau
mendengar keluhan rakyat. Tapi asumsi itu terpatahkan, Yuyun marah meskipun
masih menjaga sikap. Yuyun tidak berani!
“Memang suami saya sering pulang malam, bahkan tidak
pulang seharian. Kerjanya kuli, tapi aku sudah bahagia. Aku tidak pernah
kesepian, kalaupun iya, aku tidak akan menjual harga diriku.”
Pak Ujang menatap tajam ke arah Yuyun. Dia tidak
peduli dengan yang dikatakan wanita itu. Dari wajahnya, Pak Ujang tahu Yuyun
kesepian.
“Ayolah! Kau mau berapa? Satu juta, dua juta, atau
lima juta. Aku bayar! Kau jangan takut, aku bisa jaga rahasia.”
“Tidak!”
“Sepuluh juta!”
“Cukup!” Yuyun kesal, dia memukul kursi. Yuyun berdiri
di depan Pak Ujang. “Silahkan Bapak pergi dari rumah saya, sebelum saya
teriak.”
Pak Ujang mengambil koper di depan kursi, dia membuka
dan memperlihatkan tumpukan uang kepada Yuyun.
“Saya bilang keluar!”
Pak Ujang menutup kembali, perkataan itu ultimatum.
Pak Ujang harus segera keluar dari sana, sebelum warga mendengar suara Yuyun.
Dia berdiri, membetulkan dasi. Meniup debu di lengan kanan dan kiri. “Saya
pastikan kau akan menerima tawaranku!” Setelah itu Pak Ujang langsung keluar.
Dia memukul pintu, di depan sopir berotot, badannya besar, kepala plontos dan
wajah seram menunggu Pak Ujang. Sambil menggumel Pak Ujang berjalan ke mobil.
Sopir membuka pintu, dengan tingkah marah Pak Ujang naik. Alphard hitam melaju
kencang, Yuyun menutup pintu.
Di dapur Wati menangis sejadi-jadi, dia lapar. Yuyun
hapal betul, Wati selalu nangis kelaparan setiap jam delapan malam. Dielusnya
rambut panjang tak terurus Wati, Yuyun memeluknya dengan kasih sayang. Wati
sudah hampir sepuluh tahun di sana, terpasung seorang diri sejak kecil. Dia
sakit jiwa, Yuyun tidak ada pilihan, anak itu harus dipasung. Jika dibiarkan
bebas, Wati selalu mencoba bunuh diri.
“Sabar, Nak.
Bapak sebentar lagi pulang!”’
Untuk kesekian kalinya, Yuyun meneteskan air mata. Pelukan
itu semakin erat, Wati tetap teriak keras. Tubuhnya kurus, kumal, busuk, dia
berontak. Di luar tetangga teriak keras “Diam!” kata mereka sambil memukul
pintu. Yuyun tidak peduli, dia menangis sambil memeluk Wati kencang. Bila
beruntung, Wati bisa berhenti menangis setelah empat jam berlalu. Dia juga
sering menangis sepanjang malam, Yuyun selalu tidur di sana, di sebelahnya.
Besok, Pak RT kembali datang memperingatkan. Demi ketentraman bersama, katanya.
***
Yuyun menjual kue di pagi hari, berjalan dari rumah ke
rumah. Tempat paling diincarnya adalah kos-kosan. Mahasiswa yang malas membuat
sarapan, selalu membeli kue dengannya. Untung yang didapat tidak begitu besar,
tapi lumayan bisa menambah pemasukan. Sembari menunggu suami gajian.
Di gang monyet, seseorang turun dari mobil. Yuyun tahu
siapa yang turun, Pak Ujang. Dia membereskan kue-kue kemudian bergegas pergi.
Pak Ujang mengejar, kaca mata hitamnya membuat wajah Pak Ujang tambah aneh. Dia
tidak cocok pakai kaca mata. Wajahnya tambah jelek!
Dia sudah berada di belakang Yuyun. Terus menggoda
sambil menutup wajahnya dengan masker. Takut kelihatan orang, dan Pak Ujang
takut namanya tercemar. Pak Ujang menarik lengan Yuyun dengan kasar.
“Cukup! Saya tidak suka dengan cara Pak Ujang.”
“Hehh.. Jangan teriak-teriak, aduhhh... nanti
orang-orang dengar!”
“Saya perintahkan Pak Ujang pergi selamanya dari hidup
saya. Jangan pernah datang ke rumah atau memanggil saya. Nama Pak Ujang akan
saya jaga, nama Bapak tidak akan tercemar.”
“Saya paham, kau mencintai suamimu yang kerjanya
serabutan itu. Tapi kau harus kencan denganku. Satu jam saja!”
“Aku tidak mau!”
“Atau, kau akan melihat kepala suamimu terpenggal.”
Yuyun tidak menjawab, wajahnya merah menahan amarah.
Dia pergi meninggalkan Pak Ujang yang tidak lagi mengejar. Pak Ujang kesal,
raut wajahnya berbicara seperti itu. Berusaha menutupi identitas diri. Sebagai
seorang pejabat, dia enggan namanya tercemar.
***
Tukang pos
datang ke rumah Yuyun, mengantar surat. Surat cinta itu berlabuh ke tempat
Yuyun. Itu bukan surat cinta, tapi ancaman.
“Sebaiknya kau ikuti kemauanku, itu sudah tugasmu!
Sebagai rakyat jelata, kau tidak berdaya bila terus melawan. Aku perintahkan
kau menyerah! Hentikan perlawanan, kau pasti kalah. Wanita hina! Sebelum
terlambat, akhirnya kau menyesal.”
Yuyun tidak peduli, dia membuang sepucuk surat itu ke
dalam tong sampah. Lalu masuk ke rumah, menutup pintu rapat-rapat. Yuyun tidak
takut, rakyat jelata tidak pernah kalah. Dia wanita yang tegar, kuat. Ancaman
itu tidak akan berpengaruh padanya, dia kuat. Dasar laki-laki edan!
***
Pak Ujang datang membawa kardus besar. Dari wajahnya,
Pak Ujang ceria. Barangkali inilah waktu yang tepat, Yuyun akan melayaninya
selama satu jam. Dia datang ke sana berbaju kaos putih. Tidak mengenakan
pakaian resmi, senyumnya yang menggelikan terus menghias bibir. Sopir kekar
menunggu di depan pintu, sambil terus memantau kondisi.
Mereka berbincang di malam itu, sama seperti
sebelumnya Yuyun menyuruhnya pergi.
“Pergi! Saya tidak mau.”
Pak Ujang menggeser kardus besar ke arah Yuyun.
Suaranya tidak lagi marah, Pak Ujang sabar. Dia pasti dapat apa yang selama ini
dia cari, kepuasan. Yuyun enggan membuka, tapi Pak Ujang tetap memaksa. Wajah
Yuyun mengkerut, tapi masih cantik. Pelan-pelan dia membuka kardus itu. Pak
Ujang terus menggerakkan kaki.
Ya tuhan! Yuyun teriak, dia histeris. Air matanya
mengalir, seperti bendungan jebol dia menangis sejadi-jadi. Yuyun tidak berkata
apapun, dia marah besar. Pak Ujang merasa puas, Yuyun beranjak dan melempar
kursi ke arah Pak Ujang. Sambil merenggangkan otot, Pak Ujang tidak marah. Dia
tidak perlu marah, sebab dia berhasil membawa kepala suami Yuyun tepat ke
hadapannya. Suaminya tewas mengenaskan!
Yuyun berlari ke arah Pak Ujang, dia ingin membunuhnya.
Pak Ujang sigap, dia langsung memeluk Yuyun. Wanita itu tidak berdaya, Pak
Ujang menamparnya keras. Yuyun terhempas di antara kursi. Pipinya memar, isak
tangis terus menyertai. Yuyun bangkit melempar Pak Ujang dengan benda yang ada
di sekitar. Sekali tamparan, Yuyun kembali roboh. Dia berlari ke dapur, menutup
pintu. Pak Ujang berhasil menjebol pintu itu dengan sekali dobrak.
Yuyun enggan menatap wajah mesum Pak Ujang. Di
sebelahnya Wati menangis, Pak Ujang menendang anak itu. Bukannya diam, Wati
bertambah nangis. Sekali tendangan ke arah dada, Wati tersedak akhirnya tak
sadarkan diri. Pak Ujang memeluk Yuyun, wanita itu berhasil melepaskan diri.
Dia berteriak, Pak Ujang lekas menamparnya hingga jatuh. Yuyun terlempar ke
sudut meja. Dia merangkak menyelamatkan diri, ke arah etalase kayu.
Pak Ujang meraih kakinya, Yuyun terkapar di lantai.
Pak Ujang membuka baju dan celana Yuyun hingga telanjang. Yuyun terus menangis,
dia kesakitan. Pak Ujang puas, diciumnya aroma tubuh itu. Mulai dari pipi, bibir,
leher, hingga akhirnya Pak Ujang mendapatkan apa yang selama ini dia incar, kepuasan!
Lama Pak Ujang mengamati tubuh indah Yuyun. Di elusnya
pelan-pelan, Yuyun berontak tapi tidak berdaya. Yuyun lemas, seluruh tubuhnya
sakit dia tengkurap di lantai. Pak Ujang tidak memberi ampun, dia menikmati
tubuh Yuyun. Perlawaanan Yuyun belum berakhir, tiba-tiba Yuyun berbalik ke arah
Pak Ujang. Pak Ujang berteriak keras,
suaranya sampai ke telinga Sopir.
***
Sopir pergi ke dalam rumah, mendobrak pintu depan yang
sengaja dikunci Pak Ujang. Ruang tamu berantakan, barang-barang melayang entah
kemana. Sopir berjalan pelan, mengarah ke dapur. Dia mengetok pintu, tidak ada
yang membuka. Sopir memanggil Pak Ujang, tidak ada balasan. Dia merinding,
tiba-tiba perasaannya tidak enak.
Sopir mendobrak pintu hingga terbuka. Dia tidak
melihat wanita itu, hanya ada Pak Ujang yang terpasung. Sebuah pisau dapur
besar menembus dadanya. Sopir melihat jendela terbuka lebar. Ada jejak kaki
yang membekas di tanah. Dia tidak melihat Yuyun, wanita itu telah pergi jauh
membawa anak, dan kepala suaminya.
Sopir melaporkan kejadian itu kepada tetangga sebelah,
Pak Rt, kemudian ke kantor polisi. Pembunuhan keji, tidak bisa diampuni. Pihak
keluarga Pak Ujang menuntut wanita itu dihukum mati. Demi membalas kematian Pak
Ujang. Kabar duka menimpa seluruh warga Lawak, mereka mengibarkan bendera
setengah tiang.
Pak Ujang pemimpin sejati, kata mereka. Polisi
bergerak cepat memburu Yuyun. Mereka juga mengadakan sayembara besar-besaran. Yuyun
menjadi buronan Internasional, ada kabar Yuyun hendak pergi ke luar negeri.
Tidak masuk akal! Wanita miskin itu tidak mungkin punya uang banyak.
Beberapa saksi telah diperiksa. Tidak ada saksi yang
meringankan, bahkan tetangga juga mengatakan Yuyun sering menyiksa anaknya.
Wanita itu gila! Ada pula yang mengatakan Yuyun punya banyak utang, maka dia
menjebak Pak Ujang untuk mengambil uangnya. Pembunuhan Pak Ujang diduga sebagai
perampokan keji. Masyarakat percaya itu, bahkan banyak debt collector yang juga
menuntut wanita itu mati. Tentu itu semua atas perintah atasannya.
Seminggu sudah Yuyun menghilang, tidak ada jejak.
Banyak yang penasaran kemana dia pergi. Mitos liar berkembang di setiap tempat.
Ada yang bilang Yuyun punya kekuatan gaib, ada pula versi lain bahwa Yuyun
dibantu seorang bandar narkoba. Beberapa pendapat yang lebih realistis juga
dikemukakan para ahli. Mereka mengira Yuyun bersembunyi di dalam hutan,
berteman dengan monyet, harimau dan satwa liar. Dia enggan masuk kota, sehingga
polisi sulit mencari. Dugaan itu tidak pernah terbukti, tidak ada yang tahu
dimana keberadaannya. Besoknya anggota dewan yang berduka, mengadakan rapat
luar biasa guna menyelesaikan kasus biadab itu.
***
Anggota dewan yang sedang rapat dikejutkan dengan
kedatangan seorang wanita berpakaian serba hitam. Dia masuk diam-diam,
mengelabui penjagaan satpam. Mendobrak pintu ruang kerja anggota dewan yang
nyaman itu, berlari ke tengah mereka.
“......... Karena itulah saya menyesal telah hidup di
sini, di Negeri Lawak. Saya tidak membela diri, saya tidak menyalahkan Pak
Ujang. Saya menyalahkan diri saya sendiri yang hidup miskin. Orang miskin
seperti saya, tidak pernah bisa dipercaya. Tidak seorangpun yang peduli. Saya
menyesal telah berbuat salah, dengan menjadi miskin. Bila saya tidak miskin,
kejadian itu tidak akan menimpa saya. Semua salah saya! Silahkan Bapak anggota dewan
sekalian menghukum saya. Silahkan Bapak menjatuhkan hukuman mati! Saya tidak
akan lari lagi. Tidak ada tempat untuk orang miskin di negeri ini.”
Esoknya di bawah rintik hujan, Yuyun dan Wati diikat
pada sebuah balok kayu. Tangan mereka diikat ke paha. Regu tembak siap
mengeksekusi. Hukuman mati itu, dilihat oleh pejabat, serta masyarakat dengan
suka cita. Satu lagi parasit yang menyeramkan akan mati, kata mereka. Wati yang
gila tidak tahu apa-apa. Yuyun tidak sedih, dia tertawa menikmati proses
kematiannya. Sebentar lagi, dia akan hidup di sebuah negeri impian. Di sana
tidak ada penindasan, ketidakadilan, pemaksaan atau pemerasan. Satu hal lagi,
tidak ada kaya dan miskin. Semua sama, negeri yang selalu diimpikan kebanyakan
orang. Yuyun akan pergi ke sana bersama Wati, menyusul suaminya yang telah dulu
sampai. Dia pasti menunggu, mereka akan hidup bahagia selamanya.
Dooorrrr! Di bawah rintik hujan, darah mengalir deras
dari dada mereka. Yuyun tidak lagi tertawa, Wati tidak lagi menangis. Mereka
tersenyum menikmati ajal menjemput. Tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada
lagu gugur bunga, mereka mati sebagai parasit yang telah meresahkan warga.
2019
Diangkat dari puisi dengan judul yang sama


No comments:
Post a Comment