“JOKO & ROBY”
(Koran,
Karya dan Penghargaan)
Pemuda itu tidak pernah berkenalan
dengan konsep “globalisasi”. Sebagai penulis liar, Joko berkarya hanya dengan
mesin tik tua pemberian ayahnya. Tema-tema yang diangkat sangat jauh dari
masalah kekinian. “Pemuda jadul” begitu Roby memanggil Joko. Roby juga seorang
penulis, bertentangan dengan Joko. Roby sangat terbuka dengan globalisasi. Dia
lihai mengoperasikan laptop beserta
aplikasi di dalamnya. Tema yang diangkat Roby dalam setiap bahan tulisannya,
lebih keaspek kekinian.
Setelah lama termenung dan menganga, Joko akhirnya duduk pada sebuah
gubuk di pertengahan sawah. Melihat para petani sedang beraktivitas: menggarap
sawah, menabur benih, memberi pupuk bahkan ada pula yang sudah panen. Mesin tik
tua itu berbunyi tidak halus lagi. Keadaannya sudah sekarat (tidak layak pakai)
tapi Joko tetap memaksakannya.
Semua yang dia lihat menjadi bahan untuk tulisannya. Itulah yang
membuatnya tidak punya bahan tulisan yang fresh
(kebaharuan) sebab hanya berkeliling di desanya saja. Joko menjadikan
suasana di pertengahan sawah menjadi sebuah karya:
Sawah
Petani, padi dan tanah
Bercumbu dengan cangkul,
traktor dan kerbau
Menghasilkan benih-benih
hidup:
“beras dan uang”
---- Joko Susilo, di Tengah
Sawah.
Sebenarnya karya yang dihasilkan Joko bisa dibilang unik dan menarik.
Kata-kata yang dia pakai sederhana namun bermakna. Hanya saja itu adalah
karyanya yang ke-21 dengan tema yang sama “sawah”. Hanya ada beberapa tema yang
menjadi pilihan Joko: Sawah, Gunung, Sungai. Joko enggan membuka wawasannya
lebih jauh. Layaknya penulis-penulis terkenal yang bukunya laris terjual.
Saat bosan mengamati aktivitas di pertengahan sawah. Joko berjalan
menyusuri pinggiran sungai. Dikejauhan tampak seorang pemuda yang berjalan ke
arahnya. Awalnya samar-samar, namun setelah semakin dekat taulah dia bahwa
pemuda itu adalah Roby.
Joko dan Roby tidak pernah akur, mereka selalu beradu
argumen dengan ego tersendiri. Joko dengan pemikiran desa sedangkan Roby dengan
pemikiran kota. Sebenarnya Joko tidak mau bertemu Roby hari ini. Joko tidak
dalam pikiran jernih. Dia bahkan berhenti sejenak, kemudian menyiapkan argumen
yang pas untuk menjawab kritikan dari Roby. Joko menggaruk kepalanya “Ayo
berpikir” cetusnya geram. Perlahan Roby mendekati Joko.
“Pemuda Jaduull......” Sapa Roby dengan senyuman tipisnya
(seperti sindiran dan sinisan)
“Lelaki Alay” Balas Joko yang tak kalah sinis
“Pemuda jaduullll.”
“Lelakiii Alaayyyy....”
Selama tiga
menit pertama, mereka sibuk mempermasalahkan jadul dan alay.
Perbincangan yang sangat berfaedah untuk menutup senja yang kian menghitam.
“Makanya kalau mau jadi penulis harus bersahabat dengan
dunia kota. Jangan cuma mendap di desa. Menulis sajak tentang padi dan petani
setiap hari.”
Joko tampak tersinggung dengan perkataan Roby “Mending,
dari pada kau. Bersahabat dengan dunia kota tapi menjadi sampah yang terbuang.
Sia-sia saja tinggal di kota tapi pemikiran dan penampilan masih kampungan.”
Roby melirik sekujur tubuhnya. Kemudian membenarkan
resletingnya yang terbuka. “Jangan salah, karya-karyaku banyak terbit di
koran-koran.” Cetus Roby
“Tulisan dengan tema jiplakan aja bangga. Paling koran
yang kau maksud itu, koran yang kau bayar sendiri. Memaksa untuk diterbitkan.
Jangan bangga dengan tulisan hasil plagiarisme. Paling-paling karyamu selalu
berisi kritikan yang tak jelas.”
Saat ini Roby sudah tampak geram mendengar jawaban dari
Joko. Roby menggulung lengan bajunya seperti ingin berkelahi. “Dengar ya Joko
Susilo penulis liar di desa. Buka pikiranmu itu biar tidak jadul. Di kota ada
banyak tema yang menjadi pilihan. Orang-orang bosan membaca sajak yang hanya
bercerita tentang hal-hal yang sudah diulang sebanyak 21 kali. Jangan Cuma
ngomong doang.... karyamu sudah masuk koran belum?”
Joko terdiam,
berpikir sejenak dengan kalimat terakhir yang Roby untaikan. “karyamu sudah
masuk koran belum?” pertanyaan itu seperti api yang membakar sekujur tubuh.
Membuat saraf Joko kembali merangsang otak untuk mencari jawaban. “benar juga
ya.” Ujar Joko.
“Nah.... itu dia, jangan ngomong doang.” Tuntas Roby
Setelah perkataan itu tidak ada lagi perdebatan. Roby
semakin sombong karena Joko tidak bisa membalas kritikan pedasnya. Dengan
bangga Roby berjalan meninggalkan Joko yang terdiam. Senja hampir menghitam
secara keseluruhan.
---- Joko&Roby ----
Jumilah sedang merebus air. Tiba-tiba Joko melintas
di belakangnya sambil membanting gelas pelastik ke atas meja.
“Ya,
ampunn... bang, kenapa sih?” Jumilah bertanya kepada abangnya yang begitu
kesal. Tapi Joko tidak mendengar pertanyaan Jumilah. “Bang, kau dengar gak?”
tetap saja Joko membisu. “Aku doakan abang gak bisa mendengar beneran.” Joko
terkejut “Apaan sih dek, doamu selalu saja jelek, pantas saja abang sial
terus.”
“Kok
malah nyalahin aku sih, kalau abang selalu sial itu hal biasa.” Bukannya
menjadi dingin, Joko malah menjadi panas mendengar perkataan Jumilah.
“Kok adek ngomong gitu sih?” Joko menuang air ke dalam
gelas.
“Ya, kan memang abang udah biasa sial.”
Joko
menyembur air yang diminumnya. “Ya ampun bang.” Jumilah memarahi Joko.
“Panas
tau....”
“Air baru
direbus ya panaslah bang, baru aja dibilang. Eh, sudah sial.” Jumilah
menggelengkan kepala “sebenarnya ada apa lagi bang Joko?”
Joko
mengkerutkan wajahnya (sebenarnya sudah mengkerut) kemudian menatap serius ke
mata Jumilah. “Itu si Roby, sombong. Karyanya baru aja terbit sekali di koran.
Itupun pemaksaan, sombongnya tak tertahan. Ingat pe-mak-sa-an!”
“Lah, ya
biarin aja bang. Kan yang terbit karyanya Roby, kenapa abang yang marah?”
“Roby tu
nanya ke abang. Karyamu sudah masuk koran belum? Begitu katanya.”
“Ya bagus
dong bang.”
Wajah Joko
semakin mengkerut “Kok bagus dek?” kemudian Jumilah mematikan kompor “Artinya
abang harus bisa terbitkan karya di koran juga. Biar tak kalah hebat sama
Roby.”
Joko
bangkit dari kursi, seperti mendapat hidayah dari perkataan Jumilah. Membanting
gelas pelastik ke atas meja. Jumilah kaget “Ya ampunn.. bang.” Joko masuk ke
dalam kamar, memasukkan pakaian ke dalam ransel besar. Tak lupa pula mesin tik
tuanya diselempangkan di depan tubuhnya. Berlarian seperti dikejar hantu.
Jumilah syok melihat kelakuan abangnya.
“Abang mau
kemana?”
Joko sudah
siap dengan banyak barang bawaan “mau ke kota, ke gedung tempat penerbitan
koran.”
“Ya ampun
abang. Ngapain kesana?”
“Ya mau
nerbitin karya seperti yang Roby dan adek bilang.” Joko memegang pinggang
kemudian menepuk dada dengan sombongnya “Aku Joko Susilo tidak akan kalah dari
Roby.”
“Sudah
bang, jangan gila.”
“Nah, abang
ini serius.”
Jumilah
berdiri menghadap Joko “memangnya ada uang?”
Joko memeriksa
saku baju dan celana, tak lupa pula dompet kunonya. “Gak ada” Joko
Menggelengkan kepala.
“Ada
ongkos?”
“Gak ada”
“Ada
makanan?”
“Gak ada.”
Jumilah
melangkah maju mendekati Joko “Tu kan, mau ke kota cuma berbekal pakaian sama
aja bohong. Sekarang udah malam. Memangnya berani jalan malam-malam?”
Joko
semakin mundur dari pandangan Jumilah. Melihat ke luar jendela yang gulita.
Kemudian memandang Jumilah lagi, melepaskan ransel besar di punggungnya. “Gak
berani” Joko menggelengkan kepalanya.
Jumilah
menatap tajam ke pandangan Joko “Tak jauh dari kampung kita, ada pembunuhan
keji.” Joko jadi merinding mendengar parkataan Jumilah. “Pertama lehernya
dikesot pakai pisau tajam.” Joko duduk kembali di kursi. Begitu pula Jumilah
yang bercerita kepada Joko. “Kemudian badannya dibelah menjadi beberapa
bagian.” Joko semakin merinding bulu kuduknya mulai berdiri. “Terakhir kakinya
dipotong, isi perutnya dikeluarkan.” Jumilah mendekatkan wajahnya ke Joko.
“Kemudian seorang pemuda bertanya.” Joko merasa ketakutan juga penasaran dengan
perkataan Jumilah. “Apa yang dia katakan?” Tanya Joko. Kemudian Jumilah melihat
ke sekelilingnya. Matanya membulat, jari telunjuknya berada tepat dibibir Joko
(menyuruh diam). “Pemuda itu bertanya. Ayamnya mau berapa kilo?”
Joko menghela nafas panjang setelah nafasnya ingin
mendadak berhenti. Suasana yang semula mencekam berubah menjadi biasa.
“Sialan...” Caci Joko kepada Jumilah. “Makanya jangan sok mau ke kota. Abang
aja penakut, pake acara mau ngerantau. Kalau mau ke kota diskusikan dulu sama
ibu dan ayah. Besok baru pergi, tunggu pagi.”
---- Joko&Roby ----
Setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya. Joko
dengan tekatnya untuk menerbitkan karya ke koran kembali dengan rencananya.
Waluyo (ayah Joko) memberikan ongkos kepada Joko. Joko berpamitan kepada
keluarganya seakan mau pergi jauh. Padahal jarak desanya ke kota hanya 120 KM
dengan waktu tempuh dua jam.
Selama perjalanan sampai saat ini (tiba di kota) Joko
membayangkan bagaimana karyanya masuk koran. Kemudian dibaca oleh khalayak
ramai. Banyak yang menyukai lalu Joko punya penggemar. Dia membayangkan
bagaimana karyanya ini bisa merubah hidupnya menjadi kaya raya. Pemikirannya
sangat jauh berada di luar angkasa.
Joko terkagum-kagum melihat sebuah gedung kaca
bertingkat tujuh. Itu adalah kantor penerbitan koran terbesar di kota. Dengan
kaos oblong dan jeans yang sudah
sobek, tak lupa mesin tik tua yang diselempangkan di depan badannya. Joko masuk
ke dalam gedung. Awalnya dia di usir oleh satpam kantor itu. Setelah berdiskusi
santai, Joko akhirnya diizinkan masuk dengan berbagai persayaratan yang telah
dijelaskan oleh satpam.
Setelah bertanya dengan petugas kantor. Akhirnya
secarik kertas (karya Joko) diterima oleh pihak koran. Mereka sangat senang
dengan diksi dari puisi “sawah” yang ditulis oleh Joko. Pembawaannya santai,
maknanya mendalam dapat dimengerti oleh berbagai kalangan: rakyat jelata,
pengusaha, pejabat, sampai koruptor.
Seminggu setelah itu, terbitlah karya pertama dari
Joko di salah satu surat kabar ternama. Joko sangat bahagia, dia bahkan
langsung mengirimkan pesan singkat ke Roby “Kasihan,
kali ini aku yang sombong” sindiran itu membalas pertanyaan Roby waktu itu “karyamu sudah masuk koran belum?”. Sedari
tadi diperhatikannya tukang koran di lampu merah. Timbul pertanyaan dan ego
dalam diri Joko. “Kenapa tidak karyaku yang jadi cover”.
Joko mendekati tukang koran, mengambil seluruh koran
di tangannya.
“Kenapa
mas?” Tanya tukang koran itu kepada Joko. Joko sibuk membalikkan koran-koran
itu. Sehingga cover dari koran itu
adalah sebuah puisi karya Joko. Tukang koran itu melongo memandangi perbuatan
Joko. “Jangan Cuma ngeliat, buruan bantuin.” Joko memerintahkan tukang koran
itu. Akhirnya halaman pertama dari seluruh koran itu adalah puisinya Joko. Joko
merasa semakin puas, sehingga orang-orang bisa menikmati tulisannya.
Joko duduk di pinggir trotoar,
dekat lampu merah dan tukang koran yang hilir mudik menjajakan koran. Mengambil
mesin tiknya, kemudian dipangkunya. Joko ingin menulis, tapi kali ini dia
berada di sebuah kota yang terasa asing. Joko mulai kebingungan, sebab ada
banyak sekali permasalahan di kota ini: Perampokan, penculikan, begal,
pemerkosaan, maling, sampai korupsi. Kota ini begitu berantakan, serta kaya
dengan berbagai persoalan. Semua itu tidak lepas dari ego yang membara dalam
diri setiap orang.
Globalisasi
telah menjadikan orang bersikap individualisme. Ingin mementingkan dirinya
sendiri. Namun di era digital saat ini, harusnya mempermudah untuk
menyelesaikan persoalan. Joko berpikir: Jika banyak manusia yang ahli
memanfaatkan teknologi, tentunya akan menghasilkan uang dan ketenaran.
Orang-orang mesti berkarya dan mengalah dari egonya, sehingga perampokan,
kekerasan hingga korupsi tidak ada lagi. Joko bingung mau mulai menulis dari
mana. Dilihatnya tukang koran yang sibuk menjajakan koran dengan cover puisi “sawah” karya Joko. Sudah
lebih lima jam, tidak satupun orang ingin membeli koran itu.
“Ramuan
untuk setiap persoalan sebetulnya hanyalah kerendahan
hati.
Ego
harus ditekan, sehingga yang timbul
Adalah
sikap saling menghargai.”
---- Joko&Roby ----
![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |


No comments:
Post a Comment