Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Thursday, March 29, 2018

“JOKO & ROBY” (Koran, Karya dan Penghargaan)


“JOKO &  ROBY”
(Koran, Karya dan Penghargaan)








Pemuda itu tidak pernah berkenalan dengan konsep “globalisasi”. Sebagai penulis liar, Joko berkarya hanya dengan mesin tik tua pemberian ayahnya. Tema-tema yang diangkat sangat jauh dari masalah kekinian. “Pemuda jadul” begitu Roby memanggil Joko. Roby juga seorang penulis, bertentangan dengan Joko. Roby sangat terbuka dengan globalisasi. Dia lihai mengoperasikan laptop beserta aplikasi di dalamnya. Tema yang diangkat Roby dalam setiap bahan tulisannya, lebih keaspek kekinian.
Setelah lama termenung dan menganga, Joko akhirnya duduk pada sebuah gubuk di pertengahan sawah. Melihat para petani sedang beraktivitas: menggarap sawah, menabur benih, memberi pupuk bahkan ada pula yang sudah panen. Mesin tik tua itu berbunyi tidak halus lagi. Keadaannya sudah sekarat (tidak layak pakai) tapi Joko tetap memaksakannya.
Semua yang dia lihat menjadi bahan untuk tulisannya. Itulah yang membuatnya tidak punya bahan tulisan yang fresh (kebaharuan) sebab hanya berkeliling di desanya saja. Joko menjadikan suasana di pertengahan sawah menjadi sebuah karya:
Sawah
Petani, padi dan tanah
Bercumbu dengan cangkul, traktor dan kerbau
Menghasilkan benih-benih hidup:
“beras dan uang”
---- Joko Susilo, di Tengah Sawah.
Sebenarnya karya yang dihasilkan Joko bisa dibilang unik dan menarik. Kata-kata yang dia pakai sederhana namun bermakna. Hanya saja itu adalah karyanya yang ke-21 dengan tema yang sama “sawah”. Hanya ada beberapa tema yang menjadi pilihan Joko: Sawah, Gunung, Sungai. Joko enggan membuka wawasannya lebih jauh. Layaknya penulis-penulis terkenal yang bukunya laris terjual.
Saat bosan mengamati aktivitas di pertengahan sawah. Joko berjalan menyusuri pinggiran sungai. Dikejauhan tampak seorang pemuda yang berjalan ke arahnya. Awalnya samar-samar, namun setelah semakin dekat taulah dia bahwa pemuda itu adalah Roby.
Joko dan Roby tidak pernah akur, mereka selalu beradu argumen dengan ego tersendiri. Joko dengan pemikiran desa sedangkan Roby dengan pemikiran kota. Sebenarnya Joko tidak mau bertemu Roby hari ini. Joko tidak dalam pikiran jernih. Dia bahkan berhenti sejenak, kemudian menyiapkan argumen yang pas untuk menjawab kritikan dari Roby. Joko menggaruk kepalanya “Ayo berpikir” cetusnya geram. Perlahan Roby mendekati Joko.
“Pemuda Jaduull......” Sapa Roby dengan senyuman tipisnya (seperti sindiran dan sinisan)
“Lelaki Alay” Balas Joko yang tak kalah sinis
“Pemuda jaduullll.”
“Lelakiii Alaayyyy....”
       Selama tiga menit pertama, mereka sibuk mempermasalahkan jadul dan alay. Perbincangan yang sangat berfaedah untuk menutup senja yang kian menghitam.
“Makanya kalau mau jadi penulis harus bersahabat dengan dunia kota. Jangan cuma mendap di desa. Menulis sajak tentang padi dan petani setiap hari.”
Joko tampak tersinggung dengan perkataan Roby “Mending, dari pada kau. Bersahabat dengan dunia kota tapi menjadi sampah yang terbuang. Sia-sia saja tinggal di kota tapi pemikiran dan penampilan masih kampungan.”
Roby melirik sekujur tubuhnya. Kemudian membenarkan resletingnya yang terbuka. “Jangan salah, karya-karyaku banyak terbit di koran-koran.” Cetus Roby
“Tulisan dengan tema jiplakan aja bangga. Paling koran yang kau maksud itu, koran yang kau bayar sendiri. Memaksa untuk diterbitkan. Jangan bangga dengan tulisan hasil plagiarisme. Paling-paling karyamu selalu berisi kritikan yang tak jelas.”
Saat ini Roby sudah tampak geram mendengar jawaban dari Joko. Roby menggulung lengan bajunya seperti ingin berkelahi. “Dengar ya Joko Susilo penulis liar di desa. Buka pikiranmu itu biar tidak jadul. Di kota ada banyak tema yang menjadi pilihan. Orang-orang bosan membaca sajak yang hanya bercerita tentang hal-hal yang sudah diulang sebanyak 21 kali. Jangan Cuma ngomong doang.... karyamu sudah masuk koran belum?”
       Joko terdiam, berpikir sejenak dengan kalimat terakhir yang Roby untaikan. “karyamu sudah masuk koran belum?” pertanyaan itu seperti api yang membakar sekujur tubuh. Membuat saraf Joko kembali merangsang otak untuk mencari jawaban. “benar juga ya.” Ujar Joko.
“Nah.... itu dia, jangan ngomong doang.” Tuntas Roby
Setelah perkataan itu tidak ada lagi perdebatan. Roby semakin sombong karena Joko tidak bisa membalas kritikan pedasnya. Dengan bangga Roby berjalan meninggalkan Joko yang terdiam. Senja hampir menghitam secara keseluruhan.
---- Joko&Roby ----
Jumilah sedang merebus air. Tiba-tiba Joko melintas di belakangnya sambil membanting gelas pelastik ke atas meja.
     “Ya, ampunn... bang, kenapa sih?” Jumilah bertanya kepada abangnya yang begitu kesal. Tapi Joko tidak mendengar pertanyaan Jumilah. “Bang, kau dengar gak?” tetap saja Joko membisu. “Aku doakan abang gak bisa mendengar beneran.” Joko terkejut “Apaan sih dek, doamu selalu saja jelek, pantas saja abang sial terus.”
            “Kok malah nyalahin aku sih, kalau abang selalu sial itu hal biasa.” Bukannya menjadi dingin, Joko malah menjadi panas mendengar perkataan Jumilah.
“Kok adek ngomong gitu sih?” Joko menuang air ke dalam gelas.
“Ya, kan memang abang udah biasa sial.”
     Joko menyembur air yang diminumnya. “Ya ampun bang.” Jumilah memarahi Joko.
     “Panas tau....”
     “Air baru direbus ya panaslah bang, baru aja dibilang. Eh, sudah sial.” Jumilah menggelengkan kepala “sebenarnya ada apa lagi bang Joko?”
     Joko mengkerutkan wajahnya (sebenarnya sudah mengkerut) kemudian menatap serius ke mata Jumilah. “Itu si Roby, sombong. Karyanya baru aja terbit sekali di koran. Itupun pemaksaan, sombongnya tak tertahan. Ingat pe-mak-sa-an!”
     “Lah, ya biarin aja bang. Kan yang terbit karyanya Roby, kenapa abang yang marah?”
     “Roby tu nanya ke abang. Karyamu sudah masuk koran belum? Begitu katanya.”
     “Ya bagus dong bang.”
     Wajah Joko semakin mengkerut “Kok bagus dek?” kemudian Jumilah mematikan kompor “Artinya abang harus bisa terbitkan karya di koran juga. Biar tak kalah hebat sama Roby.”
       Joko bangkit dari kursi, seperti mendapat hidayah dari perkataan Jumilah. Membanting gelas pelastik ke atas meja. Jumilah kaget “Ya ampunn.. bang.” Joko masuk ke dalam kamar, memasukkan pakaian ke dalam ransel besar. Tak lupa pula mesin tik tuanya diselempangkan di depan tubuhnya. Berlarian seperti dikejar hantu. Jumilah syok melihat kelakuan abangnya.
     “Abang mau kemana?”
     Joko sudah siap dengan banyak barang bawaan “mau ke kota, ke gedung tempat penerbitan koran.”
     “Ya ampun abang. Ngapain kesana?”
     “Ya mau nerbitin karya seperti yang Roby dan adek bilang.” Joko memegang pinggang kemudian menepuk dada dengan sombongnya “Aku Joko Susilo tidak akan kalah dari Roby.”
     “Sudah bang, jangan gila.”
     “Nah, abang ini serius.”
     Jumilah berdiri menghadap Joko “memangnya ada uang?”
     Joko memeriksa saku baju dan celana, tak lupa pula dompet kunonya. “Gak ada” Joko Menggelengkan kepala.
     “Ada ongkos?”
     “Gak ada”
     “Ada makanan?”
     “Gak ada.”
     Jumilah melangkah maju mendekati Joko “Tu kan, mau ke kota cuma berbekal pakaian sama aja bohong. Sekarang udah malam. Memangnya berani jalan malam-malam?”
     Joko semakin mundur dari pandangan Jumilah. Melihat ke luar jendela yang gulita. Kemudian memandang Jumilah lagi, melepaskan ransel besar di punggungnya. “Gak berani” Joko menggelengkan kepalanya.
Jumilah menatap tajam ke pandangan Joko “Tak jauh dari kampung kita, ada pembunuhan keji.” Joko jadi merinding mendengar parkataan Jumilah. “Pertama lehernya dikesot pakai pisau tajam.” Joko duduk kembali di kursi. Begitu pula Jumilah yang bercerita kepada Joko. “Kemudian badannya dibelah menjadi beberapa bagian.” Joko semakin merinding bulu kuduknya mulai berdiri. “Terakhir kakinya dipotong, isi perutnya dikeluarkan.” Jumilah mendekatkan wajahnya ke Joko. “Kemudian seorang pemuda bertanya.” Joko merasa ketakutan juga penasaran dengan perkataan Jumilah. “Apa yang dia katakan?” Tanya Joko. Kemudian Jumilah melihat ke sekelilingnya. Matanya membulat, jari telunjuknya berada tepat dibibir Joko (menyuruh diam). “Pemuda itu bertanya. Ayamnya mau berapa kilo?”
Joko menghela nafas panjang setelah nafasnya ingin mendadak berhenti. Suasana yang semula mencekam berubah menjadi biasa. “Sialan...” Caci Joko kepada Jumilah. “Makanya jangan sok mau ke kota. Abang aja penakut, pake acara mau ngerantau. Kalau mau ke kota diskusikan dulu sama ibu dan ayah. Besok baru pergi, tunggu pagi.” 
---- Joko&Roby ----
Setelah mendapat izin dari kedua orang tuanya. Joko dengan tekatnya untuk menerbitkan karya ke koran kembali dengan rencananya. Waluyo (ayah Joko) memberikan ongkos kepada Joko. Joko berpamitan kepada keluarganya seakan mau pergi jauh. Padahal jarak desanya ke kota hanya 120 KM dengan waktu tempuh dua jam.
Selama perjalanan sampai saat ini (tiba di kota) Joko membayangkan bagaimana karyanya masuk koran. Kemudian dibaca oleh khalayak ramai. Banyak yang menyukai lalu Joko punya penggemar. Dia membayangkan bagaimana karyanya ini bisa merubah hidupnya menjadi kaya raya. Pemikirannya sangat jauh berada di luar angkasa.
Joko terkagum-kagum melihat sebuah gedung kaca bertingkat tujuh. Itu adalah kantor penerbitan koran terbesar di kota. Dengan kaos oblong dan jeans yang sudah sobek, tak lupa mesin tik tua yang diselempangkan di depan badannya. Joko masuk ke dalam gedung. Awalnya dia di usir oleh satpam kantor itu. Setelah berdiskusi santai, Joko akhirnya diizinkan masuk dengan berbagai persayaratan yang telah dijelaskan oleh satpam.
Setelah bertanya dengan petugas kantor. Akhirnya secarik kertas (karya Joko) diterima oleh pihak koran. Mereka sangat senang dengan diksi dari puisi “sawah” yang ditulis oleh Joko. Pembawaannya santai, maknanya mendalam dapat dimengerti oleh berbagai kalangan: rakyat jelata, pengusaha, pejabat, sampai koruptor.
Seminggu setelah itu, terbitlah karya pertama dari Joko di salah satu surat kabar ternama. Joko sangat bahagia, dia bahkan langsung mengirimkan pesan singkat ke Roby “Kasihan, kali ini aku yang sombong” sindiran itu membalas pertanyaan Roby waktu itu “karyamu sudah masuk koran belum?”. Sedari tadi diperhatikannya tukang koran di lampu merah. Timbul pertanyaan dan ego dalam diri Joko. “Kenapa tidak karyaku yang jadi cover”.
Joko mendekati tukang koran, mengambil seluruh koran di tangannya.
     “Kenapa mas?” Tanya tukang koran itu kepada Joko. Joko sibuk membalikkan koran-koran itu. Sehingga cover dari koran itu adalah sebuah puisi karya Joko. Tukang koran itu melongo memandangi perbuatan Joko. “Jangan Cuma ngeliat, buruan bantuin.” Joko memerintahkan tukang koran itu. Akhirnya halaman pertama dari seluruh koran itu adalah puisinya Joko. Joko merasa semakin puas, sehingga orang-orang bisa menikmati tulisannya.
        Joko duduk di pinggir trotoar, dekat lampu merah dan tukang koran yang hilir mudik menjajakan koran. Mengambil mesin tiknya, kemudian dipangkunya. Joko ingin menulis, tapi kali ini dia berada di sebuah kota yang terasa asing. Joko mulai kebingungan, sebab ada banyak sekali permasalahan di kota ini: Perampokan, penculikan, begal, pemerkosaan, maling, sampai korupsi. Kota ini begitu berantakan, serta kaya dengan berbagai persoalan. Semua itu tidak lepas dari ego yang membara dalam diri setiap orang.
            Globalisasi telah menjadikan orang bersikap individualisme. Ingin mementingkan dirinya sendiri. Namun di era digital saat ini, harusnya mempermudah untuk menyelesaikan persoalan. Joko berpikir: Jika banyak manusia yang ahli memanfaatkan teknologi, tentunya akan menghasilkan uang dan ketenaran. Orang-orang mesti berkarya dan mengalah dari egonya, sehingga perampokan, kekerasan hingga korupsi tidak ada lagi. Joko bingung mau mulai menulis dari mana. Dilihatnya tukang koran yang sibuk menjajakan koran dengan cover puisi “sawah” karya Joko. Sudah lebih lima jam, tidak satupun orang ingin membeli koran itu.  

“Ramuan untuk setiap persoalan sebetulnya hanyalah kerendahan hati.
Ego harus ditekan, sehingga yang timbul
Adalah sikap saling menghargai.”

---- Joko&Roby ----


"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *