Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Thursday, January 11, 2018

PUISI NAKAL 1

Bagian 1

Dalam Genggam Terakhirku Hari Ini

Nafri Dwi Boy

Dalam genggam terakhirku hari ini
Membebaskan angan untuk berjalan dari raga
Memutari setiap sudut ruang
Merekam dan tersimpan abadi pada memori hati.

Dalam genggam terakhirku hari ini
Mengikat jemari kita bersama seiring senja di luar jendela,
Dan temali air mata itu mulai basah
Memeluk seluruh sukma.

Dalam genggam terakhirku hari ini
Aku menyesal mengenalmu tanpa kedekatan
Sebatas pandang di pelupuk mata
Tanpa ada pelukan hangat di tiap harinya.

Dalam genggam terakhirku hari ini
Mentari itu mempercepat langkah, bersembunyi ke peraduan
Seolah enggan menatap senyum yang mulai memudar
Dari bibirku.

Dalam genggam terakhirku hari ini
Senja itu perlahan hitam, tak tampak olehku
Tubuh dan lambaian mereka. Tenggelam.
Akhirnya menyesalku tak mengenalmu terlalu dekat.



Titian Teras, 12 April 2017

"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"

Bagian 2

Sajak Burung Gereja

Nafri Dwi Boy

Dari atas mimbar sayup suara takbir
menggetarkan sangkar-sangkar burung gereja yang diimpor dari eropa
tetapi, beberapa saudaranya bersimbah darah
di lorong-lorong sempit bekas kandang-kandang kambing.

Burung gereja pribumi menuntut atas haknya mendapat pengakuan
serta beberapa biji bekas, pakan mereka untuk bertahan.
Mengapa harus menyalakan lampu disiang harimu?
sia-sia, sementara beberapa dari kita gulita ditiap harinya.

Burung gereja remaja, sigap berpindah dari dahan ke dahan
Melewati ranting-ranting pepohonan
Pada akhirnya sampai ke puncak dahan
Namun, di malam hari ajalnya terpaksa tiba.


Kamar Sastra Nakal, 08 Oktober 2017
  
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"

Bagian 3


Seruan Mahasiswa

Nafri Dwi Boy

Jika Indonesia kehilangan Bung Karno
Akan lahir kembali dari kalangan pemuda
Untuk memperjuangkan kebebasan
Yang lama memudar

Jika Indonesia kehilangan “Jati diri”
Kemana akan mencari ?
Hanya pemuda yang mampu
Memperbaiki!

Hamparan yang kita pijak di bumi Indonesia
Bukan sekedar gumpalan yang basah dan kotor
Jutaan mahasiswa berlarian saling bersahutan lewat aksi
Membela bangsa dari jeratan pemangsa

Jutaan mahasiswa dan pamflet-pamflet merah darah
Berseru di atas mobil berlapis baja :
“Saatnya kita bergerak, membangunkan garuda yang tertidur
Menjadikannya terbang membawa harapan dimasa depan”

Mahasiswa-mahasiswa dan pamflet merah darah
Berteriak saat dicabut haknya oleh pemangsa
Darah bersimbah, bukan lagi pembatas aspirasi yang lama terbenam
Sekalipun bibir dijahit, koyak-moyak tetap saja seruan itu terus berlanjut

Totalitas perjuangan bangsa, tidak menargetkan pada dunia luar
Internal negeri kita telah diborgol oleh kebohongan
Sandiwara menggerogoti badan-badan bangsa
Sehingga tubuh yang menua mulai merapuh

Sampai ujung pulau teriakku terdengar
Pemuda harus berbicara
Mencurahkan perih yang terbiasa tidur
Dalam diri.

Seruan ini ditujukan kepada seluruh mahasiswa
Sebelum garuda terlalu lama terlelap
Sehingga lupa
Dan tak dapat lagi melihat.

Universitas Jambi, 28 Oktober 2017


Bagian 4



Cerita Dari Laut


Nafri Dwi Boy

Nak, ini malam angin tak ikut bertiup
Layarku hilang kibarnya. Bahkan ombak
Terus berderu tanpa suara.

Ini malam, dekap selimutmu selalu.
Nuansa indah cahya langit memberi hangat
Air mata hanya akan membuatmu lemah, enyahkan.

Nak, Tuturkan doa dalam tiap sholatmu.
Itu adalah penawar rindu terdalam, pertengahan laut
Terasa begitu riuh dan gaduh. Namun kau tetap hangat dalam dekapan.

Kecupkan kening ibumu untukku. Gulita tak lama akan menerang,
Dan angin tak lagi malas untuk bertiup.
Hingga waktunya tiba, kau kudekap dalam pelukku.

“Meski kenyataan tak dapat merestui,
Jagalah selalu cinta dan kasih
Yang telah ditabur pada ladang hatimu.”



Titian Teras, 12 Februari 2017


Bagian 5

Orang-Orang Palsu


Nafri Dwi Boy

Coba kau tanya pada siang
Masihkah tampak orang-orangan itu
Bermain disisimu saat ini.

Orang-orang hanya berada
Disisi canda dan bahagia
Lalu pergi meninggalkan luka

Meninggalkan sebongkah batu
Dalam dada
Hingga koyakmu mengandung sesal.

Orang-orang hanya memeluk bintang
Dan tak inginnya memeluk mentari
Karena panasnya mengeroposi hati

Padahal, mentari adalah bintang
“Mengapa harus membedakan?”
Bila bisa memeluk keduanya.



Orang-orang lebih memilih senyuman
Dari padanya tangisan dibibir
Melupakan kebeningan hati dan kesuciannya.

Coba kau tanya pada malam
Adakah yang terbangun ketika bibirmu bergetar
Dan suaramu terbata mengucap “se-pi”

Orang-orang hanya lunglai menuju rumah
Sebotol vodka digenggam kanan menghiraukan
Jika engkau berada disampingnya.

Orang-orangan itu sebetulnya ilusi
Dan kau tak nyata adanya di bumi
Hidup adalah sepenggal kisah kesendirian.

Orang-orang hanya menyisir rambut pirangnya
Meluapkan kebutuhan diri sendiri
Dari pada tegur sapa sesama saudara

Orang-orang hanya memakai dasi
Seharga lamborghini
Padahal sesama keluarga kehilangan tegur sapa.

                                                                                                Titian Teras, 21 Maret 2017


1 comment:

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *