Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, January 4, 2019

Perkara


Perkara
 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"




Selepas semua perkara yang menimpa negeri lawak terselesaikan, tidak ada lagi kejadian aneh-aneh. Kehidupan menjadi rukun, tenang, adem, dingin, semua hidup nyaman. Terakhir persoalan tentang penistaan jabatan telah diputuskan hakim, pelaku dijerat kurungan penjara sedangkan penuntut berhasil memperoleh jabatan. Selepas itu tidak ada lagi lawak-lawak lainnya terjadi di negeri lawak.
Penjahat, calon penjahat, mantan penjahat, semua mengubah jalan hidup. Kata mereka, sudah mendapatkan hidayah menuju jalan lebih baik.
“Dak boleh membuat resah di tengah masyarakat”
“Iyo nianlah, apolagi maling. Hehh... Dak nianlah tu.”
“Aku iso urip tanpa nyolong”
“Setelah ketangkap, aku berubah jadi lebih baik. Aku udah sadar! Dak ada lagi niat mau korupsi. Sekarang fokus aku ya membangun negeri, tanpa korupsi!”
Begitulah kata mantan preman, mantan maling, dan mantan koruptor di depan wartawan. Mereka semua mengaku sudah tobat, kembali menuju jalan yang benar. Calon penjahat yang lain mungkin saja juga mengurung niat untuk berbuat jahat. Bisa jadi, mereka sudah kabur ke luar negeri padahal sebenarnya sudah terseret kasus. Atau, mereka sengaja bersembunyi dan membaur bersama warga. Jejak lawak-lawak tidak lagi terdengar.
Keadaan itu membuat pengadilan menjadi sepi, aparat di pengadilan juga merasa bosan menjalani kerjaannya. Pengadilan kosong, aparat sampai terkantuk seperti oknum pejabat yang sukanya tidur itu. Pastilah bosan, mereka tidak ada kerjaan. Kriminal tidak ada lagi, mereka membuat surat protes kepada bapak penguasa.
“Naikkan tingkat kriminalitas! Kami juga butuh kerja, kalau gini terus mau kerja apa kami?”
Begitulah aparat mengadakan protes di depan kantor penguasa. Melihat pengunjuk rasa semakin beringas, penguasa negeri lawak lantas menemui mereka.
“Ada apa ni? Kok pada ribut terus.” Tanya penguasa dari dalam pagar tinggi kantornya.
“Kami menuntut untuk menaikkan angka kriminalitas! Apa bapak tidak kasihan dengan kami? Kantor kami kosong, dak ado kerjaan! Tolonglah perhatikan perasaan kami. Kami ni jugo nak kerjo.”
“Sabarrr... Ini ujian, bukannya kemarin bapak-ibu teriak untuk menurunkan angka kriminalitas. Kok sekarang minta dinaikkan lagi?”
“Setelah kami kaji, ternyata itu merugikan bagi pekerjaan kami.” Anggota unjuk rasa semakin beringas.
“Heee.. dak jelas nian, serba salah aku ni. Gini be, mending kalian semua pulang ke kantor masing-masing. Buat perkara sendiri!”
“Maksud bapak?”
“Begini loh, bapak-ibu buat perkara sendiri, kasus sendiri, pelaku sendiri, terdakwa sendiri, terus hukuman sendiri. Hitung-hitung biar idak ngantuk lagi.”
Peserta unjuk rasa tercengang, mereka seperti mendapat solusi yang akurat. Setelah penguasa pergi, perlahan peserta unjuk rasa juga ikut pergi. Mereka kembali ke kantor masing-masing. Aksi itu membuat mereka puas, negeri lawak bisa melawak lagi.
Esoknya mereka berkumpul di pengadilan, sekian lama sepi akhirnya pengadilan ramai kembali.
“Jadi, persoalan apa yang mau kita bahas?” Tanya ketua sidang dengan penuh semangat.
“Hmmm...”
“Uhh...”
“Wikk....Wik....”
“Aarggghh”
Semua peserta sidang kebingungan, mereka tidak tahu mau membahas apa.
“Loh, kok pada diam?”
“Berikan kami waktu untuk berdiskusi dulu pak ketua!”
Ketua sidang melihat jam tangan “Baik waktu diskusi hanya lima menit.”
Peserta sidang berembuk secara alot, mereka sangat semangat. Terlalu semangat, sampai mengeluarkan semua persoalan untuk dibahas.
“Saya rasa, kasus maling bisa menjadi perkara yang menarik.” Usul seorang yang bertindak sebagai terdakwa.
“Woi!! Dak boleh, lah sering kasus tu, gantiii!” seorang pengacara membantah keras.
“Enak saja, saya kan terdakwa jadi saya berhak memutuskan kasus saya sendiri.”
“Aku korban, punya hak juga untuk nentuin kasus aku.” Bela seorang korban.
“Iyo.... Aku pengacara dio, pastinya belain dio.”
Ketua Sidang memukul palu Tok.. Tok.... “Kenapa jadi ribut?”
“Aku dak setuju dengan usul terdakwa, aku dak nak membahas masalah maling. Itu sudah terlalu umum, lah banyak dibahas. Kita harusnya membahas kasus yang jarang dilihat, yang berkelas.
Ketua sidang menjadi bingung “Saudara punya usul tidak?”
Pengacara gemetaran, dia kebingngan “Kayak mano kalau kita bahas masalah korupsi”
Tiba-tiba seorang hakim anggota memukul meja “Itu sama saja dengan maling, sudah banyak terjadi di negeri ini. Saya tidak setuju...” tolak dia.
“dak samo dak tu. Saudara panjaitan, kau tu asal ngomong be. Korupsi tu persoalan yang kompleks. Dak Cuma satu orang be yang keno, banyak oknum yang belum ketahuan be. Nah... Makonyo kita angkat itu, habis tu ini jugo kasus yang berkelas. Bayangkan be, berapo banyak uang yang habis, berapo banyak rakyat yang dirugikan.”
“Kau tadi menolak kasus maling, padahal korupsi itu juga persoalan maling. Perbedaannya cuma jumlah yang dipaling. Itu tidak masuk akal! Seharusnya kau memberi solusi yang berbeda jauh dari itu. Saya menolak!”
Melihat kondisi semakin memanas, ketua sidang kembali memukul palu tok... tok.... tok.....
“Tenang semua! Saudara panjaitan, apa kau punya usul lebih baik?”
“Saya punya, pak ketua.”
“Menurut saudara, persoalan apa yang layak kita bahas sekarang ini?”
Hakim anggota itu membuka buku tebal yang ada di atas mejanya. Di jilatnya jari telunjuk, kemudian membuka lembar demi lembar.
“Menurut hasil survey, hasil perhitungan, hasil penelitian, hasil kajian bahwa kasus yang belum pernah diangkat yaitu kasus HOAX.”
“Akoe Ndax setuju, heloo.... itu sudah banyax di negeri lawak ne. Sebel dech!”
Semua peserta sidang terdiam, mereka tampak tertegun melihat seorang banci yang rupanya hadir di tengah mereka.
“Eke jugah sering bingitz melakukan HOAX, termasuk style berpakaian eke... hehehe. Selain itu, eke juga cedih kalo HOAX dijadikan macalah. Ntar eke gax bica lagi jadi banci. Hehehhe”
“Pak polisi, tolong keluarkan makhluk ini dari ruang sidang!”
“Ihhh... Abang jahat bingitzz sama eke. Pak ketua, eke juga punya hak untuk ikut persidangan. Ewwhhh”
“Itu tidak boleh saudara ketua! Sidang ini cuma untuk orang normal saja.”
“Hello.... gini-gini eke masih normal ya.”
Ketua sidang tiba-tiba memukul palu lagi tok... tok... tok....
“Saudara panjaitan, sidang ini terbuka untuk umum. Jadi oom ini...”
“tante” bantah banci
“Ehh iya, tante ini boleh ikut. Apa tante punya solusi?”
Banci tertawa puas, tingkahnya genit.
“eke punya saran yang bagus bingitz, bagaimana kalo kita bahas macalah pemerasan hehehe. Soalnya eke dax mau diperas terus.”
Semua peserta sidang menjadi ribut, mereka tidak setuju dengan pendapat banci. Kata-kata kasar keluar dari mulut mereka.
“Woi, bajingan. Aku dak setuju!”
“Hee... Kampret kau ni.”
“Ngacau be lah. Ahhh”’
“Wik wik”
Ketua sidang kembali memukul palu dengan keras TOK... TOK...  TOK.... semua peserta sidang terdiam.
“Saudara sekalian harap tenang! Ini ruang sidang, bukan pasar malam. Saya butuh pendapat yang masuk akal.”
“Semua itu masuk akal saudara ketua” kata peserta sidang yang bersikap netral.
“Saya itu mau solusi yang bisa diterima oleh orang banyak, kalau ribut terus bagaimana sidang ini mau berlanjut?”
Seorang penjual gorengan maju ke tengah, dia membawa tumpukan buku tulis.
“Woi ketuo, aku ni nak ngomong. Kalo orang yang makan goreng limo cuma bayar duo biso dak dijadikan masalah.”
“Bisa”
“Nah, mending kito angkat itu be biar dak ado lagi orang yang semena-mena sama sayo. Mentang-mentang sayo dak tahu, dio nak bohongi aku. Mau jadi apo negeri ini kalo macak tu terus. Apolagi ado orang yang ngutang dak dibayar-bayar, ni aku bawak buku hutangnyo. Tolonglah ketuo, kasihani sayo ko. Udah lamo nian aku ni tesikso. Mano istri aku pegi dak ado balek-balek lagi. Aku dewekan na, makan dewekan, tiduk dewekan, mandi dewekan, semuanyo aku dewekan. Aku jadi ingat kenangan samo istri. Kami jalan-jalan di pinggir sungai Batanghari. Waktu masih pacaran dulu, aku kasih dio satu pot bunga. Wajahnyo kayak senja.  Hmmm... Indah nianlah, kalian pasti jugo rindu cinta pandangan pertama. Tapi, sekarang ko semuanyo udah berubah!”
Seluruh peserta sidang meneteskan air mata mendengar cerita sedih dari seorang penjual gorengan. Kegaduhan tidak lagi terdengar, mereka menjadi sendu. Mata berkaca-kaca, bahkan ada pula yang sampai menangis terisak.
“Saya sangat sedih mendengarnya, marilah kita bantu bapak ini!” Ucap pengacara di tengah suasana sendu.
“Iya, saya setuju!”
“Saya juga setuju.”
Sahut peserta sidang lain yang mendukung pernyataan itu, tapi ada pula yang menolak. Rombongan banci dan pihak-pihaknya menolak dengan keras. Maka adu argumen kembali terjadi. Semua kata-kata kasar dan nama binatang keluar di persidangan. Ketua sidang memukul palu sangat kencang TOOKKK.... TOOOKKK.....
“Diam! Karena tidak ditemukan titik terang, maka persidangan ini saya tunda sampai tahun depan!”
Tokk... Tokkk.... palu ketua sidang sudah dipukul, keputusan sudah mutlak.
“Woi... dak biso ni..”
“Aihh.... Kok ditunda, lamo nian pulak tu tahun depan”
“Jangan begitulah, Pak Ketua!”
Seluruh peserta sidang protes atas keputusan ketua menunda sidang sampai tahun depan. Waktu yang diberikan sangat lama, sehingga menimbulkan ketidaksetujuan oleh seluruh peserta sidang. Tapi, Ketua Sidang tetap tidak mengubah keputusannya.
Setelah pulang dari pengadilan, ketua sidang memanaskan mobil mewahnya. Menyiapkan koper, tas besar dan persiapan lain yang mau dia bawa untuk libur tahun baru besok malam. Ketua sidang bersama seluruh keluarga besar merayakan pergantian tahun di luar kota. Sedangkan semua peserta sidang lainnya sibuk demo di depan kantor pengadilan menuntut persidangan segera dilakukan, sebab rentang waktu penundaan sampai tahun depan dianggap terlalu lama bagi mereka.



  
   
  


No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *