Perkara
Selepas
semua perkara yang menimpa negeri lawak terselesaikan, tidak ada lagi kejadian
aneh-aneh. Kehidupan menjadi rukun, tenang, adem, dingin, semua hidup nyaman.
Terakhir persoalan tentang penistaan jabatan telah diputuskan hakim, pelaku
dijerat kurungan penjara sedangkan penuntut berhasil memperoleh jabatan.
Selepas itu tidak ada lagi lawak-lawak lainnya terjadi di negeri lawak.
Penjahat,
calon penjahat, mantan penjahat, semua mengubah jalan hidup. Kata mereka, sudah
mendapatkan hidayah menuju jalan lebih baik.
“Dak
boleh membuat resah di tengah masyarakat”
“Iyo
nianlah, apolagi maling. Hehh... Dak nianlah tu.”
“Aku
iso urip tanpa nyolong”
“Setelah
ketangkap, aku berubah jadi lebih baik. Aku udah sadar! Dak ada lagi niat mau
korupsi. Sekarang fokus aku ya membangun negeri, tanpa korupsi!”
Begitulah
kata mantan preman, mantan maling, dan mantan koruptor di depan wartawan.
Mereka semua mengaku sudah tobat, kembali menuju jalan yang benar. Calon
penjahat yang lain mungkin saja juga mengurung niat untuk berbuat jahat. Bisa
jadi, mereka sudah kabur ke luar negeri padahal sebenarnya sudah terseret
kasus. Atau, mereka sengaja bersembunyi dan membaur bersama warga. Jejak
lawak-lawak tidak lagi terdengar.
Keadaan
itu membuat pengadilan menjadi sepi, aparat di pengadilan juga merasa bosan
menjalani kerjaannya. Pengadilan kosong, aparat sampai terkantuk seperti oknum pejabat
yang sukanya tidur itu. Pastilah bosan, mereka tidak ada kerjaan. Kriminal
tidak ada lagi, mereka membuat surat protes kepada bapak penguasa.
“Naikkan
tingkat kriminalitas! Kami juga butuh kerja, kalau gini terus mau kerja apa
kami?”
Begitulah
aparat mengadakan protes di depan kantor penguasa. Melihat pengunjuk rasa
semakin beringas, penguasa negeri lawak lantas menemui mereka.
“Ada
apa ni? Kok pada ribut terus.” Tanya penguasa dari dalam pagar tinggi kantornya.
“Kami
menuntut untuk menaikkan angka kriminalitas! Apa bapak tidak kasihan dengan
kami? Kantor kami kosong, dak ado kerjaan! Tolonglah perhatikan perasaan kami.
Kami ni jugo nak kerjo.”
“Sabarrr...
Ini ujian, bukannya kemarin bapak-ibu teriak untuk menurunkan angka
kriminalitas. Kok sekarang minta dinaikkan lagi?”
“Setelah
kami kaji, ternyata itu merugikan bagi pekerjaan kami.” Anggota unjuk rasa semakin
beringas.
“Heee..
dak jelas nian, serba salah aku ni. Gini be, mending kalian semua pulang ke
kantor masing-masing. Buat perkara sendiri!”
“Maksud
bapak?”
“Begini
loh, bapak-ibu buat perkara sendiri, kasus sendiri, pelaku sendiri, terdakwa
sendiri, terus hukuman sendiri. Hitung-hitung biar idak ngantuk lagi.”
Peserta
unjuk rasa tercengang, mereka seperti mendapat solusi yang akurat. Setelah
penguasa pergi, perlahan peserta unjuk rasa juga ikut pergi. Mereka kembali ke
kantor masing-masing. Aksi itu membuat mereka puas, negeri lawak bisa melawak
lagi.
Esoknya
mereka berkumpul di pengadilan, sekian lama sepi akhirnya pengadilan ramai
kembali.
“Jadi,
persoalan apa yang mau kita bahas?” Tanya ketua sidang dengan penuh semangat.
“Hmmm...”
“Uhh...”
“Wikk....Wik....”
“Aarggghh”
Semua
peserta sidang kebingungan, mereka tidak tahu mau membahas apa.
“Loh,
kok pada diam?”
“Berikan
kami waktu untuk berdiskusi dulu pak ketua!”
Ketua
sidang melihat jam tangan “Baik waktu diskusi hanya lima menit.”
Peserta
sidang berembuk secara alot, mereka sangat semangat. Terlalu semangat, sampai
mengeluarkan semua persoalan untuk dibahas.
“Saya
rasa, kasus maling bisa menjadi perkara yang menarik.” Usul seorang yang
bertindak sebagai terdakwa.
“Woi!!
Dak boleh, lah sering kasus tu, gantiii!” seorang pengacara membantah keras.
“Enak
saja, saya kan terdakwa jadi saya berhak memutuskan kasus saya sendiri.”
“Aku
korban, punya hak juga untuk nentuin kasus aku.” Bela seorang korban.
“Iyo....
Aku pengacara dio, pastinya belain dio.”
Ketua
Sidang memukul palu Tok.. Tok.... “Kenapa jadi ribut?”
“Aku
dak setuju dengan usul terdakwa, aku dak nak membahas masalah maling. Itu sudah
terlalu umum, lah banyak dibahas. Kita harusnya membahas kasus yang jarang
dilihat, yang berkelas.
Ketua
sidang menjadi bingung “Saudara punya usul tidak?”
Pengacara
gemetaran, dia kebingngan “Kayak mano kalau kita bahas masalah korupsi”
Tiba-tiba
seorang hakim anggota memukul meja “Itu sama saja dengan maling, sudah banyak
terjadi di negeri ini. Saya tidak setuju...” tolak dia.
“dak
samo dak tu. Saudara panjaitan, kau tu asal ngomong be. Korupsi tu persoalan
yang kompleks. Dak Cuma satu orang be yang keno, banyak oknum yang belum
ketahuan be. Nah... Makonyo kita angkat itu, habis tu ini jugo kasus yang
berkelas. Bayangkan be, berapo banyak uang yang habis, berapo banyak rakyat
yang dirugikan.”
“Kau
tadi menolak kasus maling, padahal korupsi itu juga persoalan maling.
Perbedaannya cuma jumlah yang dipaling. Itu tidak masuk akal! Seharusnya kau
memberi solusi yang berbeda jauh dari itu. Saya menolak!”
Melihat
kondisi semakin memanas, ketua sidang kembali memukul palu tok... tok....
tok.....
“Tenang
semua! Saudara panjaitan, apa kau punya usul lebih baik?”
“Saya
punya, pak ketua.”
“Menurut
saudara, persoalan apa yang layak kita bahas sekarang ini?”
Hakim
anggota itu membuka buku tebal yang ada di atas mejanya. Di jilatnya jari
telunjuk, kemudian membuka lembar demi lembar.
“Menurut
hasil survey, hasil perhitungan, hasil penelitian, hasil kajian bahwa kasus
yang belum pernah diangkat yaitu kasus HOAX.”
“Akoe
Ndax setuju, heloo.... itu sudah banyax di negeri lawak ne. Sebel dech!”
Semua
peserta sidang terdiam, mereka tampak tertegun melihat seorang banci yang
rupanya hadir di tengah mereka.
“Eke
jugah sering bingitz melakukan HOAX, termasuk style berpakaian eke... hehehe.
Selain itu, eke juga cedih kalo HOAX dijadikan macalah. Ntar eke gax bica lagi
jadi banci. Hehehhe”
“Pak
polisi, tolong keluarkan makhluk ini dari ruang sidang!”
“Ihhh...
Abang jahat bingitzz sama eke. Pak ketua, eke juga punya hak untuk ikut
persidangan. Ewwhhh”
“Itu
tidak boleh saudara ketua! Sidang ini cuma untuk orang normal saja.”
“Hello....
gini-gini eke masih normal ya.”
Ketua
sidang tiba-tiba memukul palu lagi tok... tok... tok....
“Saudara
panjaitan, sidang ini terbuka untuk umum. Jadi oom ini...”
“tante”
bantah banci
“Ehh
iya, tante ini boleh ikut. Apa tante punya solusi?”
Banci
tertawa puas, tingkahnya genit.
“eke
punya saran yang bagus bingitz, bagaimana kalo kita bahas macalah pemerasan
hehehe. Soalnya eke dax mau diperas terus.”
Semua
peserta sidang menjadi ribut, mereka tidak setuju dengan pendapat banci.
Kata-kata kasar keluar dari mulut mereka.
“Woi,
bajingan. Aku dak setuju!”
“Hee...
Kampret kau ni.”
“Ngacau
be lah. Ahhh”’
“Wik
wik”
Ketua
sidang kembali memukul palu dengan keras TOK... TOK... TOK.... semua peserta sidang terdiam.
“Saudara
sekalian harap tenang! Ini ruang sidang, bukan pasar malam. Saya butuh pendapat
yang masuk akal.”
“Semua
itu masuk akal saudara ketua” kata peserta sidang yang bersikap netral.
“Saya
itu mau solusi yang bisa diterima oleh orang banyak, kalau ribut terus
bagaimana sidang ini mau berlanjut?”
Seorang
penjual gorengan maju ke tengah, dia membawa tumpukan buku tulis.
“Woi
ketuo, aku ni nak ngomong. Kalo orang yang makan goreng limo cuma bayar duo
biso dak dijadikan masalah.”
“Bisa”
“Nah,
mending kito angkat itu be biar dak ado lagi orang yang semena-mena sama sayo. Mentang-mentang
sayo dak tahu, dio nak bohongi aku. Mau jadi apo negeri ini kalo macak tu
terus. Apolagi ado orang yang ngutang dak dibayar-bayar, ni aku bawak buku
hutangnyo. Tolonglah ketuo, kasihani sayo ko. Udah lamo nian aku ni tesikso.
Mano istri aku pegi dak ado balek-balek lagi. Aku dewekan na, makan dewekan,
tiduk dewekan, mandi dewekan, semuanyo aku dewekan. Aku jadi ingat kenangan
samo istri. Kami jalan-jalan di pinggir sungai Batanghari. Waktu masih pacaran
dulu, aku kasih dio satu pot bunga. Wajahnyo kayak senja. Hmmm... Indah nianlah, kalian pasti jugo rindu
cinta pandangan pertama. Tapi, sekarang ko semuanyo udah berubah!”
Seluruh
peserta sidang meneteskan air mata mendengar cerita sedih dari seorang penjual
gorengan. Kegaduhan tidak lagi terdengar, mereka menjadi sendu. Mata berkaca-kaca,
bahkan ada pula yang sampai menangis terisak.
“Saya
sangat sedih mendengarnya, marilah kita bantu bapak ini!” Ucap pengacara di
tengah suasana sendu.
“Iya,
saya setuju!”
“Saya
juga setuju.”
Sahut
peserta sidang lain yang mendukung pernyataan itu, tapi ada pula yang menolak.
Rombongan banci dan pihak-pihaknya menolak dengan keras. Maka adu argumen
kembali terjadi. Semua kata-kata kasar dan nama binatang keluar di persidangan.
Ketua sidang memukul palu sangat kencang TOOKKK.... TOOOKKK.....
“Diam!
Karena tidak ditemukan titik terang, maka persidangan ini saya tunda sampai
tahun depan!”
Tokk...
Tokkk.... palu ketua sidang sudah dipukul, keputusan sudah mutlak.
“Woi...
dak biso ni..”
“Aihh....
Kok ditunda, lamo nian pulak tu tahun depan”
“Jangan
begitulah, Pak Ketua!”
Seluruh
peserta sidang protes atas keputusan ketua menunda sidang sampai tahun depan.
Waktu yang diberikan sangat lama, sehingga menimbulkan ketidaksetujuan oleh
seluruh peserta sidang. Tapi, Ketua Sidang tetap tidak mengubah keputusannya.
Setelah
pulang dari pengadilan, ketua sidang memanaskan mobil mewahnya. Menyiapkan
koper, tas besar dan persiapan lain yang mau dia bawa untuk libur tahun baru
besok malam. Ketua sidang bersama seluruh keluarga besar merayakan pergantian
tahun di luar kota. Sedangkan semua peserta sidang lainnya sibuk demo di depan
kantor pengadilan menuntut persidangan segera dilakukan, sebab rentang waktu
penundaan sampai tahun depan dianggap terlalu lama bagi mereka.


No comments:
Post a Comment