Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Tuesday, December 18, 2018

Hujan (Joko & Roby)


Hujan
(Joko & Roby)

 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"



Seorang wanita kecil yang ditaksir usianya tujuh tahun duduk memeluk kedua kaki di depan ruko tak berpenghuni. Sekarung botol plastik di sisi kiri, dia tampak menggigil, kedinginan, dan dari bola matanya sayu seperti menangis. Bibir kecil yang mulai pucat, sekujur tubuhnya basah.
“Kenapa masih di sini?”
Aku mendekat tanpa perlu berkasihan padanya. Lebih memendam kritikan pedas. Kenapa banyak orang tua yang tidak peduli? Anak se-usianya tidak boleh keluyuran sampai larut malam.
“Pulang!”
Dia tidak menyahut, ekspresi wajahnya hambar. Matanya tidak berkedip sedikitpun. Ada setetes darah di tangan kanan.
“Kau berdarah? jatuh? Dipukul? Atau apa.”
 Wanita kecil tidak menjawab. Dia lebih membiarkan kedinginan itu menusuk, akhirnya bertarung melawan gigilan. Daripada menjawab semua serangan pertanyaan yang aku berikan. Dia memeluk kedua kakinya lebih kuat, sangat erat sampai gigilan tubuhnya semakin kuat.
“Kok diam?”
Aku semakin mendekat dengan langkah ragu-ragu. Memberikan sebungkus coklat tapi dia membuangnya. Aku berikan padanya segelas kopi hangat yang baru saja aku beli di warung sebelah tapi dia menumpahkannya. Aku berikan padanya kain untuk menghangatkan diri, tapi dia menolak.
“Apa yang kau mau?”
“sendiri” ucapnya pelan dan samar, hampir tidak terdengar apa-apa.
Purnama semakin terang, pancarkan cahaya tepat ke arah aku dan wanita kecil. Aku kehabisan kata, kembali duduk di atas motor sambil menunggu hujan reda. Tidak peduli dengan anak itu, aku tidak kasihan sedikitpun. Dalam hati aku malah mencaci orang tuanya.
“Orang tua jahanam, dak becus ngurusi anak.”
“Kemana orang tuanya?”
“Pasti anak tu dibuang”
“Makanya jangan buat anak, kalau dak bisa ngurus anak.”
“Dunia kejam!”
Gumam itu sengaja aku pertanyakan dalam hati. Hari ini aku baru saja melalui hari-hari mengharukan di panti asuhan, ketika melihat anak-anak seusianya harus berjuang tanpa orang tua. Sebagai pengasuh di panti asuhan, aku menolak dengan tegas orang tua yang tidak becus mengurusi anak.
Susah buat anak, sekali dapat kok dibuang? Aku berusaha tenang, berusaha untuk berpikir positif jika anak yang berdua denganku sedang trauma. Barangkali dia merupakan korban kekerasan. Semua itu dilihat dari setetes darah di tangan kanannya.
“Jujur be! Ada apa denganmu, dek?”
Dia tetap diam, enggan sekedar memberi sedikit penjelasan.
“kemana orang tuamu?”
“Pergi!” dia menjawab dengan samar.
Aku terkejut mendengar suara itu sangat dekat. Wanita kecil sudah berada di sebelahku. Hampir saja aku jatuh dari atas motor. Petir menyambar keras, seperti dalam film horor. Aku sangat benci suasana itu.
“Pergi kemana?” pertanyaan itu aku lontarkan sambil menenangkan jantungku yang mulai copot.
“Dak tahu.”
Suara itu sangat samar, hambar, tidak ada sedikitpun nada ceria layaknya anak seusianya. Dia kembali ke posisi awal, duduk dan memeluk kedua kaki. Aneh, anak kecil itu sangat misterius. Sejak itu, aku jadi merinding.
“Kenapa dak kau tanyakan ke mereka. Kenapa mereka pergi?”
“Jadi anak dak perlu takut melawan kebenaran.”
“Anak se-usiamu harusnya pergi sekolah, malam gini harusnya sudah tidur nyenyak.”
“Bukan keliaran sambil nenteng karung.”
Nada bicaraku mulai keras dan kasar pada anak itu. Dia tidak mengerti apapun.
“Aku tahu, anak seusiamu dak ngerti apa yang baru be aku bilang.”
Lucunya aku terus menggumam padanya. Dia tidak risih sedikitpun, dia bahkan tidak peduli. Hujan semakin deras, beberapa rintiknya menyapu wanita kecil itu saat angin kencang tiba-tiba muncul. Aku menawarkan kain itu padanya lagi. Dia tidak menjawab, akhirnya aku yang memasangkan kain itu menutup tubuhnya.
Wanita kecil itu menerima saja. Meski tidak bisa membungkus luka lebih banyak, setidaknya bisa mengurangi meskipun sedikit. Wajah kusam, mata sayu, dan kulit yang terbakar matahari. Wanita kecil itu tampak tidak beruntung. Setetes darah di tangan kanan tetap aku pertanyakan.
“Kenapa berdarah?”
“Kok diam? Apa yang kau mau?”
“Sendiri!” Katanya hambar hampir tidak terdengar.
Aku tidak meninggalkannya, tetap berada di sisinya menikmati hujan yang mengguyur meski sudah pukul 23:00. Kami tidak berbicara, dia menggigil. Aku mau saja menerobos hujan dan tidur nyenyak di rumah. Tapi ada yang memaksaku untuk tetap di sana. Menunggu hujan reda, sambil berbincang dengan wanita kecil.
“Ucapkan sesuatu!”
“Meskipun luka, tapi anak seusiamu pasti jujur.”
“Ayo... Jelaskan padaku, kenapa kau di sini.”
“Apa maumu?”
“Sendiri!!” Jawabnya hambar.
“Mana orang tuamu?”
Dia tidak menjawab, petir menyambar-nyambar.
“Pasti ibumu meninggalkanmu sendiri. Aku tahu luka itu. Cerita saja.”
“Jahat sekali bila mereka benar meninggalkanmu.”
Seketika mataku dibuat tercengang saat karung yang berisi tumpukan botol plastik itu terjatuh. Bunyinya sangat keras, aku terkejut. Dari dalam karung, tampak ibunya yang sudah mengigil beku. Kedua matanya melotot, berdarah-darah ibunya tidak bergerak. Bahkan, tidak bernapas.
Petir menyambar keras. Aku menelan ludah, wanita kecil yang aku taksir usianya tujuh tahun, menatapku dengan tajam. Sebuah pisau dapur di tangan kanan. Aku terkejut, lekas menerobos hujan yang semakin lebat. Meninggalkannya sendiri.

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *