Hujan
(Joko & Roby)
Seorang
wanita kecil yang ditaksir usianya tujuh tahun duduk memeluk kedua kaki di
depan ruko tak berpenghuni. Sekarung botol plastik di sisi kiri, dia tampak
menggigil, kedinginan, dan dari bola matanya sayu seperti menangis. Bibir kecil
yang mulai pucat, sekujur tubuhnya basah.
“Kenapa
masih di sini?”
Aku
mendekat tanpa perlu berkasihan padanya. Lebih memendam kritikan pedas. Kenapa
banyak orang tua yang tidak peduli? Anak se-usianya tidak boleh keluyuran
sampai larut malam.
“Pulang!”
Dia
tidak menyahut, ekspresi wajahnya hambar. Matanya tidak berkedip sedikitpun. Ada
setetes darah di tangan kanan.
“Kau
berdarah? jatuh? Dipukul? Atau apa.”
Wanita kecil tidak menjawab. Dia lebih
membiarkan kedinginan itu menusuk, akhirnya bertarung melawan gigilan. Daripada
menjawab semua serangan pertanyaan yang aku berikan. Dia memeluk kedua kakinya
lebih kuat, sangat erat sampai gigilan tubuhnya semakin kuat.
“Kok
diam?”
Aku
semakin mendekat dengan langkah ragu-ragu. Memberikan sebungkus coklat tapi dia
membuangnya. Aku berikan padanya segelas kopi hangat yang baru saja aku beli di
warung sebelah tapi dia menumpahkannya. Aku berikan padanya kain untuk
menghangatkan diri, tapi dia menolak.
“Apa
yang kau mau?”
“sendiri”
ucapnya pelan dan samar, hampir tidak terdengar apa-apa.
Purnama
semakin terang, pancarkan cahaya tepat ke arah aku dan wanita kecil. Aku
kehabisan kata, kembali duduk di atas motor sambil menunggu hujan reda. Tidak
peduli dengan anak itu, aku tidak kasihan sedikitpun. Dalam hati aku malah
mencaci orang tuanya.
“Orang
tua jahanam, dak becus ngurusi anak.”
“Kemana
orang tuanya?”
“Pasti
anak tu dibuang”
“Makanya
jangan buat anak, kalau dak bisa ngurus anak.”
“Dunia
kejam!”
Gumam
itu sengaja aku pertanyakan dalam hati. Hari ini aku baru saja melalui
hari-hari mengharukan di panti asuhan, ketika melihat anak-anak seusianya harus
berjuang tanpa orang tua. Sebagai pengasuh di panti asuhan, aku menolak dengan
tegas orang tua yang tidak becus mengurusi anak.
Susah
buat anak, sekali dapat kok dibuang? Aku berusaha tenang, berusaha untuk
berpikir positif jika anak yang berdua denganku sedang trauma. Barangkali dia
merupakan korban kekerasan. Semua itu dilihat dari setetes darah di tangan
kanannya.
“Jujur
be! Ada apa denganmu, dek?”
Dia
tetap diam, enggan sekedar memberi sedikit penjelasan.
“kemana
orang tuamu?”
“Pergi!”
dia menjawab dengan samar.
Aku
terkejut mendengar suara itu sangat dekat. Wanita kecil sudah berada di
sebelahku. Hampir saja aku jatuh dari atas motor. Petir menyambar keras,
seperti dalam film horor. Aku sangat benci suasana itu.
“Pergi
kemana?” pertanyaan itu aku lontarkan sambil menenangkan jantungku yang mulai
copot.
“Dak
tahu.”
Suara
itu sangat samar, hambar, tidak ada sedikitpun nada ceria layaknya anak
seusianya. Dia kembali ke posisi awal, duduk dan memeluk kedua kaki. Aneh, anak
kecil itu sangat misterius. Sejak itu, aku jadi merinding.
“Kenapa
dak kau tanyakan ke mereka. Kenapa mereka pergi?”
“Jadi
anak dak perlu takut melawan kebenaran.”
“Anak
se-usiamu harusnya pergi sekolah, malam gini harusnya sudah tidur nyenyak.”
“Bukan
keliaran sambil nenteng karung.”
Nada
bicaraku mulai keras dan kasar pada anak itu. Dia tidak mengerti apapun.
“Aku
tahu, anak seusiamu dak ngerti apa yang baru be aku bilang.”
Lucunya
aku terus menggumam padanya. Dia tidak risih sedikitpun, dia bahkan tidak
peduli. Hujan semakin deras, beberapa rintiknya menyapu wanita kecil itu saat
angin kencang tiba-tiba muncul. Aku menawarkan kain itu padanya lagi. Dia tidak
menjawab, akhirnya aku yang memasangkan kain itu menutup tubuhnya.
Wanita
kecil itu menerima saja. Meski tidak bisa membungkus luka lebih banyak,
setidaknya bisa mengurangi meskipun sedikit. Wajah kusam, mata sayu, dan kulit
yang terbakar matahari. Wanita kecil itu tampak tidak beruntung. Setetes darah
di tangan kanan tetap aku pertanyakan.
“Kenapa
berdarah?”
“Kok
diam? Apa yang kau mau?”
“Sendiri!”
Katanya hambar hampir tidak terdengar.
Aku
tidak meninggalkannya, tetap berada di sisinya menikmati hujan yang mengguyur
meski sudah pukul 23:00. Kami tidak berbicara, dia menggigil. Aku mau saja
menerobos hujan dan tidur nyenyak di rumah. Tapi ada yang memaksaku untuk tetap
di sana. Menunggu hujan reda, sambil berbincang dengan wanita kecil.
“Ucapkan
sesuatu!”
“Meskipun
luka, tapi anak seusiamu pasti jujur.”
“Ayo...
Jelaskan padaku, kenapa kau di sini.”
“Apa
maumu?”
“Sendiri!!”
Jawabnya hambar.
“Mana
orang tuamu?”
Dia
tidak menjawab, petir menyambar-nyambar.
“Pasti
ibumu meninggalkanmu sendiri. Aku tahu luka itu. Cerita saja.”
“Jahat
sekali bila mereka benar meninggalkanmu.”
Seketika
mataku dibuat tercengang saat karung yang berisi tumpukan botol plastik itu
terjatuh. Bunyinya sangat keras, aku terkejut. Dari dalam karung, tampak ibunya
yang sudah mengigil beku. Kedua matanya melotot, berdarah-darah ibunya tidak
bergerak. Bahkan, tidak bernapas.
Petir
menyambar keras. Aku menelan ludah, wanita kecil yang aku taksir usianya tujuh
tahun, menatapku dengan tajam. Sebuah pisau dapur di tangan kanan. Aku
terkejut, lekas menerobos hujan yang semakin lebat. Meninggalkannya sendiri.


No comments:
Post a Comment