Penerbangan
Lintas Akal
Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa pesawat itu
mendarat di atas pohon. Mesinnya masih hidup, berjalan mengitari setiap sisi.
Masuk dan keluar dari lobang-lobang kecil. Menikmati penerbangan yang tak
seharusnya dia lewati. Terus menghidupkan mesin, tanpa henti mengelus badan
pohon. Ditabraknya beberapa daun hingga berguguran. Lepas dari tangkai, terjun
bebas ke dasar tanah. Menjadi kering kemudian hilang ditiup angin.
Dia tidak pernah peduli, terus memaksa untuk berjalan.
Perlahan, kulit-kulit pohon berhamburan. Badannya gemetaran, sakit itu
menjadi-jadi. Dia melintasi pedesaan, bertemu dengan banyak parasit.
“Kenapa kau di sini?”
“Ini tempat kami!”
“Anjing!”
Tanya parasit saling bersahutan, mereka tampak marah
dengan tamu baru itu. Berkumpul di luar rumah. Membuat pagar dan memblokir
jalan kecil. Pedesaan di badan pohon berubah mencekam.
“Aku, cuma mau menikmati hidup. Keluar dari zona akal
sehat. Mencari bandara baru untuk disinggah. Mencari kehidupan baru untuk mulai
menetap.” Dia tidak gentar lawan banyaknya seribu parasit. “Dimana kehidupan?”
“Pulanglah!” Salah satu parasit datang mendekat “tempatmu
bukan di sini, warga-warga desa merasa terganggu. Aku tidak tahu dimana
kehidupanmu”
“Tempat kepulanganku sudah dijajah oleh kemunafikan.
Dikuasai oleh antek-antek tak berwujud, sebab mereka sebenarnya maling tak
berbentuk. Mainnya bersih tanpa cacat. Perlahan hanya menanti ajal.”
Parasit tampak geram, tidak menerima alasannya. Mereka
bermaksud untuk mulai bermain kasar. Gerombolan parasit turun ke jalan raya,
dia tidak pernah takut dan terus melaju. Di tumburnya parasit-parasit sampai
mampus. Mereka berhamburan ke udara. Seperti percikan air yang tertebas tangan.
Tewas di tumbur, Parasit tidak tersisa, pedesaan menjadi hening.
Dia tidak merasa bersalah, meninggalkan pedesaan.
Menikmati penerbangan yang tidak seharusnya dilakukan. Roda-rodanya
meninggalkan jejak, membekas di setiap sudut. Dia tidak merasa jika ada yang
dirugikan. Tibalah di depan sarang semut merah. Semut sudah siap membuat
blokade, benteng pertahanan menghadapi. Tidak gentar lawannya seribu semut,
tapi dia lebih memilih mundur. Kabur dari serangan semut, kejar-kejaran
terjadi.
Dia melewati jalan setapak, cukup kecil dan pas-pasan.
Panik setengah mati. Mesinnya berdetak kencang, aliran bahan bakar dalam
dirinya turun naik. Semut-semut mengejar sampai dapat. Mereka tidak mau
menyerah, sebelum dia ditumbangkan. Dia sudah tersudutkan, di hadapannya tidak
ada jalan lagi kecuali jurang. Dia mencoba untuk terbang, tapi sayap-sayapnya
patah. Benar-benar terjebak dalam ketakutan.
Sebelum hidupnya benar-benar berakhir, tiba-tiba
gerombolan laba-laba datang. Mereka menghadang jalan semut-semut. Jaring-jaring
yang lengket betebaran dimana-mana. Laba-laba makan besar, dia berterimakasih
kepada pesawat malang itu. Laba-laba sangat doyan makan semut, dia melahap
menjadi-jadi. Tidak peduli enak atau tidak, racun atau tidak, haram atau tidak.
Semut-semut tewas di tangan laba-laba.
Pesawat bersyukur, berterimakasih kepada laba-laba
yang sudah menyelamatkan hidupnya. Setelah itu, dia pergi dengan kecepatan
tinggi menumbur gerombolan laba-laba yang sedang menyantap makanan. Mereka
berhamburan ke udara, sebelum akhirnya tewas seketika. Dia tidak merasa
bersalah, dengan gelora keegoisan dia terus berjalan. Sambil berteriak “Dimana
kehidupan?” berulang kali hingga napasnya sesak. Tiba-tiba langit menghitam,
suara gemuruh bermunculan, kilat di langit menyambar-nyambar. Dia tidak takut
dan terus melaju dengan gesit. Pohon-pohon bergoyang-goyang, tiba-tiba angin
berkekuatan besar menyambar dia sampai jatuh dari pohon. Seperti daun yang
lepas dari tangkai, dia terkulai lemas dan berguguran jatuh. Mesin-mesinnya
mati, bahan bakar habis.
“Inilah kehidupan” suara itu terdengar jelas terbawa
oleh angin yang menyerang. Terdengar ledakan hebat saat tubuhnya sampai di
tanah. Dia tewas dalam tragedi suatu hari. Tubuhnya membusuk, menjadi debu di tengah
daun-daun yang menumpuk. Tidak ada yang peduli!


No comments:
Post a Comment