Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Monday, December 10, 2018

Penerbangan Lintas Akal


Penerbangan Lintas Akal


 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"



Tidak ada yang bisa menjelaskan mengapa pesawat itu mendarat di atas pohon. Mesinnya masih hidup, berjalan mengitari setiap sisi. Masuk dan keluar dari lobang-lobang kecil. Menikmati penerbangan yang tak seharusnya dia lewati. Terus menghidupkan mesin, tanpa henti mengelus badan pohon. Ditabraknya beberapa daun hingga berguguran. Lepas dari tangkai, terjun bebas ke dasar tanah. Menjadi kering kemudian hilang ditiup angin.
Dia tidak pernah peduli, terus memaksa untuk berjalan. Perlahan, kulit-kulit pohon berhamburan. Badannya gemetaran, sakit itu menjadi-jadi. Dia melintasi pedesaan, bertemu dengan banyak parasit.
“Kenapa kau di sini?”
“Ini tempat kami!”
“Anjing!”
Tanya parasit saling bersahutan, mereka tampak marah dengan tamu baru itu. Berkumpul di luar rumah. Membuat pagar dan memblokir jalan kecil. Pedesaan di badan pohon berubah mencekam.
“Aku, cuma mau menikmati hidup. Keluar dari zona akal sehat. Mencari bandara baru untuk disinggah. Mencari kehidupan baru untuk mulai menetap.” Dia tidak gentar lawan banyaknya seribu parasit. “Dimana kehidupan?”
“Pulanglah!” Salah satu parasit datang mendekat “tempatmu bukan di sini, warga-warga desa merasa terganggu. Aku tidak tahu dimana kehidupanmu”
“Tempat kepulanganku sudah dijajah oleh kemunafikan. Dikuasai oleh antek-antek tak berwujud, sebab mereka sebenarnya maling tak berbentuk. Mainnya bersih tanpa cacat. Perlahan hanya menanti ajal.”
Parasit tampak geram, tidak menerima alasannya. Mereka bermaksud untuk mulai bermain kasar. Gerombolan parasit turun ke jalan raya, dia tidak pernah takut dan terus melaju. Di tumburnya parasit-parasit sampai mampus. Mereka berhamburan ke udara. Seperti percikan air yang tertebas tangan. Tewas di tumbur, Parasit tidak tersisa, pedesaan menjadi hening.
Dia tidak merasa bersalah, meninggalkan pedesaan. Menikmati penerbangan yang tidak seharusnya dilakukan. Roda-rodanya meninggalkan jejak, membekas di setiap sudut. Dia tidak merasa jika ada yang dirugikan. Tibalah di depan sarang semut merah. Semut sudah siap membuat blokade, benteng pertahanan menghadapi. Tidak gentar lawannya seribu semut, tapi dia lebih memilih mundur. Kabur dari serangan semut, kejar-kejaran terjadi.
Dia melewati jalan setapak, cukup kecil dan pas-pasan. Panik setengah mati. Mesinnya berdetak kencang, aliran bahan bakar dalam dirinya turun naik. Semut-semut mengejar sampai dapat. Mereka tidak mau menyerah, sebelum dia ditumbangkan. Dia sudah tersudutkan, di hadapannya tidak ada jalan lagi kecuali jurang. Dia mencoba untuk terbang, tapi sayap-sayapnya patah. Benar-benar terjebak dalam ketakutan.
Sebelum hidupnya benar-benar berakhir, tiba-tiba gerombolan laba-laba datang. Mereka menghadang jalan semut-semut. Jaring-jaring yang lengket betebaran dimana-mana. Laba-laba makan besar, dia berterimakasih kepada pesawat malang itu. Laba-laba sangat doyan makan semut, dia melahap menjadi-jadi. Tidak peduli enak atau tidak, racun atau tidak, haram atau tidak. Semut-semut tewas di tangan laba-laba.
Pesawat bersyukur, berterimakasih kepada laba-laba yang sudah menyelamatkan hidupnya. Setelah itu, dia pergi dengan kecepatan tinggi menumbur gerombolan laba-laba yang sedang menyantap makanan. Mereka berhamburan ke udara, sebelum akhirnya tewas seketika. Dia tidak merasa bersalah, dengan gelora keegoisan dia terus berjalan. Sambil berteriak “Dimana kehidupan?” berulang kali hingga napasnya sesak. Tiba-tiba langit menghitam, suara gemuruh bermunculan, kilat di langit menyambar-nyambar. Dia tidak takut dan terus melaju dengan gesit. Pohon-pohon bergoyang-goyang, tiba-tiba angin berkekuatan besar menyambar dia sampai jatuh dari pohon. Seperti daun yang lepas dari tangkai, dia terkulai lemas dan berguguran jatuh. Mesin-mesinnya mati, bahan bakar habis.
“Inilah kehidupan” suara itu terdengar jelas terbawa oleh angin yang menyerang. Terdengar ledakan hebat saat tubuhnya sampai di tanah. Dia tewas dalam tragedi suatu hari. Tubuhnya membusuk, menjadi debu di tengah daun-daun yang menumpuk. Tidak ada yang peduli!

   

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *