Profesor
Joko
(Joko & Roby)
“Rumah ini kemalingan? Kamu yang benar saja Sugiyarti!”
“Nian Nyonya, Profesor kehilangan buku-bukunya.”
“Loh.... benda-benda lain bagaimana? TV, Laptop, HP,
CD, Emas, Berlian?”
“Semua aman, Nyonya.”
“Itu maling pintar ya? Kok yang diambil cuma buku?”
“Bukan Nyonya, kayaknya itu maling sontoloyo.”
“Kok gitu?”
“Soalnya dak tahu harta mewah, yang diambil cuma
buku.”
“Barangkali ada juga harta rumah ini yang diambil.”
“Ndak ada Nyonya.”
“Yang di dapur?”
“Aman Nyonya, semua sudah saya periksa.”
“Kamu benar Sugiyarti, itu maling sontoloyo. Dak
berbakat jadi maling.”
***
Suasana rumah berwarna hijau telur asin itu sunyi
tanpa suara. Pemiliknya, Profesor Joko sudah dua hari berdiam diri menatap foto
monokrom masa muda. Sugiyarti susah payah membujuk Profesor untuk makan, sering
dia merayu tapi tak kunjung berhasil. Sugiyarti sudah dua puluh tahun bekerja
di sana sebagai assisten rumah
tangga. Dia sudah tahu seluk beluk, perjalanan, hingga kehidupan Profesor Joko.
Sebagai pembantu yang setia, tidak pernah Sugiyarti melihat Profesor se-sedih
ini. Kesedihan yang dialami Profesor paling-paling ketika bertengkar dengan
istrinya. Sugiyarti bisa menenangkan Profesor dan merujuk keduanya untuk saling
menjaga ego, bahkan tidak sampai sehari.
Nyonya Laddy, istri Profesor Joko yang paling setia.
Wanita itu menemani Profesor sejak menjadi mahasiswa baru. Waktu itu, mereka
masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Nyonya merasa sedih melihat
Profesor selalu murung selama dua hari ini.
“Ada apa sayang? Sudah tua dak usah sedih terus, nanti
tambah tua.” Tidak ada jawaban dari Profesor.
“Rindu masa muda? Kok megang foto itu terus.” Nyonya
mengelus rambut putih Profesor yang mulai rontok.
“Aku tahu, masa-masa muda idak bisa pulang ke kita.
Setidaknya cerita padaku, jangan cuma diam.”
Tiba-tiba Profesor meletakkan foto monokrom di atas
meja. Dengan suara terbata-bata dia berucap “Aku tidak menginginkan masa muda
itu hadir lagi, sayang. Tapi ada yang hilang dari sebagian hidupku.”
“Apa yang hilang? Aku masih ada di sampingmu, persis
seperti dulu.” Nyonya Laddy seketika berubah menjadi genit. “Hidupmu sudah
lengkap, tidak ada yang kurang. Profesor Joko, pemilik ratusan hak paten
sekaligus pemilik istri yang paling cantik sepanjang sejarah.”
“Ahh... Kalau istri paling cantik memang iya, tapi hak
paten itu keliru.”
Nyonya Laddy bertambah bingung, wajahnya yang kerut
bertambah kerut. “Keliru bagaimana? Coba kau lihat, sayangku!” Nyonya
mengarahkan pandangan Profesor ke setiap sudut rumah “Banyak mesin-mesin
canggih yang sudah kau ciptakan. Robot guru super pintar, mesin pembuat PR untuk
pelajar, aplikasi canggih untuk Ujian Nasional, Buku tanpa dibaca, Tempat tidur
pintar, sampai pacar virtual sudah kau ciptakan. Apa lagi yang kurang? Apa kau
masih ingat dengan Hana?”
“Hana?”
“Iya, tetangga kita dulu.”
“Kenapa dia?”
“Karena temuan pacar virtualmu, kini hidupnya lebih
berwarna sudah bahagia. Tidak pernah disakiti lagi, itu karenamu.”
“Kau berlebihan!”
“Itu sungguhan.” Nyonya Laddy duduk di sebelah
profesor dan memegang jemarinya yang keriput. “Kepintaranmu sudah menolong
banyak orang. Masihkah ada yang kurang?”
Profesor tampak kurang setuju, wajahnya cemberut. Setengah
mati dia berusaha mengeluarkan keluh yang sudah dua hari ini dipendam. “Lihat
itu!” Mereka menatap rak buku yang kosong. “Sudah dua hari ini, buku simpananku
sejak masih kuliah hilang tiba-tiba.”
Nyonya Laddy sedikit memasang senyum di bibir. “Jadi
itu alasanmu dua hari ini murung, tidak mau makan, dan selalu gelisah.”
Genggaman tangan mereka semakin erat “Sudahlah, kau tidak membutuhkan buku-buku
itu lagi. Kau sudah khatam semuanya. Bahkan ketika aku tanya persoalan rumus
fisika dan matematika kau dapat menjabarkannya dengan lancar.”
“Buku itu separuh hidupku.”
“Akulah separuh hidupmu!” Nyonya mulai larut dalam
emosi.
“Kau tidak mengerti, sayang!”
“Kau yang tidak mengerti.”
“Kenapa marah?” Profesor mengarahkan tatapnya ke
pandangan Nyonya yang mulai naik dalam emosi.
“Maaf, aku hanya tidak ingin melihat kau bersedih
terus”
Profesor balik mengelus rambut putih Nyonya. Sepintas
suasana ini sama seperti puluhan tahun yang lalu, ketika mereka masih muda.
Satu hal yang paling ditakuti Profesor hanyalah istrinya sendiri. Dia orang
yang keras, tapi bila Nyonya sudah marah, tidak ada yang bisa dilakukannya
kecuali mengalah. Bagi mereka, persoalan merupakan bumbu yang meracik kesetiaan.
Profesor sering memendam permasalahan sendiri, tetapi Nyonya bisa membaca
pikiran hanya lewat pandangan.
Mereka larut dalam pelukan hangat. Sore itu mereka
memposisikan diri sebagai pengantin muda. Usia hanya angka, cinta adalah makna.
Profesor memeluk Nyonya Laddy dengan tulus, mencium keningnya yang sudah
mengkerut.
“Sebaiknya kita laporkan polisi terkait buku-bukuku
yang hilang.”
“Mulai lagi!!” Nyonya melepaskan diri dari pelukan
Profesor kemudian sedikit menjauh darinya. “Aku tidak mau mendengar kau eluhkan
buku-buku yang hilang itu lagi. Itu buku kuno, sudah layak hilang.”
“Tapi... Tapi....”
“Tidak ada tapi-tapian, bahkan sampai waktu
keromantisan kita berdua kau masih juga membicarakan buku itu.”
Sugiyarti muncul dari sisi dapur, membawa semangkuk
soto ayam nikmat. Mereka seketika diam, Profesor tersenyum ke arah Sugiyarti.
Nyonya masih larut dalam amarah.
“Maaf Nyonya, maaf Profesor. Ini saya bawakan soto
ayam.” Sugiyarti bingung melihat pasangan tua itu saling diam-diaman, seperti
remaja labil. “Kok pada diam-diaman, marahan lagi?”
“Itu... Tuanmu, bikin ribut terus”
“Bukan saya, Nyonyamu saja yang bawa perasaan.”
“Kalau bukan karena bukumu itu, mana mungkin aku
sampai semarah ini.”
“Itu alasan yang keliru.”
“Kalo gitu, Sugi ndak mau ikut-ikutanlah, Sugi ke
belakang be lah.”
Langkah Sugiyarti dicegat oleh Profesor “Apa kau lihat
buku-buku saya yang di lemari itu?”
Sugiyarti mengarahkan pandangannya ke rak buku yang
kosong. Kemudian menatap ke arah Profesor “Ndak tahu”.
“Coba cari tahu!”
Sugiyarti kebingungan “Baik Profesor, tapi..... Kenapa
Profesor sibuk nyari buku tu?”
“Itulah, padahal sudah pintar, banyak hak paten,
banyak penemuan, banyak sertifikat, banyak rezeki. Harusnya bersyukur, bukan
malah sedih.” Timpal Nyonya Laddy dengan cetus.
“Enaknya Profesor liburan be sama Nyonya, supaya nenangin
pikiran.”
“Manalah mau Sugiyarti, Tuanmu itu dak pernah lari
dari buku. Puluhan tahun sibuk terus.”
“Bukan gitu....” Profesor bangkit dan memandang ke
luar jendela “meskipun buku itu sudah tua, berkat buku-buku itulah kita bisa
sampai sejauh ini. Kita bisa makan, minum, beli ini, beli itu. Bayangkan saja
kalau tidak ada buku-buku itu.”
“Itu sudah tugasnya, sayang. Buku ditulis untuk
dibaca, untuk menyumbangkan informasi bagi pembaca. Setelah selesai, ya
dibiarkan saja.”
“Itu yang keliru, buku itu pahlawan tanpa jiwa. Harus
dijaga, dan ada satu lagi yang membuat saya sangat ingin menjaga buku-buku
itu?”
“Apa?”
Belum sempat dijawab oleh Profesor Joko, tiba-tiba
Sidiq datang dengan tergopoh-gopoh. Membawa tas berukuran besar.
“Profesor, tugas saya sudah selesai. Semuanya beres.”
Sidiq berjalan menuju rak, membuka dengan lebar tas besar yang dipikulnya. Berhamburan
puluhan buku jatuh ke lantai. Semuanya terkejut, termasuk Profesor Joko.
“Jadi..... Kamu malingnya? Gara-gara kamu dua hari
Profesor tidak makan, tidak mandi, cuma mikiri buku-buku tu.” Nyonya Laddy
mengambil kemoceng yang tergantung di dinding. Bersiap untuk memukul Sidiq yang
terkejut setengah mati.
“Loh... Loh... Kenapa Nyonya? Profesor kok yang nyuruh
saya.”
“Maksudnya?”
“Profesor menyuruh saya untuk menyampul buku-buku ini
agar rapi.” Sidiq dengan gemetaran mengangkat beberapa buku. “Jadi saya
laksanakan.”
“ohh.. Iya saya ingat, saya sekarang ingat. Termakasih
Sidiq, saya kira buku-buku itu dicuri.”
Nyonya Laddy semakin kesal, dia murka dan bermaksud
meninggalkan Profesor Joko.
“Jadi..... selama ini buku-buku yang kau tangisi bukan
dicuri.”
“Bukan” Jawab Profesor dengan senyum semringah.
“Baguusss....” Nyonya Laddy pergi meninggalkan
Profesor, lantas Profesor menghadangnya dan berusaha merayu.
“Ehh.. Ehh... tahu dak kenapa aku sangat ingin menjaga
buku ini baik-baik.”
Nyonya Laddy yang dirayu Profesor akhirnya berhenti
sejenak “Kenapa?”.
“Karena buku-buku ini hadiah pemberianmu. Kau ingat?”
Profesor dengan tingkah seperti masa muda yang lalu mengambil beberapa buku.
“Buku ini waktu ulang tahunku ke 21, yang ini 22, yang ini 23, yang ini.......
oh ya 40 tahun. Kau selalu memberiku buku sebagai kado istimewa. Itulah yang
menambah cintaku buat selalu membaca, serta mencintaimu sepenuh jiwa dan raga.”
Tampak Nyonya Laddy tersipu malu. Wajahnya memerah,
usia hanya angka tapi cinta itu abadi. Seketika mereka mengingat kenangan masa-masa
muda mereka. Foto-foto monokrom tua, menjadi saksi bisu atas pertemuan cinta
mereka. Profesor merangkul Nyonya Laddy, mencium keningnya. Di sisi berlainan,
dekat rak buku. Tampak Sidiq dan Sugiyarti memasang senyum semringah. Mereka
senang Profesor dan Nyonya Laddy berbaikan. Sidiq juga sampai memeluk dan
mencium kemoceng yang ada di tangannya. Sugiyarti tampak jijik melihat kelakuan
Sidiq.


No comments:
Post a Comment