Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, November 30, 2018

Profesor Joko (Joko & Roby)


Profesor Joko
(Joko & Roby)
 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"




“Rumah ini kemalingan? Kamu yang benar saja Sugiyarti!”
“Nian Nyonya, Profesor kehilangan buku-bukunya.”
“Loh.... benda-benda lain bagaimana? TV, Laptop, HP, CD, Emas, Berlian?”
“Semua aman, Nyonya.”
“Itu maling pintar ya? Kok yang diambil cuma buku?”
“Bukan Nyonya, kayaknya itu maling sontoloyo.”
“Kok gitu?”
“Soalnya dak tahu harta mewah, yang diambil cuma buku.”
“Barangkali ada juga harta rumah ini yang diambil.”
“Ndak ada Nyonya.”
“Yang di dapur?”
“Aman Nyonya, semua sudah saya periksa.”
“Kamu benar Sugiyarti, itu maling sontoloyo. Dak berbakat jadi maling.”

***
Suasana rumah berwarna hijau telur asin itu sunyi tanpa suara. Pemiliknya, Profesor Joko sudah dua hari berdiam diri menatap foto monokrom masa muda. Sugiyarti susah payah membujuk Profesor untuk makan, sering dia merayu tapi tak kunjung berhasil. Sugiyarti sudah dua puluh tahun bekerja di sana sebagai assisten rumah tangga. Dia sudah tahu seluk beluk, perjalanan, hingga kehidupan Profesor Joko. Sebagai pembantu yang setia, tidak pernah Sugiyarti melihat Profesor se-sedih ini. Kesedihan yang dialami Profesor paling-paling ketika bertengkar dengan istrinya. Sugiyarti bisa menenangkan Profesor dan merujuk keduanya untuk saling menjaga ego, bahkan tidak sampai sehari.
Nyonya Laddy, istri Profesor Joko yang paling setia. Wanita itu menemani Profesor sejak menjadi mahasiswa baru. Waktu itu, mereka masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Nyonya merasa sedih melihat Profesor selalu murung selama dua hari ini.
“Ada apa sayang? Sudah tua dak usah sedih terus, nanti tambah tua.” Tidak ada jawaban dari Profesor.
“Rindu masa muda? Kok megang foto itu terus.” Nyonya mengelus rambut putih Profesor yang mulai rontok.
“Aku tahu, masa-masa muda idak bisa pulang ke kita. Setidaknya cerita padaku, jangan cuma diam.”
Tiba-tiba Profesor meletakkan foto monokrom di atas meja. Dengan suara terbata-bata dia berucap “Aku tidak menginginkan masa muda itu hadir lagi, sayang. Tapi ada yang hilang dari sebagian hidupku.”
“Apa yang hilang? Aku masih ada di sampingmu, persis seperti dulu.” Nyonya Laddy seketika berubah menjadi genit. “Hidupmu sudah lengkap, tidak ada yang kurang. Profesor Joko, pemilik ratusan hak paten sekaligus pemilik istri yang paling cantik sepanjang sejarah.”
“Ahh... Kalau istri paling cantik memang iya, tapi hak paten itu keliru.”
Nyonya Laddy bertambah bingung, wajahnya yang kerut bertambah kerut. “Keliru bagaimana? Coba kau lihat, sayangku!” Nyonya mengarahkan pandangan Profesor ke setiap sudut rumah “Banyak mesin-mesin canggih yang sudah kau ciptakan. Robot guru super pintar, mesin pembuat PR untuk pelajar, aplikasi canggih untuk Ujian Nasional, Buku tanpa dibaca, Tempat tidur pintar, sampai pacar virtual sudah kau ciptakan. Apa lagi yang kurang? Apa kau masih ingat dengan Hana?”
“Hana?”
“Iya, tetangga kita dulu.”
“Kenapa dia?”
“Karena temuan pacar virtualmu, kini hidupnya lebih berwarna sudah bahagia. Tidak pernah disakiti lagi, itu karenamu.”
“Kau berlebihan!”
“Itu sungguhan.” Nyonya Laddy duduk di sebelah profesor dan memegang jemarinya yang keriput. “Kepintaranmu sudah menolong banyak orang. Masihkah ada yang kurang?”
Profesor tampak kurang setuju, wajahnya cemberut. Setengah mati dia berusaha mengeluarkan keluh yang sudah dua hari ini dipendam. “Lihat itu!” Mereka menatap rak buku yang kosong. “Sudah dua hari ini, buku simpananku sejak masih kuliah hilang tiba-tiba.”
Nyonya Laddy sedikit memasang senyum di bibir. “Jadi itu alasanmu dua hari ini murung, tidak mau makan, dan selalu gelisah.” Genggaman tangan mereka semakin erat “Sudahlah, kau tidak membutuhkan buku-buku itu lagi. Kau sudah khatam semuanya. Bahkan ketika aku tanya persoalan rumus fisika dan matematika kau dapat menjabarkannya dengan lancar.”
“Buku itu separuh hidupku.”
“Akulah separuh hidupmu!” Nyonya mulai larut dalam emosi.
“Kau tidak mengerti, sayang!”
“Kau yang tidak mengerti.”
“Kenapa marah?” Profesor mengarahkan tatapnya ke pandangan Nyonya yang mulai naik dalam emosi.
“Maaf, aku hanya tidak ingin melihat kau bersedih terus”
Profesor balik mengelus rambut putih Nyonya. Sepintas suasana ini sama seperti puluhan tahun yang lalu, ketika mereka masih muda. Satu hal yang paling ditakuti Profesor hanyalah istrinya sendiri. Dia orang yang keras, tapi bila Nyonya sudah marah, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengalah. Bagi mereka, persoalan merupakan bumbu yang meracik kesetiaan. Profesor sering memendam permasalahan sendiri, tetapi Nyonya bisa membaca pikiran hanya lewat pandangan.
Mereka larut dalam pelukan hangat. Sore itu mereka memposisikan diri sebagai pengantin muda. Usia hanya angka, cinta adalah makna. Profesor memeluk Nyonya Laddy dengan tulus, mencium keningnya yang sudah mengkerut.
“Sebaiknya kita laporkan polisi terkait buku-bukuku yang hilang.”
“Mulai lagi!!” Nyonya melepaskan diri dari pelukan Profesor kemudian sedikit menjauh darinya. “Aku tidak mau mendengar kau eluhkan buku-buku yang hilang itu lagi. Itu buku kuno, sudah layak hilang.”
“Tapi... Tapi....”
“Tidak ada tapi-tapian, bahkan sampai waktu keromantisan kita berdua kau masih juga membicarakan buku itu.”
Sugiyarti muncul dari sisi dapur, membawa semangkuk soto ayam nikmat. Mereka seketika diam, Profesor tersenyum ke arah Sugiyarti. Nyonya masih larut dalam amarah.
“Maaf Nyonya, maaf Profesor. Ini saya bawakan soto ayam.” Sugiyarti bingung melihat pasangan tua itu saling diam-diaman, seperti remaja labil. “Kok pada diam-diaman, marahan lagi?”
“Itu... Tuanmu, bikin ribut terus”
“Bukan saya, Nyonyamu saja yang bawa perasaan.”
“Kalau bukan karena bukumu itu, mana mungkin aku sampai semarah ini.”
“Itu alasan yang keliru.”
“Kalo gitu, Sugi ndak mau ikut-ikutanlah, Sugi ke belakang be lah.”
Langkah Sugiyarti dicegat oleh Profesor “Apa kau lihat buku-buku saya yang di lemari itu?”
Sugiyarti mengarahkan pandangannya ke rak buku yang kosong. Kemudian menatap ke arah Profesor “Ndak tahu”.
“Coba cari tahu!”
Sugiyarti kebingungan “Baik Profesor, tapi..... Kenapa Profesor sibuk nyari buku tu?”
“Itulah, padahal sudah pintar, banyak hak paten, banyak penemuan, banyak sertifikat, banyak rezeki. Harusnya bersyukur, bukan malah sedih.” Timpal Nyonya Laddy dengan cetus.
“Enaknya Profesor liburan be sama Nyonya, supaya nenangin pikiran.”
“Manalah mau Sugiyarti, Tuanmu itu dak pernah lari dari buku. Puluhan tahun sibuk terus.”
“Bukan gitu....” Profesor bangkit dan memandang ke luar jendela “meskipun buku itu sudah tua, berkat buku-buku itulah kita bisa sampai sejauh ini. Kita bisa makan, minum, beli ini, beli itu. Bayangkan saja kalau tidak ada buku-buku itu.”
“Itu sudah tugasnya, sayang. Buku ditulis untuk dibaca, untuk menyumbangkan informasi bagi pembaca. Setelah selesai, ya dibiarkan saja.”
“Itu yang keliru, buku itu pahlawan tanpa jiwa. Harus dijaga, dan ada satu lagi yang membuat saya sangat ingin menjaga buku-buku itu?”
“Apa?”
Belum sempat dijawab oleh Profesor Joko, tiba-tiba Sidiq datang dengan tergopoh-gopoh. Membawa tas berukuran besar.
“Profesor, tugas saya sudah selesai. Semuanya beres.” Sidiq berjalan menuju rak, membuka dengan lebar tas besar yang dipikulnya. Berhamburan puluhan buku jatuh ke lantai. Semuanya terkejut, termasuk Profesor Joko.
“Jadi..... Kamu malingnya? Gara-gara kamu dua hari Profesor tidak makan, tidak mandi, cuma mikiri buku-buku tu.” Nyonya Laddy mengambil kemoceng yang tergantung di dinding. Bersiap untuk memukul Sidiq yang terkejut setengah mati.
“Loh... Loh... Kenapa Nyonya? Profesor kok yang nyuruh saya.”
“Maksudnya?”
“Profesor menyuruh saya untuk menyampul buku-buku ini agar rapi.” Sidiq dengan gemetaran mengangkat beberapa buku. “Jadi saya laksanakan.”
“ohh.. Iya saya ingat, saya sekarang ingat. Termakasih Sidiq, saya kira buku-buku itu dicuri.”
Nyonya Laddy semakin kesal, dia murka dan bermaksud meninggalkan Profesor Joko.
“Jadi..... selama ini buku-buku yang kau tangisi bukan dicuri.”
“Bukan” Jawab Profesor dengan senyum semringah.
“Baguusss....” Nyonya Laddy pergi meninggalkan Profesor, lantas Profesor menghadangnya dan berusaha merayu.
“Ehh.. Ehh... tahu dak kenapa aku sangat ingin menjaga buku ini baik-baik.”
Nyonya Laddy yang dirayu Profesor akhirnya berhenti sejenak “Kenapa?”.
“Karena buku-buku ini hadiah pemberianmu. Kau ingat?” Profesor dengan tingkah seperti masa muda yang lalu mengambil beberapa buku. “Buku ini waktu ulang tahunku ke 21, yang ini 22, yang ini 23, yang ini....... oh ya 40 tahun. Kau selalu memberiku buku sebagai kado istimewa. Itulah yang menambah cintaku buat selalu membaca, serta mencintaimu sepenuh jiwa dan raga.”
Tampak Nyonya Laddy tersipu malu. Wajahnya memerah, usia hanya angka tapi cinta itu abadi. Seketika mereka mengingat kenangan masa-masa muda mereka. Foto-foto monokrom tua, menjadi saksi bisu atas pertemuan cinta mereka. Profesor merangkul Nyonya Laddy, mencium keningnya. Di sisi berlainan, dekat rak buku. Tampak Sidiq dan Sugiyarti memasang senyum semringah. Mereka senang Profesor dan Nyonya Laddy berbaikan. Sidiq juga sampai memeluk dan mencium kemoceng yang ada di tangannya. Sugiyarti tampak jijik melihat kelakuan Sidiq.


No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *