Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Sunday, September 30, 2018

Sila-Sila (Joko & Roby)


Sila-Sila
(Joko & Roby)
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"






Gubraakkk...... “Ahh... Sialan!”
Masih terlalu pagi untuk memancing amarah sopir travel minibus yang aku tumpangi dengan tujuan Kerinci.
Anjek [1]... Kan udah aku bilang... Biak aku be, tengkar nian.”
Sopir keluar dari sisi kemudi, menghampiriku dengan wajah merah menahan amarah. Dipungutnya satu-satu tas dan barang penumpang. Dari gerak tubuhnya, sopir itu kesal. Maklumlah aku lagi terburu-buru dikejar waktu. Harus sampai Kerinci sebelum jam 20.00, sebab ada janji dengan salah satu tokoh perjuangan bangsa. Katanya masih tersisa satu di tanah Kerinci, info ini aku dapat dari mamok [2] dan tante di Kerinci. Makanya aku harus segera bertemu dengan tokoh tersebut. Akibat dari terburu-buru, tanpa sengaja aku menjatuhkan barang yang sudah bertumpuk setinggi langit di bagasi mobil.
Matai leh mpa [3]... Nyusahi be!”
Diam-diam aku meninggalkan sopir yang kesal. Membuka pintu dan duduk di kursi belakang. Di sisi depan telah terisi penuh, di belakang hanya ada aku dan seorang kakek tua yang usianya aku taksir sekitar tujuh puluh lima tahun.
“Permisi!”
“......” tidak ada jawaban.
“Kek....! Kekk....”
Kakek tidak menjawab sapaku, barangkali faktor usia yang mengganggu pendengarannya. Kakek hanya melihat dan tersenyum kepadaku yang lantas aku balas dengan senyuman kembali. Daripada mengganggu pria tua, lebih baik melakukan kegiatan lain. Seperti nonton Youtube, dengar musik, baca berita atau Live Instagram. Sebelum itu aku melihat ke belakang, bagasi mobil sudah tertutup rapat. Sopir sudah masuk ke ruang kemudi. Minibus melaju di aspal hitam sedikit berlobang di daerah Muara Bulian menuju Kerinci.
Gawai tiba-tiba berdering, aku buka kunci polanya dan melihat sebuah kontak bernama Mamok memanggil. Sambil menekan simbol warna hijau, aku menyapa.
   “Halo.....”
   “Ya... Walaikumsalam..”
   “Ha.... Pio? [4]
   “Iya.. iya....”
   “Hmm....”
   “Ohh... Gitu...”
   “Oke....”
Tidak ada kalimat panjang yang keluar dari mulutku, hanya beberapa kata yang rasanya tidak penting. Mamok hanya mengingatkan jangan sampai telat, sebab tokoh yang akan aku temui memiliki sifat temperamen yang tinggi. Namanya juga mantan pejuang kemerdekaan, pastilah punya banyak cerita yang keras. Pelbagai makanan, bingkisan dan roti sudah aku siapkan. Aku harus bertemu tokoh ini, untuk tugas akhir semester. Dosen mata kuliah Kewarganegaraan menyuruh membuat artikel ilmiah tentang penanaman nilai-nilai pancasila dalam diri masyarakat. Tokoh yang ingin aku temui pastilah mengetahui seluk-beluk pancasila sebagai dasar negara.
“Yasudah, Walaikumsalam...”
Tuutttt.... telpon terputus, untuk menghilangkan suntuk aku membuka youtube. Video yang keluar di beranda akun memperlihatkan beberapa oknum suporter klub sepak bola mengeroyok seorang suporter lawan. Sungguh mengenaskan, olahraga harusnya mempersatukan bukannya memecah belah. Aku teringat kisah ketika Tim Nasional Indonesia menjuarai Piala AFF. Begitu takjubnya melihat kostum merah-putih menghiasi setiap sudut stadion. Tidak ada warna lain, hanya merah-putih bersatu dari Sabang sampai Merauke. Pelbagai suku, bahasa dan budaya menyatu menjadi Indonesia.
Aku juga teringat beberapa hari yang lalu Tim Nasional Indonesia U-16 berhasil menjadi juara grup AFC. Satu langkah lagi menuju World Cup, begitu indahnya bendera merah-putih berkibar di stadion negara tetangga.
“Menodai pancasila”
Aku kaget mendengar kakek di sebelahku berbicara dan ikut menonton video.
“Sesamo saudara harusnya bersatu, saling bantu, menjago NKRI, memajukan negara, berprestasi dan mengharumkan namo bangsa.”
Ada ekspresi duka yang sejak lama sudah disimpan. Dari wajahnya, kakek itu seperti mengumpulkan rasa kekecewaan yang sudah memuncak.
“Persatuan Indonesia, katonyo. Sekarang yang ado cuma perpecahan. Ribuk [5] teruss!! Orang miskin ribuk, orang kaya ribuk, suami-istri ribuk, pegawai negeri ribuk, pengusaha ribuk, mahasiswa ribuk, anak sekolah ribuk, semuanya ribuk.”
Aku kira kakek di sebelahku sudah bisu dan tuli, sebab tidak membalas sapaanku di awal bertemu. Rasanya dia tahu betul kondisi Indonesia zaman old [6]. Lantas aku langsung hantam dia dengan pelbagai pertanyaan.
“Kek, apo makna persatuan? Apakah nilai-nilai pancasila masih tertanam dalam diri masyarakat Indonesia? Apakah warga negara paham betul arti dari sila-sila tersebut? Apakah ada bedanya persatuan zaman perjuangan dulu sama zaman sekarang?”
Tapi, kakek tidak membalas semua pertanyaan. Mendadak dia membisu seperti awal bertemu. Aku bingung, sedikit kesal. Rasanya aku adalah satu-satunya manusia yang ngeselin, ternyata tidak. Kakek di sebelahku lebih ngeselin daripada aku. Panjang lebar aku menjabarkan pertanyaan yang ingin aku tahu jawabannya. Eh, dia malah balik bertanya. Pertanyaannya juga jauh menyimpang.
“Kau ingat sekarang hari apo?” Pertanyaan itu mengesalkan dan membuat aku marah.
“Senin!” Singkat, padat dan jelas aku menjawab pertanyaan pria tua itu.
“Bodoh!” Dia juga membalas dengan paket komplit. Singkat, padat, jelas, menusuk hati. Hampir saja aku naik tensi, beruntung aku masih menghormatinya.
“Kau ingat sekarang tanggal berapo?”
Aku melihat gawai “satu”
“Bulan?”
“Oktober.”
“Kau betul-betul lupa sekarang hari apo?”
“Hari senin!”
“Bodoh! Sekarang hari Kesaktian Pancasila. Tengok tu!”
Aku melihat ke luar jendela, ke arah yang diperintahkan kakek. Tidak ada apa-apa, kecuali spanduk bertuliskan “Nobar Film G30SPKI” yang diadakan oleh salah satu komunitas. Akupun bertanya-tanya tentang perizinan diadakannya nobar tersebut. Tapi tidak berpikir panjang, barulah pikiranku liar setelah kakek berucap.
“Bangsa ini selalu menyimpan dendam. Kebencian masa lalu selalu diungkit dan dibangun lagi. Oknum-oknum penyebar kebencian akan memecahkan tali persatuan. Mereka atas nama loyalitas rela membunuh keluarga sendiri, bangsa sendiri. Kebencian terus mendarah daging, sifat itu terus memuncak sebagai dendam masa lampau. Seterusnya akan saling balas, bangsa kita akan terpecah belah. Moral akan memburuk, masa depan bangsa di tanah air mata ini dalam bahaya. Kecuali ada yang mau mengalah, berpikir dengan otak, merasakan dengan hati, menenggelamkan amarah, benci dan nafsu. Harus ada yang memulai perdamaian. Perbedaan warna seragam klub seperti di video tadi, harusnya menjadi sebuah persatuan yang indah. Kita harus ingat, bahwa seragam kita satu. Satu bangsa, satu bahasa, satu bendera, Merah-Putih. Kita satu Indonesia.”
Mendengar pernyataan yang cukup panjang kali lebar itu. Perasaanku terbang hingga tahun 45-an. Aku mengerti rasanya persatuan yang begitu erat, saat bersama-sama mengusir penjajah. Atas nama Bangsa Indonesia rela bersimbah darah, bukan atas nama klub idola. Aku paham bagaimana rasanya menjaga bangsa meski kemerdekaan sudah didapat. Konflik-konflik masa lampau biarlah tetap menjadi sejarah. Ambil hikmah tinggalkan kebencian. Meskipun aku tidak pernah berada di posisi itu. Tapi aku bisa merasakannya lewat wajah seorang pria tua yang tiba-tiba menumpahkan isi hatinya padaku saat ini.
“Bagaimana cara mengatasi semua ini? Cara agar tidak terjadi konflik seperti yang kakek jabarkan?”
“Dak ado!”
“Loh... Kok...”
“Dak ado! Konflik memang pasti terjadi di negara yang kaya seperti kita, negara yang penuh dengan perbedaan.”
“Kalau gitu, kakek harusnya memaklumi semua yang terjadi belakangan ini. Dak perlu ditumpahkan dengan kekesalan, jika memang dak ada cara untuk mengakhiri.”
“Hanya ada satu cara!”
“Apo?”
Kakek mengambil gawai dari tanganku, dia bahkan bisa hapal pola kuncinya. Membuka gawai dan akun youtube milikku. Kakek menunjukkan sebuah video gempa dan tsunami yang melanda tanah air baru-baru ini. Aku sudah tahu kejadian itu, tapi kenapa kakek menunjukkannya lagi? Mungkin dia mengira aku tidak tahu.
“Kau ngerti maksudnyo?”
Aku menggeleng.
“Hanya Tuhan yang mampu menyadarkan kita dari semuo konflik yang terjadi. Ini baru teguran kecil dari Tuhan. Tengok! betapa kecilnya kita di mata Tuhan. Teguran kecil-Nya membuat kita berlarian dak tahu arah. Tuhan gerah dengan semua tingkah dan kebencian yang kita buat.”
Tiba-tiba mobil yang aku tumpang berhenti di lampu merah. Banyak komunitas, mahasiswa dari pelbagai Universitas dan perkumpulan menggunakan seragam kebanggan berwarna-warni berkumpul di pinggir jalan. Mereka bergotong-royong mengumpulkan sumbangan peduli kasih untuk korban bencana yang melanda tanah air baru-baru ini.
“Tengok! Mereka dengan seragam yang berwarna-warni, latar belakang yang berbeda-beda. Turun ke jalan bersama-sama dalam ikatan persatuan, untuk membantu saudaranya yang tertimpa musibah. Itulah bukti bahwa teguran Tuhan yang mampu mempersatukan kita semua. Kau tahu apa bunyi sila pertama?”
“Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Benar! Itulah sebabnyo sila pertamo adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kekuatan tertinggi hanyalah kekuatan Tuhan. Dak ado satupun yang setara dengan-Nya. Sila-sila lain hanya jabaran dari sila pertama, sila yang dak boleh menyimpang dari ajaran Tuhan. Ngerti?”
Aku mengangguk, seperti anak TK yang baru saja diajarkan salah dan benar. Seperti seseorang yang baru saja diceramahi. Seperti gelas kosong yang baru saja diisi oleh air bening. Kakek tidak berbicara lagi, dia memilih untuk tidur menikmati perjalanan. Aku sudah banyak dapat pemahaman tentang pancasila sebagai bahan tugas. Wawasanku mulai terbuka peralahan-lahan, semua yang kakek ucapkan membuat aku merinding. Berbicara masalah negeri tidak ada habis-habisnya. Bahkan selama berjam-jam kami berbincang, aku belum mengetahui nama kakek tersebut.
Ketika kakek memilih tidur, akupun tanpa sadar juga ikut tertidur ketika mendengar musik Kerinci yang dihidupkan sopir. Nadanya merdu, membuat aku merindukan kampung dan ingin cepat sampai. Aku terbangun ketika mobil berhenti, sopir memukul pundakku.
Lah tibea! [7]
Cepat aku membetulkan baju yang kusut, mengusap wajah dan tak lupa berpamitan dengan kakek tua. Tunggu dulu! Ketika aku hendak berpamitan, kakek sudah tidak ada.
“Kemana kakek itu?”
“Kakek siapo?” Sopir bingung mendengar pertanyaanku.
“Kakek yang di sebelahku.”
“hahaha.... Kau ngigau? Dak ada orang lain di sebelahmu. Kau dewekan!”
Aku bingung, sungguh merinding dibuatnya. Rasanya aku baru saja berbincang dengan seorang pria tua sebelum terlelap. Tapi kenapa sopir mobil bilang tidak ada siapa-siapa.
“Terimakasih, semoga berjumpa lagi!”
Sopir memberikan ransel besar kepunyaanku, kemudian pergi mengantar penumpang lain. Dari kejauhan aku melihat Mamok melambaikan tangan. Dia berlari menghampiriku dan napasnya ngos-ngosan.
“Apo kau nengok pria tua bejalan di sini?”
“Dak, siapo?”
“Pria yang akan kau temui, namanya Joko dia menunggu dari sore dan sekarang tengok udah jam berapo.”
Aku melihat arloji yang melilit lengan kiri, sudah menunjukkan pukul 21.00.
“Kau lama nian! Kakek tu udah pergi. Baru be lewat sini. Ini fotonya!”
Aku terkejut setengah mati, jantungku hampir berhenti, jiwaku melayang jauh, tatapku tiba-tiba kosong dan aku berteriak keras setelah melihat foto dari gawai Mamok. “Ini foto yang aku kirim ke WhatsApp-mu tapi kau dak nengok.”
“Aku ketemu tadi!” mulutku berucap dengan pasrah.
“Dimano?”
“Duduk di sebelahku dalam mobil, sepanjang jalan dari Muara Bulian sampai Kerinci dan aku baru tahu namo kakek itu Joko.” Tuntasku kemudian pingsan secara tiba-tiba.  



[1] Anjing
[2] Paman
[3] Mati lah kau
[4] Kenapa?
[5] Ribut
[6] dulu
[7] Sudah sampai

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *