Sila-Sila
Gubraakkk...... “Ahh...
Sialan!”
Masih
terlalu pagi untuk memancing amarah sopir travel
minibus yang aku tumpangi dengan tujuan Kerinci.
“Anjek [1]...
Kan udah aku bilang... Biak aku be, tengkar nian.”
Sopir
keluar dari sisi kemudi, menghampiriku dengan wajah merah menahan amarah.
Dipungutnya satu-satu tas dan barang penumpang. Dari gerak tubuhnya, sopir itu
kesal. Maklumlah aku lagi terburu-buru dikejar waktu. Harus sampai Kerinci
sebelum jam 20.00, sebab ada janji dengan salah satu tokoh perjuangan bangsa.
Katanya masih tersisa satu di tanah Kerinci, info ini aku dapat dari mamok [2]
dan tante di Kerinci. Makanya aku harus segera bertemu dengan tokoh tersebut.
Akibat dari terburu-buru, tanpa sengaja aku menjatuhkan barang yang sudah
bertumpuk setinggi langit di bagasi mobil.
“Matai leh mpa [3]...
Nyusahi be!”
Diam-diam
aku meninggalkan sopir yang kesal. Membuka pintu dan duduk di kursi belakang. Di
sisi depan telah terisi penuh, di belakang hanya ada aku dan seorang kakek tua
yang usianya aku taksir sekitar tujuh puluh lima tahun.
“Permisi!”
“......”
tidak ada jawaban.
“Kek....!
Kekk....”
Kakek
tidak menjawab sapaku, barangkali faktor usia yang mengganggu pendengarannya.
Kakek hanya melihat dan tersenyum kepadaku yang lantas aku balas dengan
senyuman kembali. Daripada mengganggu pria tua, lebih baik melakukan kegiatan
lain. Seperti nonton Youtube, dengar
musik, baca berita atau Live Instagram. Sebelum
itu aku melihat ke belakang, bagasi mobil sudah tertutup rapat. Sopir sudah
masuk ke ruang kemudi. Minibus melaju di aspal hitam sedikit berlobang di
daerah Muara Bulian menuju Kerinci.
Gawai
tiba-tiba berdering, aku buka kunci polanya dan melihat sebuah kontak bernama Mamok memanggil. Sambil menekan simbol warna
hijau, aku menyapa.
“Halo.....”
“Ya... Walaikumsalam..”
“Ha.... Pio? [4]”
“Iya.. iya....”
“Hmm....”
“Ohh... Gitu...”
“Oke....”
Tidak
ada kalimat panjang yang keluar dari mulutku, hanya beberapa kata yang rasanya
tidak penting. Mamok hanya
mengingatkan jangan sampai telat, sebab tokoh yang akan aku temui memiliki
sifat temperamen yang tinggi. Namanya juga mantan pejuang kemerdekaan, pastilah
punya banyak cerita yang keras. Pelbagai makanan, bingkisan dan roti sudah aku
siapkan. Aku harus bertemu tokoh ini, untuk tugas akhir semester. Dosen mata
kuliah Kewarganegaraan menyuruh membuat artikel ilmiah tentang penanaman
nilai-nilai pancasila dalam diri masyarakat. Tokoh yang ingin aku temui
pastilah mengetahui seluk-beluk pancasila sebagai dasar negara.
“Yasudah,
Walaikumsalam...”
Tuutttt.... telpon
terputus, untuk menghilangkan suntuk aku membuka youtube. Video yang keluar di beranda akun memperlihatkan beberapa
oknum suporter klub sepak bola mengeroyok seorang suporter lawan. Sungguh
mengenaskan, olahraga harusnya mempersatukan bukannya memecah belah. Aku
teringat kisah ketika Tim Nasional Indonesia menjuarai Piala AFF. Begitu
takjubnya melihat kostum merah-putih menghiasi setiap sudut stadion. Tidak ada
warna lain, hanya merah-putih bersatu dari Sabang sampai Merauke. Pelbagai
suku, bahasa dan budaya menyatu menjadi Indonesia.
Aku
juga teringat beberapa hari yang lalu Tim Nasional Indonesia U-16 berhasil
menjadi juara grup AFC. Satu langkah
lagi menuju World Cup, begitu
indahnya bendera merah-putih berkibar di stadion negara tetangga.
“Menodai
pancasila”
Aku
kaget mendengar kakek di sebelahku berbicara dan ikut menonton video.
“Sesamo
saudara harusnya bersatu, saling bantu, menjago NKRI, memajukan negara,
berprestasi dan mengharumkan namo bangsa.”
Ada
ekspresi duka yang sejak lama sudah disimpan. Dari wajahnya, kakek itu seperti
mengumpulkan rasa kekecewaan yang sudah memuncak.
“Persatuan
Indonesia, katonyo. Sekarang yang ado cuma perpecahan. Ribuk [5]
teruss!! Orang miskin ribuk, orang
kaya ribuk, suami-istri ribuk, pegawai negeri ribuk, pengusaha ribuk, mahasiswa ribuk,
anak sekolah ribuk, semuanya ribuk.”
Aku
kira kakek di sebelahku sudah bisu dan tuli, sebab tidak membalas sapaanku di awal
bertemu. Rasanya dia tahu betul kondisi Indonesia zaman old [6].
Lantas aku langsung hantam dia dengan pelbagai pertanyaan.
“Kek,
apo makna persatuan? Apakah nilai-nilai pancasila masih tertanam dalam diri
masyarakat Indonesia? Apakah warga negara paham betul arti dari sila-sila
tersebut? Apakah ada bedanya persatuan zaman perjuangan dulu sama zaman sekarang?”
Tapi,
kakek tidak membalas semua pertanyaan. Mendadak dia membisu seperti awal
bertemu. Aku bingung, sedikit kesal. Rasanya aku adalah satu-satunya manusia
yang ngeselin, ternyata tidak. Kakek
di sebelahku lebih ngeselin daripada
aku. Panjang lebar aku menjabarkan pertanyaan yang ingin aku tahu jawabannya.
Eh, dia malah balik bertanya. Pertanyaannya juga jauh menyimpang.
“Kau
ingat sekarang hari apo?” Pertanyaan itu mengesalkan dan membuat aku marah.
“Senin!”
Singkat, padat dan jelas aku menjawab pertanyaan pria tua itu.
“Bodoh!”
Dia juga membalas dengan paket komplit. Singkat, padat, jelas, menusuk hati.
Hampir saja aku naik tensi, beruntung aku masih menghormatinya.
“Kau
ingat sekarang tanggal berapo?”
Aku
melihat gawai “satu”
“Bulan?”
“Oktober.”
“Kau
betul-betul lupa sekarang hari apo?”
“Hari
senin!”
“Bodoh!
Sekarang hari Kesaktian Pancasila. Tengok tu!”
Aku
melihat ke luar jendela, ke arah yang diperintahkan kakek. Tidak ada apa-apa,
kecuali spanduk bertuliskan “Nobar
Film G30SPKI” yang diadakan oleh salah satu komunitas. Akupun bertanya-tanya
tentang perizinan diadakannya nobar tersebut.
Tapi tidak berpikir panjang, barulah pikiranku liar setelah kakek berucap.
“Bangsa
ini selalu menyimpan dendam. Kebencian masa lalu selalu diungkit dan dibangun
lagi. Oknum-oknum penyebar kebencian akan memecahkan tali persatuan. Mereka
atas nama loyalitas rela membunuh keluarga sendiri, bangsa sendiri. Kebencian terus
mendarah daging, sifat itu terus memuncak sebagai dendam masa lampau.
Seterusnya akan saling balas, bangsa kita akan terpecah belah. Moral akan memburuk,
masa depan bangsa di tanah air mata ini dalam bahaya. Kecuali ada yang mau
mengalah, berpikir dengan otak, merasakan dengan hati, menenggelamkan amarah,
benci dan nafsu. Harus ada yang memulai perdamaian. Perbedaan warna seragam
klub seperti di video tadi, harusnya menjadi sebuah persatuan yang indah. Kita
harus ingat, bahwa seragam kita satu. Satu bangsa, satu bahasa, satu bendera,
Merah-Putih. Kita satu Indonesia.”
Mendengar
pernyataan yang cukup panjang kali lebar itu. Perasaanku terbang hingga tahun 45-an. Aku mengerti rasanya persatuan yang begitu erat, saat bersama-sama
mengusir penjajah. Atas nama Bangsa Indonesia rela bersimbah darah, bukan atas
nama klub idola. Aku paham bagaimana rasanya menjaga bangsa meski kemerdekaan
sudah didapat. Konflik-konflik masa lampau biarlah tetap menjadi sejarah. Ambil
hikmah tinggalkan kebencian. Meskipun aku tidak pernah berada di posisi itu.
Tapi aku bisa merasakannya lewat wajah seorang pria tua yang tiba-tiba
menumpahkan isi hatinya padaku saat ini.
“Bagaimana
cara mengatasi semua ini? Cara agar tidak terjadi konflik seperti yang kakek
jabarkan?”
“Dak
ado!”
“Loh...
Kok...”
“Dak
ado! Konflik memang pasti terjadi di negara yang kaya seperti kita, negara yang
penuh dengan perbedaan.”
“Kalau
gitu, kakek harusnya memaklumi semua yang terjadi belakangan ini. Dak perlu
ditumpahkan dengan kekesalan, jika memang dak ada cara untuk mengakhiri.”
“Hanya
ada satu cara!”
“Apo?”
Kakek
mengambil gawai dari tanganku, dia bahkan bisa hapal pola kuncinya. Membuka
gawai dan akun youtube milikku. Kakek
menunjukkan sebuah video gempa dan tsunami yang melanda tanah air baru-baru ini.
Aku sudah tahu kejadian itu, tapi kenapa kakek menunjukkannya lagi? Mungkin dia
mengira aku tidak tahu.
“Kau
ngerti maksudnyo?”
Aku
menggeleng.
“Hanya
Tuhan yang mampu menyadarkan kita dari semuo konflik yang terjadi. Ini baru
teguran kecil dari Tuhan. Tengok! betapa kecilnya kita di mata Tuhan. Teguran
kecil-Nya membuat kita berlarian dak tahu arah. Tuhan gerah dengan semua
tingkah dan kebencian yang kita buat.”
Tiba-tiba
mobil yang aku tumpang berhenti di lampu merah. Banyak komunitas, mahasiswa
dari pelbagai Universitas dan perkumpulan menggunakan seragam kebanggan
berwarna-warni berkumpul di pinggir jalan. Mereka bergotong-royong mengumpulkan
sumbangan peduli kasih untuk korban bencana yang melanda tanah air baru-baru
ini.
“Tengok!
Mereka dengan seragam yang berwarna-warni, latar belakang yang berbeda-beda.
Turun ke jalan bersama-sama dalam ikatan persatuan, untuk membantu saudaranya
yang tertimpa musibah. Itulah bukti bahwa teguran Tuhan yang mampu
mempersatukan kita semua. Kau tahu apa bunyi sila pertama?”
“Ketuhanan
Yang Maha Esa.”
“Benar!
Itulah sebabnyo sila pertamo adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kekuatan tertinggi
hanyalah kekuatan Tuhan. Dak ado satupun yang setara dengan-Nya. Sila-sila lain
hanya jabaran dari sila pertama, sila yang dak boleh menyimpang dari ajaran
Tuhan. Ngerti?”
Aku
mengangguk, seperti anak TK yang baru saja diajarkan salah dan benar. Seperti
seseorang yang baru saja diceramahi. Seperti gelas kosong yang baru saja diisi
oleh air bening. Kakek tidak berbicara lagi, dia memilih untuk tidur menikmati
perjalanan. Aku sudah banyak dapat pemahaman tentang pancasila sebagai bahan tugas.
Wawasanku mulai terbuka peralahan-lahan, semua yang kakek ucapkan membuat aku
merinding. Berbicara masalah negeri tidak ada habis-habisnya. Bahkan selama
berjam-jam kami berbincang, aku belum mengetahui nama kakek tersebut.
Ketika
kakek memilih tidur, akupun tanpa sadar juga ikut tertidur ketika mendengar
musik Kerinci yang dihidupkan sopir. Nadanya merdu, membuat aku merindukan
kampung dan ingin cepat sampai. Aku terbangun ketika mobil berhenti, sopir
memukul pundakku.
“Lah tibea! [7]”
Cepat
aku membetulkan baju yang kusut, mengusap wajah dan tak lupa berpamitan dengan
kakek tua. Tunggu dulu! Ketika aku hendak berpamitan, kakek sudah tidak ada.
“Kemana
kakek itu?”
“Kakek
siapo?” Sopir bingung mendengar pertanyaanku.
“Kakek
yang di sebelahku.”
“hahaha....
Kau ngigau? Dak ada orang lain di sebelahmu. Kau dewekan!”
Aku
bingung, sungguh merinding dibuatnya. Rasanya aku baru saja berbincang dengan
seorang pria tua sebelum terlelap. Tapi kenapa sopir mobil bilang tidak ada
siapa-siapa.
“Terimakasih,
semoga berjumpa lagi!”
Sopir
memberikan ransel besar kepunyaanku, kemudian pergi mengantar penumpang lain.
Dari kejauhan aku melihat Mamok melambaikan
tangan. Dia berlari menghampiriku dan napasnya ngos-ngosan.
“Apo
kau nengok pria tua bejalan di sini?”
“Dak,
siapo?”
“Pria
yang akan kau temui, namanya Joko dia menunggu dari sore dan sekarang tengok udah
jam berapo.”
Aku
melihat arloji yang melilit lengan kiri, sudah menunjukkan pukul 21.00.
“Kau
lama nian! Kakek tu udah pergi. Baru be lewat sini. Ini fotonya!”
Aku
terkejut setengah mati, jantungku hampir berhenti, jiwaku melayang jauh, tatapku
tiba-tiba kosong dan aku berteriak keras setelah melihat foto dari gawai Mamok. “Ini foto yang aku kirim ke WhatsApp-mu tapi kau dak nengok.”
“Aku
ketemu tadi!” mulutku berucap dengan pasrah.
“Dimano?”
“Duduk
di sebelahku dalam mobil, sepanjang jalan dari Muara Bulian sampai Kerinci dan
aku baru tahu namo kakek itu Joko.” Tuntasku kemudian pingsan secara tiba-tiba.


No comments:
Post a Comment