“Dung-Tak”
Nafri Dwi Boy
“Dung-Tak”
OPENING
Berita di radio terus
saja menceritakan kasus Yuyun. Seolah tidak pernah berhenti, orang tua kerap
protes kepada penegakan hukum yang katanya tidak adil. Pemberitaan tidak
kunjung usai, berita-berita kematian wanita muda menjadi bahan perbincangan
hangat. Kemudian secara mendadak berita dari radio berpindah pada kasus
pencurian budaya oleh negara tetangga. Tidak ada tanggapan yang menarik,
kecuali suara teriakan “Dasar maling.....!” Setelah itu suasana kembali tenang.
Mereka sadar, maling sebenarnya adalah ego bercampur nafsu yang beranak pinak
dalam diri manusia.
BABAK 1
Lampu menyala, latar
panggung berada di pinggiran sungai Batanghari. Tidak ada rumah-rumah,
pepohonan ataupun tanda-tanda kehidupan. Semuanya tampak begitu abstrak,
gersang dan kering. Di tengah panggung ada sebuah meja batu kuno. Beberapa batu
besar juga terdampar di sana. Belakang panggung tertutup dengan kain putih yang
panjang. Ada bayang-bayang yang samar di sana. Panggung hanya mendapat cahaya dari
obor dan lighting yang samar untuk menambah kesan mistis. Masuklah tiga orang
misterius sambil memukul Gendang Melayu Jambi. Pakaiannya seperti manusia purba,
rambutnya berantakan, penyakit cacar di sekujur badan. Memukul gendang sambil membaca
mantra pengusir roh jahat dengan sangat lantang.
Kadam
: (Duduk di sebelah meja, menaburkan wewangian bunga, menyan,
daun kering dan fokus membaca mantra. Pukulan gendangnya hanya memakai dua
bunyi ‘Dung dan Tak’ dengan pola ritme joget ‘Dung-Tak-Dung-Dung-Tak’ secara
berulang)
Tujuh
bunga rupa/ Sebongkah duri dalam hati/ Hilang tak berduka, mati tak berarti/ Dipijak
puncak gunung/ Di bawah langit mendung/ Di tengah sepi meraung/ Yo....
Iyo...... Yo.... Iyo....../ Tak ado jiwa yang abadi/ Semuo yang bernyawo pasti
mati/ Yo... Iyo.... Yo..... Iyo....../ Puuaaahhhh......... Puuaahhhhhhh......
(Merenung sambil terpejam dengan
khidmat)
Kulub:
Suara apa tu?
Bujang:
Suara angin!
Kulup:
Kayak suara teriakan.
Bujang:
Siapa yang teriak di tempat terkutuk ini?
Kulup:
Kayaknya cewek. Apa kau dengar? Cewek
tu teriak keras nian. Kayak lagi dikejar-kejar. Tapi dak mungkin di tempat ni
ada orang lain! Kau dengar dak?
Bujang:
Aku cuma dengar desahannya. Merdu
niannn..... Dak tahan aku dibuatnya. Hiiii..... Aku bisa bayangi mukanya!
Kulup:
Desahan siapa? Muka siapa? Cewek tu!
Bujang:
Iyo, dibawa angin. Teriakannya kayak
mimpi di siang bolong. Sudah lama aku tidak melihat cewek-cewek cantik dan
seksi. Bisakah kau juga merasakannya?
Kulup:
Merasakan apa?
Bujang:
Alam ni memanggil! Bukan cuma suara cewek
tu. Bercampur dengan teriakan alam yang lama dak aku dengar. Suara-suara aneh tu
selalu mengganggu sepanjang hari.
Kadam:
(Selesai menyanyikan mantra)
Sssttttt! Alam sudah mengutuk kita. Iya,
alam sudah menumpahkan kekesalan dalam diri manusia. Coba kau lihat sekitar sini!
Sepi..... dak ada siapapun, lihat kulit kalian! Penuh bercak merah. Gendang ini
(Mengelus permukaan Gendang Melayu Jambi) akan memanggil satu-satunya manusia
yang masih hidup dan bertahan. Seorang cewek cantik dan seksi. Kalau dia
bernyanyi, mengikuti alunan dentuman gendang. Suara desahannya akan menggoda
semua cowok. Coba kalian bayangkan!
Bujang:
Aku lagi membayangkannya. Ada yang
menarik dengan suara itu.
Kadam:
Bagus...! Desahannya kayak suara yang
sering kita dengar di Pucuk. Waktu alam belum mengutuk. Sensasinya luar biasa,
hawa dingin menyengat tubuh yang telanjang. Apa kalian tahu kenapa alam
mengutuk kita?
Kulub:
Dak tahu.
Kadam:
Karena kita terlalu sering bertelanjang
di tengah malam. Waktu remang-remang di sudut Kota. Dak malu sama alam yang jeli
memantau. Gendang ini adalah saksinya. Dentumannya seirama dengan detak jantung
dan aliran darah yang selalu menggelora waktu malam tiba.
Kulub:
Tapi.... Ini cuma gendang biasa!
Gendang yang bahkan dak bisa bicara, bergerakpun juga dak bisa apalagi mengurus
dirinya. Gendang yang terbuang, tidak lagi dianggap oleh kenyataan.
Kadam:
Sstttt.....! Inilah gendang yang
terluka. Gendang yang selalu dilecehkan, dipegang, diremas, dielus tanpa pernah
diberi imbalan. Mulanya bersuara merdu, kini dentumannya tidak se-eksotis dulu.
Kulub:
Kenapa alam tidak memusnahkan gendang
ini? Keberadaannya cuma menjadi benalu. Menyusahkan saja! Tidak memberi
petunjuk, suaranya bahkan tidak merdu.
Kadam:
Perlahan! Gendang ini akan menghilang
dengan sendirinya, jika tugasnya selesai.
Bujang:
Tugas apa?
Kadam:
(Setengah berbisik)
Mencari seorang cewek bersuara merdu
dan desahannya menggoda.
Bujang:
Ada apa dengan cewek tu?
Kadam:
Dialah cewek yang selalu kita dengar di
Pucuk saat itu. Cewek yang tidak pernah absen melayani tamu-tamunya. Dialah
penyebab dari semua kutukan ini!
Bujang:
Jika kita berhasil menemukannya, apakah
semuanya berakhir?
Kadam:
Ya, cewek tu juga yang bisa
mengeluarkan kita dari kutukan ini. Sehingga keramaian kota yang selalu kita
rasakan perlahan kembali.
Kulub:
Bagaimana caranya?
Kadam:
Kita harus mendengar desahannya sekali
lagi!
Kulub:
Ke... Kenapa begitu? Bukankah tadi kau
bilang, semua kutukan ini karena desahan cewek.
Kadam:
Sebab alam sudah tercandu oleh
desahan-desahan cewek. Otaknya sudah dicuci, sudah dicekoki oleh pikiran yang
sesat.
Bujang:
Aku kasihan dengan gendang ni! Kenapa
harus dikaitkan dengan semua kutukan? Usianya sudah tua, sudah layak dijadikan
fosil. Dimasukkan ke museum, tidak layak lagi dipakai.
Kadam:
Gendang ini sebagai simbol sepi!
Orang-orang tidak lagi memukulnya. Mereka pergi setelah menumpahkan nafsu.
Lihat! Tubuhnya yang dulu kokoh, kini rapuh. Warnanya yang dulu cerah, kini
pudar. Suaranya yang dulu mantap, kini meratap. Gendang ini sudah terlalu tua
untuk dimainkan. Sudah waktunya untuk mengabdikan diri dalam semua kutukan ini.
Bujang:
Katanya gendang ini tanda kekayaan,
tanda persatuan, tanda keunikan dan tanda kebesaran. Maka, tidak layak dijadikan
alat dalam perkara yang rumit seperti ini.
Kadam:
Memang! Tapi itu dulu. Waktu usianya
masih muda dan orang-orang masih bermain di dekatnya. Tapi pada suatu hari,
ketika zaman sudah berubah. Orang-orang enggan mendekat, bahkan menyentuh.
Gendang ini teronggok sendirian mencari kasih sayang. Tugas kitalah untuk
mempersatukan gendang ini dengan cewek itu.
Kulub:
Kenapa harus kita yang berada di sini? Melewati
semua kutukan. Kenapa bukan orang lain?
Kadam
Alam mengutus kita, sebab hanya kita
yang peduli dengan semua persoalan yang terjadi. Kita harus bangga, menjadi
utusan untuk perbaikan negeri. Menjadi orang terpilih, dari jutaan orang.
Bujang:
Suara apa tu? Berisik sekali!
Kulub:
Suara angin!
Bujang:
Bukan, itu teriakan cewek! Apa kalian
mendengarnya?
Kadam:
Itulah teriakan cewek yang kita cari.
Ini sebuah tanda awal yang begitu cepat. Mari kita cari!
(Mereka pergi dari panggung sambil
membawa obor yang menjadi penerangan. Bersamaan dengan itu lighting perlahan mati. Panggung menjadi gelap. Musik perpaduan
Gendang Melayu Jambi dan alat musik tradisional lainnya berbunyi samar.
Musiknya absurd dan lebih ke suasana seram. Tiba-tiba seorang wanita masuk ke
atas panggung sambil membawa obor. Langkahnya terseret, penuh luka di sekujur
badan. Pakaiannya koyak-koyak seperti habis diperkosa. Wajahnya pilu, sambil
menangis tersedu dia melangkah)
Yuyun:
Dimana aku? Kalian tahu ini tempat apa?
(Bertanya pada penonton) Begitu menyeramkan, sangat mencekam. Aku baru saja
bertemu makhluk itu! Ya, makhluk yang sangat menyeramkan. Manusia jadi-jadian
yang memaksaku melayaninya. Aku sangat takut, tubuhku ternodai. Aku ingin pergi
dari sini secepatnya! Aku ingin kembali ke dunia nyata. Tempatku menikmati
hidup di hamparan malam yang gelap.
(Tiba-tiba lampu di balik layar putih
menyala. Ada bayangan seorang pria yang membawa tombak. Bentuknya seperti salah
satu dari tiga pemuda: Kadam, Kulub, dan Bujang. Bayangan itu ialah pemuda
dengan pakaian seperti zaman prasejarah. Rambut acak-acakan, di kalungnya
tergantung tengkorak hewan, bajunya semi tertutup. Pernak-pernik yang dia pakai
sangat kuno)
Yuyun:
(Ketakutan)
Siapa kau? (Bayangan itu berdiri kaku) Makhluk
jahat, enyah dari hadapanku! Jangan mendekat! Hei.... Aku bilang jangan
mendekat! Tubuhku sudah habis, tidak lagi nikmat kau santap. Aku sudah... A...
Aku.... Sudah habis dihisap. Tidak ada lagi yang tersisa dari tubuhku ini!
Selain cacar disekujur tubuh. Dunia telah menghisap segalanya. (mundur beberapa
langkah, lalu terduduk)
Yuyun:
(Menangis terisak)
Aku sekarang hanya wanita hina. Tidak
ada lagi yang mau mendekatiku, setelah mereka mendapatkan segalanya. Tidak ada
lagi yang tersisa, hanya penyesalan. Ya... Hanya penyesalan. (Tiba-tiba Yuyun bangkit,
mencengkram erat obor di tangannya)
Yuyun:
Tidak usah kau ganggu aku lagi! Aku
ingin sendiri, tidak perlu kau kejar. (Bayangan itu perlahan mendekati wanita)
Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat! (mengarahkan obor ke bayangan
misterius di balik kain putih) Aku tidak mau kau mangsa. Sudah cukup! Banyak
yang telah kau rampas dari hidupku. Hei..... Berhenti! Aku bilang, berhenti!
Aku tidak mau kau ganggu. Enyah! Enyahlah kau! (Yuyun berlari meninggalkan
bayangan sambil membawa obor. Bersamaan dengan itu lighting perlahan redup.)
Lampu-lampu senter
menembak ke setiap sudut dengan bergantian. Ada pula yang memainkannya di
belakang layar putih. Tampak bayangan dua orang sibuk berlarian. Mereka
mondar-mandir membawa senter. Dua pria itu bernama Mr. X dan Mr. Z. Mereka menggunakan
kemeja dengan warna terang, celana slebor bawah, serta menggunakan
pernak-pernik yang lebih modern. Mr. X berkulit putih, rambutnya pendek,
tingginya 190 cm. Mr. Z juga berkulit putih tapi rambutnya panjang poninya
hampir menutupi mata sipitnya, tingginya 170 cm.
Dua orang itu
merupakan para petualang yang mencari benda-benda tradisi dan budaya yang
hampir punah. Mereka hanya senang mengoleksi daripada melestarikan. Semakin
punah maka mereka semakin senang. Sebab mereka mematok harga yang mahal hanya
untuk sekali lihat benda itu. Sudah banyak peninggalan budaya yang hampir punah
mereka curi. Sekarang mereka mendengar ada salah satu gendang ajaib yang dibawa
oleh bangsa prasejarah. Mereka berdua bertualang untuk mencari gendang
tersebut.
Dengan diiringi
musik-musik menegangkan. Wajah semangat mereka tidak pernah berubah. Mereka
masuk panggung, seolah-olah menjadi petualang handal. Penampilan yang enerjik,
mereka dengan ajaib tidak terkena penyakit kulit seperti orang-orang lainnya.
Mereka berbicara dengan logat asing, tidak seperti warga biasanya.
Mr.
X: Sepertinya mengarah ke sini! Aku tadi melihatnya.
Mr.
Z: Melihat siapa?
Mr.
X: Seorang wanita yang tiba-tiba saja berlari. Ya.... Aku yakin
dia berada di sekitar sini.
Mr.
Z: Stupid....!
Kita bukan mencari wanita, yang kita cari itu gendang ajaib juga sakti. Sekali
pukul bisa bikin pinggul bergoyang. Sekali bergoyang tahannya bisa sampai dua
puluh empat jam. Siapa yang mampu goyang selama itu?
Mr.
X: Aku prihatin dengan wanita itu. Sepintas wajahnya cantik
seperti bidadari, rambutnya panjang terurai. Manisnya tidak bisa dijelaskan
secara rinci, aroma tubuhnya begitu menyengat. Aku yakin dia butuh bantuan
kita!
Mr.
Z: No,
aku tidak tertarik (Duduk di meja batu mengeluarkan gulungan kertas tebal dari saku
baju) Kita lebih baik fokus mencari apa yang sejak lama kita cari. (Mendekatkan
kertas itu ke wajah Mr.X) Inilah catatan leluhur yang sejak lama aku simpan.
Mr.
X: Leluhur? you tidak
pernah mengatakan padaku, jika menyimpan surat wasiat itu. Atau aku yang kurang
update?
Mr.
Z: Aku sengaja merahasiakannya.
Mr.
X: Kenapa? You tidak
percaya padaku.
Mr.
Z: Bukan
Mr.
X: Lalu?
Mr.
Z: Entahlah... Akupun juga tidak tahu! (berpikir sejenak)
Seingatku, wasiat ini sangat berbahaya. Di dalamnya berisi mantra-mantra ajaib.
Mr.
X: Mantra apa? Bukankah kita mencari gendang itu hanya untuk
pajangan belaka.
Mr.
Z: Ya... Kau benar. Aku akan membacakan sedikit pesan dari
leluhur. (Membuka gulungan dan membaca dengan lantang) Surat perintah leluhur
nomor 10/Penipuan/Perampasan/Pemusnahan.
Perihal: Warisan Budaya Terlupa
Untuk para keturunanku yang lagi
berjuang. Saya leluhur sekaligus petinggi keturunan. Menghimbau agar terus
mengambil secara paksa warisan budaya yang katanya tidak sengaja terdampar di Negeri
ini, karena tidak seorangpun yang peduli lagi. Dirampas keturunan pribumi lebih
kecil dosanya daripada dirampas pihak asing asli, katanya. Lalu ketika kalian
berpura-pura menjadi penyelamat, barulah digunakan untuk kepentingan pribadi.
Pasang tarif mahal untuk sekali pandang, bila perlu hitungannya permenit.
Kumpulkan sebanyak-banyaknya, ikuti prinsip ‘sedikit-sedikit lama-lama menjadi
bukit’. Semakin banyak warisan budaya yang kalian rampas, maka semakin penuh
isi gudang di rumah. Akan ada banyak warga yang berbondong hanya untuk sekedar
melihat sesaat. Kalian akan mendapatkan banyak uang. Jangan lupa transfer sedikit ke rekening saya. Saya
cuma minta saham sedikit saja, di kuburan susah cari makan. Maklum pensiunan
maling, sudah tua tidak sanggup lagi jadi maling.
Mr.
X: Tunggu! Lalu apa kaitannya dengan mantra yang you bilang tadi? Itu hanya pesan
penyemangat, agar kita terus konsisten menjadi maling.
Mr.
Z: Aku belum selesai membacanya! Surat ini berlembar-lembar, mantra
itu ada di bagian tengah. Aku cari sebentar! (Mencari lembar mantra) Nah... Ini
dia.
Mr.
X: Apa kegunaannya?
Mr.
Z: Entahlah....
Aku juga tidak mengerti.
Mr.
X: Masa tidak ada penjelasannya meskipun singkat.
Mr.
Z: (Membolak-balik kertas)
Nah..... Ini ada penjelasannya. Katanya
mantra ini digunakan untuk menggandakan uang, emas, perhiasan dan segala jenis
kekayaan.
Mr.
X: Wih... Cuma dengan gendang tua itu, kita bisa kaya raya.
Berdasarkan kajian, teori dan definisi di dunia permalingan. Itu hanyalah
fiktif belaka, mana mungkin! Kalau mau kaya, kita harus tetap seperti sekarang.
Berpura-pura peduli, sok ngerti tentang budaya, menjadi peneliti palsu. Kalau
ada kesempatan, langsung sikat! Seperti prinsip dari leluhurmu itu.
Mr.
Z: Tapi... Mantra ini juga dari leluhurku. Artinya mantra ini
mujarap, sudah teruji kelayakannya oleh pihak berwenang, katanya. Ini.... di
dalam lembar berikutnya tertulis ‘Ada seorang maestro gendang yang berkeliaran
dan seorang wanita bersuara merdu. Bila mereka bersatu, maka mantra itu harus
dinyanyikan oleh wanita diiringi dentuman gendang oleh maestro. Bila itu
berhasil, maka kekayaan pemersatunya bisa berlipat ganda’.
Mr.
X: Wanita? Ya.... Itulah maksudnya. Wanita yang aku lihat tadi,
adalah wanita yang dimaksud oleh leluhurmu. Ternyata leluhurmu dulu juga pria
genit, tau saja jenis wanita yang bening. Dia tidak salah menilai, wanita yang
barusan saja aku lihat. Dialah pemain kuncinya!
Mr.
Z: Huss...! You
jangan sembarangan menuduh orang. Ingat! Mulutmu harimaumu, kalau salah tuduh
bisa bahaya. Ada tiga pantangan yang harus kita jauhi, salah satunya soal
wanita. Kau saja tadi melihat bagaimana kondisinya, dia wanita sekarat. Tidak
punya apa-apa! Jadi tidak mungkin dia punya suara semerdu yang leluhurku
katakan. Palingan dia cuma bisa menangis.
Mr.
X: Persis seperti pendapatmu! Kaupun juga berbicara dengan
berandai-andai. Opini yang you
bangun, belum seratus persen benar. Bagaimana bila wanita itu benar yang
dimaksud oleh leluhurmu? Tentu kita sudah salah dan melepaskan kesempatan itu.
Mr.
Z: Bagaimana kalau salah? Kita sudah menghabiskan waktu dengan
sia-sia. Semakin lama pula kita berada di Negeri yang terkutuk ini. Negeri yang
para penduduknya saja tidak bisa menghargai kekayaan yang mereka punya.
Mr.
X: Itu bukan masalah yang besar. Kita cari keduanya secara
berbarengan. Fokus kita tetap mencari gendang ajaib itu. Tapi kita harus lihai
membaca tanda-tanda keberadaan wanita misterius itu.
Mr.
Z: (Lama berpikir, lalu menggulung surat wasiat dan
memasukkanya kembali ke dalam saku baju)
Oke...
Kita lakukan seperti yang you
katakan. Seumpama semua keyakinanmu keliru. Kau harus minta maaf kepada
leluhurku!
Mr.
X: Itu hal yang mudah! You
tenang saja. Kita akan segera mendapatkan semua yang kita inginkan. (Mr. X dan
Mr. Z pergi dari atas panggung dengan pandangan tajam. Mereka melihat setiap
sudut. Kalau-kalau yang mereka cari, sedang bersembunyi di dekat mereka)
Lampu menyorot tepat
ke panggung sentral. Mengarah ke meja batu bundar. Yuyun duduk di atas meja
memeluk kaki, wajahnya ketakutan dia masih menangis. Masih dihantui oleh
suara-suara aneh yang tiba-tiba terdengar. Lighting
menyoroti sekujur tubuhnya. Sementara di sisi kanan, dari belakang batu dua
orang sedang diskusi.
Kulub:
(Setengah berbisik)
Suara seksi itu ternyata darinya.
Bujang:
Desahannya bikin mabuk kepayang.
Tangisannya begitu merdu, kalau dia bernyanyi pasti aku sudah ngacir.......
Kulub:
Uhh... Meskipun pakaiannya kumal, tapi badannya
itu memancarkan aura yang berbeda. Ada sesuatu yang menggodaku, pancaran
wajahnya membuat hidup tak tenang. Jarang aku menemukan cewek seperti itu.
Bujang:
Tapi...... Bukannya kau memang dak
pernah dekat sama cewek? Kalaupun ada pasti cuma bertahan dua hari. Setelah itu
kau ditinggal tanpa kabar. (Tersenyum menyindir)
Kulub:
Palak kau.... kalaupun wajahku
pas-pasan, tapi aku ini mantan playboy kelas
menengah. Suka main cewek, Ya.... kalaupun belum bisa naik ke kelas atas. Susahnya
minta ampun! Harus urus surat menyurat, bukti rekomendasi dari petinggi, belum
lagi biaya ketok palu. Hiii.... Kalaupun cuma playboy kelas menengah, yang penting aku bangga.
Bujang:
Elehhh.... playboy gadungan! Sukanya tipu menipu, kayak orang besar
kebanyakan. Pamer harta dari hasil penipuan, sama kayak kau! Menipu cewek
dengan rayuan gombal.
(Tiba-tiba suara tangisan dari Yuyun
bertambah besar, lebih seperti menjerit. Bujang dan Kulub kaget, bebatuan
tempat mereka sembunyi mendadak runtuh. Yuyun terkejut melihat ada dua orang
mengintai. Dia langsung memasang posisi siaga, bersiap untuk kabur kalau-kalau
orang itu berbuat jahat)
Yuyun:
(Kaget lalu siaga)
Siapa kalian? Kenapa mengintip seperti
itu! Penjahat ya?
Kulub:
Idakk... Idak... Kami orang baik! Kata
ibu idak boleh berbuat jahat, dosa.
Yuyun:
Bohong! Wajah kalian kayak penjahat.
Jangan macam-macam!
Bujang:
Idak macam-macam, kok. Cuma satu macam
saja.
Yuyun:
Tuh... Kan, dasar penjahat! Jangan
mendekat!
Kulub:
(Berbisik ke Bujang)
Galak nian.... Kayaknya cewek ni yang
kita ceritakan kemarin.
Bujang:
Yang mano?
Kulub:
Hiii... Itu ha, waktu lagi baco mantra.
Wanita ni biang dari semua kutukan!
Yuyun:
Aku bisa mendengarnya. Jangan bikin aku
marah! Kalian kira aku ini wanita lemah.... Kalau berani ayo maju! Maju!
Kulub:
I... Idak, jangan! Kami idak berani.
Kami cuma penasaran, kenapa kau menangis?
Yuyun:
Bohong! Semua laki-laki itu hidung
belang. Aku sudah banyak menemui laki-laki seperti kalian. Otak jorok, dasar
tukang ngintip!
Bujang:
Aku idak, kalau dia mungkin saja.
Soalnya tadi dia ngaku pernah jadi playboy.
Aku bersih! Orang baik.
Kulub:
Ehh... Kok gitu, kita kan kawan.
Yuyun:
Kalian berdua sama saja! Laki-laki kurang
ajar. Berani kalian? Ayo... Maju!
Kulub:
Yasudah... Ayo, kita sikat!
(Ketika Kulub dan Bujang mengejar, Yuyun
tiba-tiba saja berlari sambil menjerit ketakutan. Teriakkannya sangat keras,
seperti ketemu hantu. Mereka semua keluar dari panggung. Lighting mati, kondisi panggung gelap)
BABAK 2
Ketika lighting kembali menyala Mr. X dan Mr. Z
sedang sibuk mencari tanda-tanda seperti detektif. Mereka memeriksa secara
rinci setiap jejak yang ada di bebatuan. Diiringi perpaduan musik yang
mendukung. Mereka berubah serius, seperti peneliti yang ahli.
Kulub dan Bujang
muncul dari belakang panggung sambil berlari. Mereka sedang mengejar Yuyun.
Wajah mereka tampak kebingungan, sesekali ngos-ngosan. Lalu beristirahat
sejenak sambil menegur Mr. X dan Mr. Z yang sedang sibuk mencari jejak.
Kulub:
Permisi....! Permisi..... Mister!
(Tidak ada jawaban)
Bujang:
Mister atau mistar?
Kulub:
Mister sama mistar itu beda.
Bujang:
Apa bedanya?
Kulub:
Heh.... Kau ini tidak pernah belajar
bahasa ya dulu. Mister sama mistar itu beda di huruf ‘E’ dan huruf ‘A’.
Bujang:
Ohh... gitu, aku baru tahu! Kayaknya mereka
sedang sibuk! Sebaiknya kita jangan ganggu.
Kulub:
Mungkin mereka lihat cewek yang kita
cari. Permisi...! (Memanggil Mr. X dan Mr. Z)
(Mr. X dan Mr. Z kaget, lalu
menghampiri Kulub dan Bujang dengan nada setengah marah tapi tampak lucu karena
logat aneh mereka)
Mr.
Z:
Ada apa? You mau cari ribut ya!
Kulub:
Uluh... Uluh.... Abang ni marah-marah
bae, kayak cewek lagi datang bulan! (Cekikikan)
Mr.
Z:
Apa kau bilang? Berani, ya.....
Kulub:
Ehh... Idak bang, kami bukan mau cari
masalah tapi mencari cewek. Apa abang lihat?
Mr.
Z:
Cewek, bagaimana ciri-cirinya?
Kulub:
(Membayangkan wanita itu)
Rambutnya panjang, parasnya cantik,
tubuhnya montok, pakaiannya seksi, dan....... desahannya yahuttt......
Mr.
Z: (Mengajak Mr. X untuk diskusi lebih jauh dari mereka)
Apa wanita itu yang kau lihat kemarin?
Mr.
X:
Sepertinya iya! Seharusnyapun iya.
Tidak ada siapapun di sini, kecuali wanita itu seorang diri.
Mr.
Z:
Stupid....
Kalau tidak ada siapa-siapa, kenapa mereka ada di sini? (Menunjuk ke arah Kulub
dan Bujang yang perlahan mulai mencurigai mereka)
Mr.
X:
Mungkin..... mereka penduduk asli sini,
aahhh... Kita bisa minta bantuan. Kebetulan persediaan makanan kita menipis.
Mr.
Z: (Memukul kepala Mr. X)
Stupid....
Bagaimana kalau mereka orang jahat? Kalau mereka sebenarnya
begal? Bagaimana pula kalau mereka juga mencari gendang ajaib itu. Oh...
Atau......
Mr.
X:
Atau apa?
Mr.
Z:
Mungkinkah salah satu dari mereka
adalah maestro gendang yang selama ini kita cari. Kalaupun iya, dimana gendang
itu?
Mr.
X:
Kenapa tidak kita tanya saja.
Mr.
Z:
Stupid....
Mana maulah mereka ngaku, kita saja sebagai maling juga
tidak boleh ngaku. Itu sudah menjadi kode etik.
Mr.
X:
Tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu
mereka orang yang baik.
Mr.
Z:
Yasudah, you pergi ke sana! Tanyakan tentang gendang itu.
Mr.
X: (Mendekati Kulub dan Bujang bertanya dengan sopan)
Permisi....! Apakah di antara kalian
ada yang ahli bermain gendang?
Bujang:
Gendang apa?
Mr.
X:
Gendang ajaib yang selama ini kami
cari.
Bujang:
(Wajahnya menaruh curiga kepada Mr. X)
Tidak, kami bukan ahlinya! Ada apa
dengan gendang tu?
Mr.
X: (Gugup)
Ti.. Tidak ada, permisi! (Mr. X kembali
menghadap Mr. Z)
Mr.
Z:
Bagaimana? Apakah mereka mengaku?
Mr.
X:
Tidak, mereka tidak mau mengaku.
Sepertinya mereka memang tidak tahu apa-apa.
Mr.
Z: (Setengah marah)
Ahhh dasar stupid... Sini, biar aku saja yang bicara ke mereka. (Mendekati Kulub
dan Bujang) Sebaiknya kalian mengaku, siapa di antara kalian yang menyimpan
gendang ajaib itu?
Kulub:
Kami bukan pemain gendang, kami cuma
pria biasa yang tersesat di sini.
Mr.
Z:
Jangan bohong! Kami lagi mencari
gendang ajaib yang bisa melimpahkan emas. Nanti kita bagi rata, bagaimana?
Bujang:
Gendang apa? Tolong kasih tahu
ciri-cirinya secara lengkap!
Mr.
Z:
Pokoknya satu-satunya gendang yang
masih tersisa di tempat terkutuk ini. Kami pernah mendengarnya di sekitar sini.
Waktu itu juga terdengar suara mantra-mantra aneh.
Bujang:
Mungkin yang kau maksud itu, Gendang
Melayu Jambi.
Mr.
Z:
Nahh... iya, itu yang aku maksud!
Dimana gendangnya?
Bujang:
Kami dak punya! Gendang itu punya Kadam,
sekarang kami juga kehilangan dia.
Mr.
Z:
Bohong.... Cepat serahkan! Sebelum kami
berbuat kasar.
Bujang:
(Cemas)
Serius! Kami kehilangan Kadam dari
tadi, kami juga mencari cewek misterius yang berlari di sekitar sini.
Mr.
X:
Wanita itu milik kami! Kalian tidak
boleh menyentuhnya.
Kulub:
Enak saja, cewek itu satu-satunya jalan
kami untuk keluar dari Negeri terkutuk ini. Kalau kalian berani menghalangi,
maka kamipun juga tidak segan-segan bertindak kasar.
Mr.
X:
Siapa takut! Kalian sok kuat, dasar
lemah! Awas kalian ya.... Kalian akan terima akibatnya.
(Keadaan menjadi kacau, kedua belah
pihak tidak mau mengontrol emosi. Pertikaian tidak bisa terhindarkan. Suara
musik berubah menjadi mencekam, mereka bersiap untuk menyerang. Sebelum
pertumpahan darah terjadi, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita sangat
keras. Suara musik berubah menjadi suara reruntuhan dan kekacauan. Mereka semua
bingung, lampu di balik layar putih menyala. Tampak siluet seorang wanita yang
terikat dengan mulut disekap. Di sebelahnya tampak pula siluet seorang pria
seram membawa obor. Wanita ketakutan, teriakannya memekakkan telinga)
Mr.
Z:
Siapa itu?
Bujang:
Itu.... Cewek yang kami cari, dia dalam
bahaya. Kita harus menolongnya (Jeritan wanita terdengar lagi)
Mr.
Z:
Cepat... Cepatt... Kalian selamatkan
dia.
Bujang:
Enak be, manalah aku berani. Kalian be
yang selamatkan.
Mr.
Z:
Idak.... Aku juga idak berani.
(Jeritan wanita kembali terdengar
keras. Pria yang di sebelahnya mengarahkan obor ke wanita itu. Api menyala
besar, membakar tubuh wanita. Jeritannya berubah mencekam, dia kepanasan. Lighting menyala berkedip, Kondisi
panggung sangat kacau dan lampu di belakang layar tiba-tiba mati. Lighting kembali normal lalu menyorot ke
sisi siluet pria, tiba-tiba kain putih itu terbelah. Seorang pria keluar dari
balik layar putih. Kulub dan Bujang terkejut.)
Kulub:
(Terkejut setengah mati)
Ter... Ternyata itu kau, Kadam. Kenapa
kau lakukan perbuatan yang keji pada cewek itu? Kata kau cewek itu satu-satunya
jalan keluar kita dari Negeri terkutuk ini.
(Kadam dengan langkah sedikit terseret,
naik ke atas meja batu. Memukul Gendang Melayu Jambi yang dibawanya pelan-pelan
dengan pukulan Dung-Tak secara berulang beberapa kali)
Kadam:
Negeri ini sudah dikutuk. Orang-orang
tidak ada lagi yang peduli dengan kekayaan budayanya. Semua sudah terlupakan
oleh kemajuan teknologi canggih. Gendang ini merupakan saksi bisu dan wanita
itu adalah simbol kepedihan, dia menangis seorang diri. Orang-orang
meninggalkannya tanpa pernah peduli. Musik-musik daerah, lagu-lagu tradisi
terkalahkan oleh desahan-desahan dosa di setiap malam tiba. Rasa malu dalam
diri, terkalahkan oleh nafsu yang tak terkendali. Kita melupakan adat istiadat,
budaya-budaya, serta norma yang berlaku di tempat kelahiran kita. Negeri ini
sudah terkutuk oleh nafsu bejat! Kemudian ketika gendang ini menuntut haknya,
menuntut untuk dilestarikan. Orang-orang membiarkannya punah. Ketika wanita itu
menuntut keadilan, hanya kebohongan yang dia dapat. Itulah sebabnya, kutukan
ini muncul di Negeri kita. Sekedar mengingatkan bahwa ada tradisi yang
tertindas nafsu. Ada budaya yang terjerat ego. Ada norma yang tertimpa
ketidakpedulian. Wanita itu sengaja aku musnahkan. Agar kita sama-sama
terperangkap di Negeri terkutuk, bersama sepi. Itu sudah cukup adil!
(Lampu padam! Lagu gugur terdengar
lantang, sebagai rasa hormat untuk para pejuang kebudayaan yang tidak bosan
melestarikan budaya sampai akhir hayat)


No comments:
Post a Comment