Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Saturday, September 8, 2018

“Dung-Tak”






“Dung-Tak”
Nafri Dwi Boy










 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"



“Dung-Tak”

OPENING
Berita di radio terus saja menceritakan kasus Yuyun. Seolah tidak pernah berhenti, orang tua kerap protes kepada penegakan hukum yang katanya tidak adil. Pemberitaan tidak kunjung usai, berita-berita kematian wanita muda menjadi bahan perbincangan hangat. Kemudian secara mendadak berita dari radio berpindah pada kasus pencurian budaya oleh negara tetangga. Tidak ada tanggapan yang menarik, kecuali suara teriakan “Dasar maling.....!” Setelah itu suasana kembali tenang. Mereka sadar, maling sebenarnya adalah ego bercampur nafsu yang beranak pinak dalam diri manusia.

BABAK 1
Lampu menyala, latar panggung berada di pinggiran sungai Batanghari. Tidak ada rumah-rumah, pepohonan ataupun tanda-tanda kehidupan. Semuanya tampak begitu abstrak, gersang dan kering. Di tengah panggung ada sebuah meja batu kuno. Beberapa batu besar juga terdampar di sana. Belakang panggung tertutup dengan kain putih yang panjang. Ada bayang-bayang yang samar di sana. Panggung hanya mendapat cahaya dari obor dan lighting yang samar untuk menambah kesan mistis. Masuklah tiga orang misterius sambil memukul Gendang Melayu Jambi. Pakaiannya seperti manusia purba, rambutnya berantakan, penyakit cacar di sekujur badan. Memukul gendang sambil membaca mantra pengusir roh jahat dengan sangat lantang.

Kadam : (Duduk di sebelah meja, menaburkan wewangian bunga, menyan, daun kering dan fokus membaca mantra. Pukulan gendangnya hanya memakai dua bunyi ‘Dung dan Tak’ dengan pola ritme joget ‘Dung-Tak-Dung-Dung-Tak’ secara berulang)
Tujuh bunga rupa/ Sebongkah duri dalam hati/ Hilang tak berduka, mati tak berarti/ Dipijak puncak gunung/ Di bawah langit mendung/ Di tengah sepi meraung/ Yo.... Iyo...... Yo.... Iyo....../ Tak ado jiwa yang abadi/ Semuo yang bernyawo pasti mati/ Yo... Iyo.... Yo..... Iyo....../ Puuaaahhhh......... Puuaahhhhhhh......
(Merenung sambil terpejam dengan khidmat)
Kulub:
Suara apa tu?
Bujang:
Suara angin!
Kulup:
Kayak suara teriakan.
Bujang:
Siapa yang teriak di tempat terkutuk ini?
Kulup:
Kayaknya cewek. Apa kau dengar? Cewek tu teriak keras nian. Kayak lagi dikejar-kejar. Tapi dak mungkin di tempat ni ada orang lain! Kau dengar dak?
Bujang:
Aku cuma dengar desahannya. Merdu niannn..... Dak tahan aku dibuatnya. Hiiii..... Aku bisa bayangi mukanya!
Kulup:
Desahan siapa? Muka siapa? Cewek tu!
Bujang:
Iyo, dibawa angin. Teriakannya kayak mimpi di siang bolong. Sudah lama aku tidak melihat cewek-cewek cantik dan seksi. Bisakah kau juga merasakannya?
Kulup:
Merasakan apa?
Bujang:
Alam ni memanggil! Bukan cuma suara cewek tu. Bercampur dengan teriakan alam yang lama dak aku dengar. Suara-suara aneh tu selalu mengganggu sepanjang hari.
Kadam: (Selesai menyanyikan mantra)
Sssttttt! Alam sudah mengutuk kita. Iya, alam sudah menumpahkan kekesalan dalam diri manusia. Coba kau lihat sekitar sini! Sepi..... dak ada siapapun, lihat kulit kalian! Penuh bercak merah. Gendang ini (Mengelus permukaan Gendang Melayu Jambi) akan memanggil satu-satunya manusia yang masih hidup dan bertahan. Seorang cewek cantik dan seksi. Kalau dia bernyanyi, mengikuti alunan dentuman gendang. Suara desahannya akan menggoda semua cowok. Coba kalian bayangkan!
Bujang:
Aku lagi membayangkannya. Ada yang menarik dengan suara itu.
Kadam:
Bagus...! Desahannya kayak suara yang sering kita dengar di Pucuk. Waktu alam belum mengutuk. Sensasinya luar biasa, hawa dingin menyengat tubuh yang telanjang. Apa kalian tahu kenapa alam mengutuk kita?
Kulub:
Dak tahu.
Kadam:
Karena kita terlalu sering bertelanjang di tengah malam. Waktu remang-remang di sudut Kota. Dak malu sama alam yang jeli memantau. Gendang ini adalah saksinya. Dentumannya seirama dengan detak jantung dan aliran darah yang selalu menggelora waktu malam tiba.
Kulub:
Tapi.... Ini cuma gendang biasa! Gendang yang bahkan dak bisa bicara, bergerakpun juga dak bisa apalagi mengurus dirinya. Gendang yang terbuang, tidak lagi dianggap oleh kenyataan.
Kadam:
Sstttt.....! Inilah gendang yang terluka. Gendang yang selalu dilecehkan, dipegang, diremas, dielus tanpa pernah diberi imbalan. Mulanya bersuara merdu, kini dentumannya tidak se-eksotis dulu.
Kulub:
Kenapa alam tidak memusnahkan gendang ini? Keberadaannya cuma menjadi benalu. Menyusahkan saja! Tidak memberi petunjuk, suaranya bahkan tidak merdu.
Kadam:
Perlahan! Gendang ini akan menghilang dengan sendirinya, jika tugasnya selesai.
Bujang:
Tugas apa?
Kadam: (Setengah berbisik)
Mencari seorang cewek bersuara merdu dan desahannya menggoda.
Bujang:
Ada apa dengan cewek tu?
Kadam:
Dialah cewek yang selalu kita dengar di Pucuk saat itu. Cewek yang tidak pernah absen melayani tamu-tamunya. Dialah penyebab dari semua kutukan ini!
Bujang:
Jika kita berhasil menemukannya, apakah semuanya berakhir?
Kadam:
Ya, cewek tu juga yang bisa mengeluarkan kita dari kutukan ini. Sehingga keramaian kota yang selalu kita rasakan perlahan kembali.
Kulub:
Bagaimana caranya?
Kadam:
Kita harus mendengar desahannya sekali lagi!
Kulub:
Ke... Kenapa begitu? Bukankah tadi kau bilang, semua kutukan ini karena desahan cewek.
Kadam:
Sebab alam sudah tercandu oleh desahan-desahan cewek. Otaknya sudah dicuci, sudah dicekoki oleh pikiran yang sesat.
Bujang:
Aku kasihan dengan gendang ni! Kenapa harus dikaitkan dengan semua kutukan? Usianya sudah tua, sudah layak dijadikan fosil. Dimasukkan ke museum, tidak layak lagi dipakai.
Kadam:
Gendang ini sebagai simbol sepi! Orang-orang tidak lagi memukulnya. Mereka pergi setelah menumpahkan nafsu. Lihat! Tubuhnya yang dulu kokoh, kini rapuh. Warnanya yang dulu cerah, kini pudar. Suaranya yang dulu mantap, kini meratap. Gendang ini sudah terlalu tua untuk dimainkan. Sudah waktunya untuk mengabdikan diri dalam semua kutukan ini.
Bujang:
Katanya gendang ini tanda kekayaan, tanda persatuan, tanda keunikan dan tanda kebesaran. Maka, tidak layak dijadikan alat dalam perkara yang rumit seperti ini.
Kadam:
Memang! Tapi itu dulu. Waktu usianya masih muda dan orang-orang masih bermain di dekatnya. Tapi pada suatu hari, ketika zaman sudah berubah. Orang-orang enggan mendekat, bahkan menyentuh. Gendang ini teronggok sendirian mencari kasih sayang. Tugas kitalah untuk mempersatukan gendang ini dengan cewek itu.
Kulub:
Kenapa harus kita yang berada di sini? Melewati semua kutukan. Kenapa bukan orang lain?
Kadam
Alam mengutus kita, sebab hanya kita yang peduli dengan semua persoalan yang terjadi. Kita harus bangga, menjadi utusan untuk perbaikan negeri. Menjadi orang terpilih, dari jutaan orang.
Bujang:
Suara apa tu? Berisik sekali!
Kulub:
Suara angin!
Bujang:
Bukan, itu teriakan cewek! Apa kalian mendengarnya?
Kadam:
Itulah teriakan cewek yang kita cari. Ini sebuah tanda awal yang begitu cepat. Mari kita cari!

(Mereka pergi dari panggung sambil membawa obor yang menjadi penerangan. Bersamaan dengan itu lighting perlahan mati. Panggung menjadi gelap. Musik perpaduan Gendang Melayu Jambi dan alat musik tradisional lainnya berbunyi samar. Musiknya absurd dan lebih ke suasana seram. Tiba-tiba seorang wanita masuk ke atas panggung sambil membawa obor. Langkahnya terseret, penuh luka di sekujur badan. Pakaiannya koyak-koyak seperti habis diperkosa. Wajahnya pilu, sambil menangis tersedu dia melangkah)

Yuyun:
Dimana aku? Kalian tahu ini tempat apa? (Bertanya pada penonton) Begitu menyeramkan, sangat mencekam. Aku baru saja bertemu makhluk itu! Ya, makhluk yang sangat menyeramkan. Manusia jadi-jadian yang memaksaku melayaninya. Aku sangat takut, tubuhku ternodai. Aku ingin pergi dari sini secepatnya! Aku ingin kembali ke dunia nyata. Tempatku menikmati hidup di hamparan malam yang gelap.

(Tiba-tiba lampu di balik layar putih menyala. Ada bayangan seorang pria yang membawa tombak. Bentuknya seperti salah satu dari tiga pemuda: Kadam, Kulub, dan Bujang. Bayangan itu ialah pemuda dengan pakaian seperti zaman prasejarah. Rambut acak-acakan, di kalungnya tergantung tengkorak hewan, bajunya semi tertutup. Pernak-pernik yang dia pakai sangat kuno)

Yuyun: (Ketakutan)
Siapa kau? (Bayangan itu berdiri kaku) Makhluk jahat, enyah dari hadapanku! Jangan mendekat! Hei.... Aku bilang jangan mendekat! Tubuhku sudah habis, tidak lagi nikmat kau santap. Aku sudah... A... Aku.... Sudah habis dihisap. Tidak ada lagi yang tersisa dari tubuhku ini! Selain cacar disekujur tubuh. Dunia telah menghisap segalanya. (mundur beberapa langkah, lalu terduduk)
Yuyun: (Menangis terisak)
Aku sekarang hanya wanita hina. Tidak ada lagi yang mau mendekatiku, setelah mereka mendapatkan segalanya. Tidak ada lagi yang tersisa, hanya penyesalan. Ya... Hanya penyesalan. (Tiba-tiba Yuyun bangkit, mencengkram erat obor di tangannya)
Yuyun:
Tidak usah kau ganggu aku lagi! Aku ingin sendiri, tidak perlu kau kejar. (Bayangan itu perlahan mendekati wanita) Jangan mendekat! Aku bilang jangan mendekat! (mengarahkan obor ke bayangan misterius di balik kain putih) Aku tidak mau kau mangsa. Sudah cukup! Banyak yang telah kau rampas dari hidupku. Hei..... Berhenti! Aku bilang, berhenti! Aku tidak mau kau ganggu. Enyah! Enyahlah kau! (Yuyun berlari meninggalkan bayangan sambil membawa obor. Bersamaan dengan itu lighting perlahan redup.)

Lampu-lampu senter menembak ke setiap sudut dengan bergantian. Ada pula yang memainkannya di belakang layar putih. Tampak bayangan dua orang sibuk berlarian. Mereka mondar-mandir membawa senter. Dua pria itu bernama Mr. X dan Mr. Z. Mereka menggunakan kemeja dengan warna terang, celana slebor bawah, serta menggunakan pernak-pernik yang lebih modern. Mr. X berkulit putih, rambutnya pendek, tingginya 190 cm. Mr. Z juga berkulit putih tapi rambutnya panjang poninya hampir menutupi mata sipitnya, tingginya 170 cm.
Dua orang itu merupakan para petualang yang mencari benda-benda tradisi dan budaya yang hampir punah. Mereka hanya senang mengoleksi daripada melestarikan. Semakin punah maka mereka semakin senang. Sebab mereka mematok harga yang mahal hanya untuk sekali lihat benda itu. Sudah banyak peninggalan budaya yang hampir punah mereka curi. Sekarang mereka mendengar ada salah satu gendang ajaib yang dibawa oleh bangsa prasejarah. Mereka berdua bertualang untuk mencari gendang tersebut.
Dengan diiringi musik-musik menegangkan. Wajah semangat mereka tidak pernah berubah. Mereka masuk panggung, seolah-olah menjadi petualang handal. Penampilan yang enerjik, mereka dengan ajaib tidak terkena penyakit kulit seperti orang-orang lainnya. Mereka berbicara dengan logat asing, tidak seperti warga biasanya.

Mr. X: Sepertinya mengarah ke sini! Aku tadi melihatnya.
Mr. Z: Melihat siapa?
Mr. X: Seorang wanita yang tiba-tiba saja berlari. Ya.... Aku yakin dia berada di sekitar sini.
Mr. Z: Stupid....! Kita bukan mencari wanita, yang kita cari itu gendang ajaib juga sakti. Sekali pukul bisa bikin pinggul bergoyang. Sekali bergoyang tahannya bisa sampai dua puluh empat jam. Siapa yang mampu goyang selama itu?
Mr. X: Aku prihatin dengan wanita itu. Sepintas wajahnya cantik seperti bidadari, rambutnya panjang terurai. Manisnya tidak bisa dijelaskan secara rinci, aroma tubuhnya begitu menyengat. Aku yakin dia butuh bantuan kita!
Mr. Z: No, aku tidak tertarik (Duduk di meja batu mengeluarkan gulungan kertas tebal dari saku baju) Kita lebih baik fokus mencari apa yang sejak lama kita cari. (Mendekatkan kertas itu ke wajah Mr.X) Inilah catatan leluhur yang sejak lama aku simpan.
Mr. X: Leluhur? you tidak pernah mengatakan padaku, jika menyimpan surat wasiat itu. Atau aku yang kurang update?
Mr. Z: Aku sengaja merahasiakannya.
Mr. X: Kenapa? You tidak percaya padaku.
Mr. Z: Bukan
Mr. X: Lalu?
Mr. Z: Entahlah... Akupun juga tidak tahu! (berpikir sejenak) Seingatku, wasiat ini sangat berbahaya. Di dalamnya berisi mantra-mantra ajaib.
Mr. X: Mantra apa? Bukankah kita mencari gendang itu hanya untuk pajangan belaka.
Mr. Z: Ya... Kau benar. Aku akan membacakan sedikit pesan dari leluhur. (Membuka gulungan dan membaca dengan lantang) Surat perintah leluhur nomor 10/Penipuan/Perampasan/Pemusnahan.
Perihal: Warisan Budaya Terlupa
Untuk para keturunanku yang lagi berjuang. Saya leluhur sekaligus petinggi keturunan. Menghimbau agar terus mengambil secara paksa warisan budaya yang katanya tidak sengaja terdampar di Negeri ini, karena tidak seorangpun yang peduli lagi. Dirampas keturunan pribumi lebih kecil dosanya daripada dirampas pihak asing asli, katanya. Lalu ketika kalian berpura-pura menjadi penyelamat, barulah digunakan untuk kepentingan pribadi. Pasang tarif mahal untuk sekali pandang, bila perlu hitungannya permenit. Kumpulkan sebanyak-banyaknya, ikuti prinsip ‘sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit’. Semakin banyak warisan budaya yang kalian rampas, maka semakin penuh isi gudang di rumah. Akan ada banyak warga yang berbondong hanya untuk sekedar melihat sesaat. Kalian akan mendapatkan banyak uang. Jangan lupa transfer sedikit ke rekening saya. Saya cuma minta saham sedikit saja, di kuburan susah cari makan. Maklum pensiunan maling, sudah tua tidak sanggup lagi jadi maling.
Mr. X: Tunggu! Lalu apa kaitannya dengan mantra yang you bilang tadi? Itu hanya pesan penyemangat, agar kita terus konsisten menjadi maling.
Mr. Z: Aku belum selesai membacanya! Surat ini berlembar-lembar, mantra itu ada di bagian tengah. Aku cari sebentar! (Mencari lembar mantra) Nah... Ini dia.
Mr. X: Apa kegunaannya?
Mr. Z:  Entahlah.... Aku juga tidak mengerti.
Mr. X: Masa tidak ada penjelasannya meskipun singkat.
Mr. Z: (Membolak-balik kertas)
Nah..... Ini ada penjelasannya. Katanya mantra ini digunakan untuk menggandakan uang, emas, perhiasan dan segala jenis kekayaan.
Mr. X: Wih... Cuma dengan gendang tua itu, kita bisa kaya raya. Berdasarkan kajian, teori dan definisi di dunia permalingan. Itu hanyalah fiktif belaka, mana mungkin! Kalau mau kaya, kita harus tetap seperti sekarang. Berpura-pura peduli, sok ngerti tentang budaya, menjadi peneliti palsu. Kalau ada kesempatan, langsung sikat! Seperti prinsip dari leluhurmu itu.
Mr. Z: Tapi... Mantra ini juga dari leluhurku. Artinya mantra ini mujarap, sudah teruji kelayakannya oleh pihak berwenang, katanya. Ini.... di dalam lembar berikutnya tertulis ‘Ada seorang maestro gendang yang berkeliaran dan seorang wanita bersuara merdu. Bila mereka bersatu, maka mantra itu harus dinyanyikan oleh wanita diiringi dentuman gendang oleh maestro. Bila itu berhasil, maka kekayaan pemersatunya bisa berlipat ganda’.
Mr. X: Wanita? Ya.... Itulah maksudnya. Wanita yang aku lihat tadi, adalah wanita yang dimaksud oleh leluhurmu. Ternyata leluhurmu dulu juga pria genit, tau saja jenis wanita yang bening. Dia tidak salah menilai, wanita yang barusan saja aku lihat. Dialah pemain kuncinya!
Mr. Z: Huss...! You jangan sembarangan menuduh orang. Ingat! Mulutmu harimaumu, kalau salah tuduh bisa bahaya. Ada tiga pantangan yang harus kita jauhi, salah satunya soal wanita. Kau saja tadi melihat bagaimana kondisinya, dia wanita sekarat. Tidak punya apa-apa! Jadi tidak mungkin dia punya suara semerdu yang leluhurku katakan. Palingan dia cuma bisa menangis.
Mr. X: Persis seperti pendapatmu! Kaupun juga berbicara dengan berandai-andai. Opini yang you bangun, belum seratus persen benar. Bagaimana bila wanita itu benar yang dimaksud oleh leluhurmu? Tentu kita sudah salah dan melepaskan kesempatan itu.
Mr. Z: Bagaimana kalau salah? Kita sudah menghabiskan waktu dengan sia-sia. Semakin lama pula kita berada di Negeri yang terkutuk ini. Negeri yang para penduduknya saja tidak bisa menghargai kekayaan yang mereka punya.
Mr. X: Itu bukan masalah yang besar. Kita cari keduanya secara berbarengan. Fokus kita tetap mencari gendang ajaib itu. Tapi kita harus lihai membaca tanda-tanda keberadaan wanita misterius itu.
Mr. Z: (Lama berpikir, lalu menggulung surat wasiat dan memasukkanya kembali ke dalam saku baju)
Oke... Kita lakukan seperti yang you katakan. Seumpama semua keyakinanmu keliru. Kau harus minta maaf kepada leluhurku!
Mr. X: Itu hal yang mudah! You tenang saja. Kita akan segera mendapatkan semua yang kita inginkan. (Mr. X dan Mr. Z pergi dari atas panggung dengan pandangan tajam. Mereka melihat setiap sudut. Kalau-kalau yang mereka cari, sedang bersembunyi di dekat mereka)  

Lampu menyorot tepat ke panggung sentral. Mengarah ke meja batu bundar. Yuyun duduk di atas meja memeluk kaki, wajahnya ketakutan dia masih menangis. Masih dihantui oleh suara-suara aneh yang tiba-tiba terdengar. Lighting menyoroti sekujur tubuhnya. Sementara di sisi kanan, dari belakang batu dua orang sedang diskusi.

Kulub: (Setengah berbisik)
Suara seksi itu ternyata darinya.
Bujang:
Desahannya bikin mabuk kepayang. Tangisannya begitu merdu, kalau dia bernyanyi pasti aku sudah ngacir.......
Kulub:
Uhh... Meskipun pakaiannya kumal, tapi badannya itu memancarkan aura yang berbeda. Ada sesuatu yang menggodaku, pancaran wajahnya membuat hidup tak tenang. Jarang aku menemukan cewek seperti itu.
Bujang:
Tapi...... Bukannya kau memang dak pernah dekat sama cewek? Kalaupun ada pasti cuma bertahan dua hari. Setelah itu kau ditinggal tanpa kabar. (Tersenyum menyindir)
Kulub:
Palak kau.... kalaupun wajahku pas-pasan, tapi aku ini mantan playboy kelas menengah. Suka main cewek, Ya.... kalaupun belum bisa naik ke kelas atas. Susahnya minta ampun! Harus urus surat menyurat, bukti rekomendasi dari petinggi, belum lagi biaya ketok palu. Hiii.... Kalaupun cuma playboy kelas menengah, yang penting aku bangga.
Bujang:
Elehhh.... playboy gadungan! Sukanya tipu menipu, kayak orang besar kebanyakan. Pamer harta dari hasil penipuan, sama kayak kau! Menipu cewek dengan rayuan gombal.

(Tiba-tiba suara tangisan dari Yuyun bertambah besar, lebih seperti menjerit. Bujang dan Kulub kaget, bebatuan tempat mereka sembunyi mendadak runtuh. Yuyun terkejut melihat ada dua orang mengintai. Dia langsung memasang posisi siaga, bersiap untuk kabur kalau-kalau orang itu berbuat jahat)

Yuyun: (Kaget lalu siaga)
Siapa kalian? Kenapa mengintip seperti itu! Penjahat ya?
Kulub:
Idakk... Idak... Kami orang baik! Kata ibu idak boleh berbuat jahat, dosa.
Yuyun:
Bohong! Wajah kalian kayak penjahat. Jangan macam-macam!
Bujang:
Idak macam-macam, kok. Cuma satu macam saja.
Yuyun:
Tuh... Kan, dasar penjahat! Jangan mendekat!
Kulub: (Berbisik ke Bujang)
Galak nian.... Kayaknya cewek ni yang kita ceritakan kemarin.
Bujang:
Yang mano?
Kulub:
Hiii... Itu ha, waktu lagi baco mantra. Wanita ni biang dari semua kutukan!
Yuyun:
Aku bisa mendengarnya. Jangan bikin aku marah! Kalian kira aku ini wanita lemah.... Kalau berani ayo maju! Maju!
Kulub:
I... Idak, jangan! Kami idak berani. Kami cuma penasaran, kenapa kau menangis?
Yuyun:
Bohong! Semua laki-laki itu hidung belang. Aku sudah banyak menemui laki-laki seperti kalian. Otak jorok, dasar tukang ngintip!
Bujang:
Aku idak, kalau dia mungkin saja. Soalnya tadi dia ngaku pernah jadi playboy. Aku bersih! Orang baik.
Kulub:
Ehh... Kok gitu, kita kan kawan.
Yuyun:
Kalian berdua sama saja! Laki-laki kurang ajar. Berani kalian? Ayo... Maju!
Kulub:
Yasudah... Ayo, kita sikat!

(Ketika Kulub dan Bujang mengejar, Yuyun tiba-tiba saja berlari sambil menjerit ketakutan. Teriakkannya sangat keras, seperti ketemu hantu. Mereka semua keluar dari panggung. Lighting mati, kondisi panggung gelap)

BABAK 2
Ketika lighting kembali menyala Mr. X dan Mr. Z sedang sibuk mencari tanda-tanda seperti detektif. Mereka memeriksa secara rinci setiap jejak yang ada di bebatuan. Diiringi perpaduan musik yang mendukung. Mereka berubah serius, seperti peneliti yang ahli.
Kulub dan Bujang muncul dari belakang panggung sambil berlari. Mereka sedang mengejar Yuyun. Wajah mereka tampak kebingungan, sesekali ngos-ngosan. Lalu beristirahat sejenak sambil menegur Mr. X dan Mr. Z yang sedang sibuk mencari jejak.

Kulub:
Permisi....! Permisi..... Mister! (Tidak ada jawaban)
Bujang:
Mister atau mistar?
Kulub:
Mister sama mistar itu beda.
Bujang:
Apa bedanya?
Kulub:
Heh.... Kau ini tidak pernah belajar bahasa ya dulu. Mister sama mistar itu beda di huruf ‘E’ dan huruf ‘A’.
Bujang:
Ohh... gitu, aku baru tahu! Kayaknya mereka sedang sibuk! Sebaiknya kita jangan ganggu.
Kulub:
Mungkin mereka lihat cewek yang kita cari. Permisi...! (Memanggil Mr. X dan Mr. Z)

(Mr. X dan Mr. Z kaget, lalu menghampiri Kulub dan Bujang dengan nada setengah marah tapi tampak lucu karena logat aneh mereka)

Mr. Z:
Ada apa? You mau cari ribut ya!
Kulub:
Uluh... Uluh.... Abang ni marah-marah bae, kayak cewek lagi datang bulan! (Cekikikan)
Mr. Z:
Apa kau bilang? Berani, ya.....
Kulub:
Ehh... Idak bang, kami bukan mau cari masalah tapi mencari cewek. Apa abang lihat?
Mr. Z:
Cewek, bagaimana ciri-cirinya?
Kulub: (Membayangkan wanita itu)
Rambutnya panjang, parasnya cantik, tubuhnya montok, pakaiannya seksi, dan....... desahannya yahuttt......
Mr. Z: (Mengajak Mr. X untuk diskusi lebih jauh dari mereka)
Apa wanita itu yang kau lihat kemarin?
Mr. X:
Sepertinya iya! Seharusnyapun iya. Tidak ada siapapun di sini, kecuali wanita itu seorang diri.
Mr. Z:
Stupid.... Kalau tidak ada siapa-siapa, kenapa mereka ada di sini? (Menunjuk ke arah Kulub dan Bujang yang perlahan mulai mencurigai mereka)
Mr. X:
Mungkin..... mereka penduduk asli sini, aahhh... Kita bisa minta bantuan. Kebetulan persediaan makanan kita menipis.
Mr. Z: (Memukul kepala Mr. X)
Stupid.... Bagaimana kalau mereka orang jahat? Kalau mereka sebenarnya begal? Bagaimana pula kalau mereka juga mencari gendang ajaib itu. Oh... Atau......
Mr. X:
Atau apa?
Mr. Z:
Mungkinkah salah satu dari mereka adalah maestro gendang yang selama ini kita cari. Kalaupun iya, dimana gendang itu?
Mr. X:
Kenapa tidak kita tanya saja.
Mr. Z:
Stupid.... Mana maulah mereka ngaku, kita saja sebagai maling juga tidak boleh ngaku. Itu sudah menjadi kode etik.
Mr. X:
Tidak ada salahnya mencoba, siapa tahu mereka orang yang baik.
Mr. Z:
Yasudah, you pergi ke sana! Tanyakan tentang gendang itu.
Mr. X: (Mendekati Kulub dan Bujang bertanya dengan sopan)
Permisi....! Apakah di antara kalian ada yang ahli bermain gendang?
Bujang:
Gendang apa?
Mr. X:
Gendang ajaib yang selama ini kami cari.
Bujang: (Wajahnya menaruh curiga kepada Mr. X)
Tidak, kami bukan ahlinya! Ada apa dengan gendang tu?
Mr. X: (Gugup)
Ti.. Tidak ada, permisi! (Mr. X kembali menghadap Mr. Z)
Mr. Z:
Bagaimana? Apakah mereka mengaku?
Mr. X:
Tidak, mereka tidak mau mengaku. Sepertinya mereka memang tidak tahu apa-apa.
Mr. Z: (Setengah marah)
Ahhh dasar stupid... Sini, biar aku saja yang bicara ke mereka. (Mendekati Kulub dan Bujang) Sebaiknya kalian mengaku, siapa di antara kalian yang menyimpan gendang ajaib itu?
Kulub:
Kami bukan pemain gendang, kami cuma pria biasa yang tersesat di sini.
Mr. Z:
Jangan bohong! Kami lagi mencari gendang ajaib yang bisa melimpahkan emas. Nanti kita bagi rata, bagaimana?
Bujang:
Gendang apa? Tolong kasih tahu ciri-cirinya secara lengkap!
Mr. Z:
Pokoknya satu-satunya gendang yang masih tersisa di tempat terkutuk ini. Kami pernah mendengarnya di sekitar sini. Waktu itu juga terdengar suara mantra-mantra aneh.
Bujang:
Mungkin yang kau maksud itu, Gendang Melayu Jambi.
Mr. Z:
Nahh... iya, itu yang aku maksud! Dimana gendangnya?
Bujang:
Kami dak punya! Gendang itu punya Kadam, sekarang kami juga kehilangan dia.
Mr. Z:
Bohong.... Cepat serahkan! Sebelum kami berbuat kasar.
Bujang: (Cemas)
Serius! Kami kehilangan Kadam dari tadi, kami juga mencari cewek misterius yang berlari di sekitar sini.
Mr. X:
Wanita itu milik kami! Kalian tidak boleh menyentuhnya.
Kulub:
Enak saja, cewek itu satu-satunya jalan kami untuk keluar dari Negeri terkutuk ini. Kalau kalian berani menghalangi, maka kamipun juga tidak segan-segan bertindak kasar.
Mr. X:
Siapa takut! Kalian sok kuat, dasar lemah! Awas kalian ya.... Kalian akan terima akibatnya.

(Keadaan menjadi kacau, kedua belah pihak tidak mau mengontrol emosi. Pertikaian tidak bisa terhindarkan. Suara musik berubah menjadi mencekam, mereka bersiap untuk menyerang. Sebelum pertumpahan darah terjadi, tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita sangat keras. Suara musik berubah menjadi suara reruntuhan dan kekacauan. Mereka semua bingung, lampu di balik layar putih menyala. Tampak siluet seorang wanita yang terikat dengan mulut disekap. Di sebelahnya tampak pula siluet seorang pria seram membawa obor. Wanita ketakutan, teriakannya memekakkan telinga)

Mr. Z:
Siapa itu?
Bujang:
Itu.... Cewek yang kami cari, dia dalam bahaya. Kita harus menolongnya (Jeritan wanita terdengar lagi)
Mr. Z:
Cepat... Cepatt... Kalian selamatkan dia.
Bujang:
Enak be, manalah aku berani. Kalian be yang selamatkan.
Mr. Z:
Idak.... Aku juga idak berani.

(Jeritan wanita kembali terdengar keras. Pria yang di sebelahnya mengarahkan obor ke wanita itu. Api menyala besar, membakar tubuh wanita. Jeritannya berubah mencekam, dia kepanasan. Lighting menyala berkedip, Kondisi panggung sangat kacau dan lampu di belakang layar tiba-tiba mati. Lighting kembali normal lalu menyorot ke sisi siluet pria, tiba-tiba kain putih itu terbelah. Seorang pria keluar dari balik layar putih. Kulub dan Bujang terkejut.)

Kulub: (Terkejut setengah mati)
Ter... Ternyata itu kau, Kadam. Kenapa kau lakukan perbuatan yang keji pada cewek itu? Kata kau cewek itu satu-satunya jalan keluar kita dari Negeri terkutuk ini.

(Kadam dengan langkah sedikit terseret, naik ke atas meja batu. Memukul Gendang Melayu Jambi yang dibawanya pelan-pelan dengan pukulan Dung-Tak secara berulang beberapa kali)

Kadam:
Negeri ini sudah dikutuk. Orang-orang tidak ada lagi yang peduli dengan kekayaan budayanya. Semua sudah terlupakan oleh kemajuan teknologi canggih. Gendang ini merupakan saksi bisu dan wanita itu adalah simbol kepedihan, dia menangis seorang diri. Orang-orang meninggalkannya tanpa pernah peduli. Musik-musik daerah, lagu-lagu tradisi terkalahkan oleh desahan-desahan dosa di setiap malam tiba. Rasa malu dalam diri, terkalahkan oleh nafsu yang tak terkendali. Kita melupakan adat istiadat, budaya-budaya, serta norma yang berlaku di tempat kelahiran kita. Negeri ini sudah terkutuk oleh nafsu bejat! Kemudian ketika gendang ini menuntut haknya, menuntut untuk dilestarikan. Orang-orang membiarkannya punah. Ketika wanita itu menuntut keadilan, hanya kebohongan yang dia dapat. Itulah sebabnya, kutukan ini muncul di Negeri kita. Sekedar mengingatkan bahwa ada tradisi yang tertindas nafsu. Ada budaya yang terjerat ego. Ada norma yang tertimpa ketidakpedulian. Wanita itu sengaja aku musnahkan. Agar kita sama-sama terperangkap di Negeri terkutuk, bersama sepi. Itu sudah cukup adil!

(Lampu padam! Lagu gugur terdengar lantang, sebagai rasa hormat untuk para pejuang kebudayaan yang tidak bosan melestarikan budaya sampai akhir hayat)



No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *