Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Saturday, July 21, 2018

Tulang-Tulang


Tulang-Tulang
(Joko & Roby)


"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Berindak dengan nyata"




       “Pesan ayamnya satu, bagian dada, banyakin dagingnya cari yang tulangnya sedikit, mas”
       “Baik, mas”
       Joko duduk pada kursi di pojok warung pecel lele, sendirian sambil menenteng laptop. Wajahnya kusam, seharian dia tidak mandi. Berkas-berkas yang diberi judul ‘Makalah: Teori-Teori Hidup Sukses’ dibiarkannya berdiam di samping laptop. Angin malam mengibarkan berkas itu, hampir terbang! Tapi dia tidak menghalau. Bulan tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, berdiri sendirian di langit hitam yang menampung air-air langit. Sebentar lagi akan tumpah pada wadah bumi.
       “Seandainya ada cara yang mudah memahami hidup” Dia menghela napas panjang. Aura mulutnya mengerikan, sudah beberapa hari ini dia tidak membersihkan diri. Tugas yang diberikan oleh dosen sangat rumit. “Dosen ekonomi, kok ngasih tugas tentang teori hidup sukses. Kenapa tidak teori-teori ekonomi yang baik saja. Bukankah lebih baik kita mempelajari dan memaknai ribuan teori daripada memahami hidup.” Joko terus menghujam layar laptop yang tidak bersalah. Sayangnya laptop tidak memberi solusi apapun. Atau dia yang sudah gila! Berbicara sendiri pada benda mati.
       “Sebenarnya kita cukup mengkaji teori-teori yang ada. Kalau sudah dipatenkan, apalagi di suap sampai penuh pada mahasiswa artinya teori itu ampuh!”
        Dari depan, Mas penjual pecel lele datang menyajikan pesanan. Kondisi warung itu sedang sepi. Hanya ada mereka berdua yang melakukan aktivitas. “Mas, apakah hidupmu sebagai penjual pecel lele menyenangkan?”
      Mas itu duduk di hadapan Joko. Menghapus keringat dengan tisu yang tersedia di atas meja. “Secara ekonomi sih gak stabil, tapi secara hati aku sih bahagia!”
       Joko kaget, bagaimana bisa seseorang bahagia sedangkan perekonomiannya tidak baik? Hanya orang-orang pasrah, orang yang tidak berpedoman pada teori bisnis. “Makanya, Mas. Harus memahami teori-teori penjualan yang benar!”
       “Teori semacam apa?”
       “Hidup itu tidak dikaji dari hati, kalau Mas mau kaya. Harus mengecilkan biaya pengeluaran dan memperbesar biaya penjualan.”
     Mas bingung, dia tidak dapat mencerna dengan baik teori yang diberikan oleh Joko. “Maksudnya?”
       “Satu porsi nasi uduk, ayam goreng, dan sayur-mayur terlalu murah kalau dijual hanya lima belas ribu. Seharusnya dijual dua puluh ribu”
       Mas menggeleng kepala, cepat-cepat dia menentang penjelasan Joko. “Saya gak berani! Takut....”
       “Takut kenapa?”
      “Takut tuhan marah, modalnya aja juga gak terlalu besar. Asalkan modal ngalir terus, keluarga masih bisa makan dan penjualan lancar saya sudah senang.”
       Joko tertawa, meledek penjual pecel lele yang omongannya berubah serius. “Tuhan itu akan mengerti kondisi hambanya. Jadi, mas tidak perlu takut!”
       “Saya lebih suka begini aja, hidup sederhana tapi bahagia. Lagian warung saya juga ramai!”
    Joko melihat sekeliling, tidak satupun makhluk berkeliaran di warung itu. Beberapa kali dia memandang ke tempat yang sama. Seperti ini yang dia bilang ramai! Di sana hanya ada mereka berdua. Joko tertawa sampai terpingkal.
       “Lucu ya mas?”
      Joko berusaha menahan tawanya yang pecah. “Enggak, kayaknya mas ini harus periksa mata ke dokter atau langsung minta rujukan rawat ke Rumah Sakit Jiwa!”
       “Saya ini tidak gila, mas! Saya masih waras, buktinya masih mampu berjualan.”
       Joko menepuk pundak Mas “Di sini! Cuma ada kita berdua. Ini tidak ramai, tapi se-pi.”
       “Itu ada lagi yang datang!” Mas menunjuk seorang anak kecil berkulit hitam legam, matanya sayu, bajunya kusam, membawa kresek hitam dengan tulisan ‘Tulang-Tulang’ baunya menyengat ke setiap tempat.
       “Siapa dia?” Joko menutup hidung.
       Anak itu mendekat! Menghampiri mereka berdua yang sedang duduk di pojok warung. Gerimis tiba-tiba menghamparkan air langit yang tidak lagi kuat ditahan awan. Mereka berpindah ke kursi bagian tengah, percikan air mengenai tubuh Joko.
       “Mas, mohon sumbangan tulang ayamnya!” Anak kecil itu berdiri tepat di samping Joko.
    “Tulang!” Sekali lagi, tawa itu tidak mampu tertahan olehnya. Joko langsung memberikan pertanyaan “Buat apa?”
       Anak itu tersenyum, tapi wajahnya justru mengerikan. Giginya ompong tengah, beberapa yang masih utuh berwarna hitam. “Buat makan!”
       “Kalau mau ngemis, harusnya minta uang! Bukan minta tulang.”
       “Saya gak ngemis, kok.”
       Joko kembali melihat kreseknya yang penuh dengan tulang ayam, ikan, bercampur sedikit sisa-sisa nasi. Kemudian dia membandingkannya dengan kondisi tubuh anak itu. Celana pendek yang dia kenakan bahkan berlumur lumpur. “Kamu tidak pernah diajarkan caranya merawat tubuh?”
       Anak itu cengingisan, matanya sipit. “Gak pernah!”
       “Meskipun kamu seorang gelandangan, tapi harus jadi gelandangan yang memperhatikan mode!”
     “Saya bukan gelandangan!” Anak itu berubah menjadi judes “Lagian saya tidak mengerti yang namanya mode!”
     Pakaian lusuh, bau sampah, tidak pernah mandi. Apalagi namanya kalau bukan gelandangan? “Jangan malu! Gelandangan itu bukannya tidak mampu, tapi tidak sukses. Kamu hanya butuh gaya yang ngartis, zaman now dan kekinian untuk menjadi gelandangan yang sukses.”           
      “Katanya gelandangan tidak sukses!” Mas penjual pecel lele ikut nimbrung. Dia bingung dengan kata-kata yang dibicarakan oleh Joko.
       “Dari segi ekonomi tidak sukses, tapi dari segi penampilan bisa jadi sukses!”
       “Itu namanya kebohongan publik!” Suara Mas mulai meningkat.
    Joko gemetaran, bibirnya mulai gatal untuk membalas. “Itu bukan kebohongan, kita harus berpakaian rapi seperti kebanyakan orang untuk menutupi sisi negatif.”
    “Sebentar!” Mas menuju meja tempat dia memasak. Mengambil sebuah koran dan langsung membentangkan di atas meja. “Sama saja! Sekali bohong tetap bohong.” Dia menunjuk sebuah berita yang dicetak lebih besar daripada berita lainnya. Berita itu diberi judul ‘Korupsi E-KBP’ Joko memandangnya agak lama.  “Oknum-oknum berpakaian rapi, berjas dan berdasi. Orang-orang yang katanya pintar dan mempunyai jabatan tinggi aja banyak bohongnya. Artinya kita tidak perlu rapi untuk menjadi orang sukses!”
     Joko semakin geram, kepalan tangannya mulai keras. “Ini bukan soal kebohongan, tapi soal pencitraan. Kalau kita mau terlihat sukses, ya kita harus berani sedikit bohong.”
       Mas tidak kalah ngotot, dia mulai menatap tajam ke arah Joko “Kita tidak butuh sukses, kalau caranya tidak direstui tuhan. Haram! Emangnya Mas tahu apa kepanjangan E-KBP?”
       “Gak tahu!”
       Mas menggelengkan kepala “Haduhh... percuma Mas menjadi mahasiswa kalau itu saja gak tahu. Kepanjangannya Emang-Klasik Bohongi Publik. Cara seperti itu sudah sejak lama ada. Penampilan aja modis tapi hati anarkis. Siapa saja menjadi korban.” 
      Joko sudah naik dalam emosi yang tinggi. Hampir saja dia melempar piring itu ke mulut Mas. “Jaga omongan! Kau harus tahu, Cover dan penampilan juga mempengaruhi kehidupan. Coba saja besok kau menjadi pengusaha pecel lele yang sukses. Pasti setiap harinya kau memakai baju rapi dan berjas. Itu pasti!” Joko sedikit berdiri membalas perkataan Mas.
       Anak kecil itu kebingungan, dia menggaruk kepalanya yang berambut cepak. “Haduh, Mas. Saya gak mau ikut campur. Saya cuma mau tulang ayam itu!”
       Joko kembali duduk “Ayam ini belum selesai aku makan.”
       “Kalau begitu aku akan menunggu!”
      Anak itu duduk di hadapan Joko. Menunggu sampai Joko selesai memakan sepotong ayam bagian dada kesukaannya. Mereka bertiga duduk di satu meja yang sama. Tidak ada perkataan lagi setelah itu. Hanya ada suara rintik hujan yang perlahan mulai deras. Memecah kerasnya perdebatan antara Joko dan Mas penjual pecel lele.
      Joko melahapnya secepat mungkin. Baginya masakan Mas yang ada di hadapannya sangat enak. Meskipun dia kesal dengan cara hidupnya, cara pandangnya dan cara pikirnya. Joko bahkan lupa, seharian dia tidak mandi karena mengurus tuga-tugas dan teori yang belum selesai diberikan dosen. Menjadi mahasiswa harus siap menghadapi setiap persoalan yang tertuju pada pikiran. Maklumlah, katanya mahasiswa itu harus lebih tinggi ketimbang siswa. Katanyapun juga lebih bebas, tapi sepertinya tidak begitu.
     Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Joko menghabiskan makanan tanpa sisa. Diberikannya tulang ayam itu pada anak kecil yang sudah menanti dengan senyuman manis agak erotis.
     “Terimakasih!” Anak kecil itu sangat senang dan berlari meninggalkan warung. Langit sudah tidak lagi menurunkan hujan, malam sudah mulai cerah.
    Joko menutup laptop, membereskan berkas lalu berdiri. Dia memberikan uang dua puluh ribu kepada Mas. “Ambil saja kembaliannya!”
      “Oh.. Tidak, saya ada kembaliannya!”
       Tapi ketika Mas ke depan mengambil kembalian, Joko secepatnya pergi. Lima ribu tidak menjadi masalah baginya. Dia orang desa yang kaya raya, ayahnya toke karet. Kehidupannya sangat mapan, banyak gadis yang terpikat karenanya. Meskipun wajahnya berbanding terbalik dengan perekonomiannya.
       Joko berjalan pulang. Melewati sebuah lorong kecil, menuju rumah kontrakan yang cukup besar. Dia sengaja mengontrak sendiri, agar tidak seorangpun yang mengganggu hidupya. Dia lebih baik memberikan uang lebih, tapi hidup damai tanpa harus berbagi kasur dengan teman.
       Selepas melewati gang sempit, Joko melihat seekor kucing sedang makan sisa-sisa makanan di teras rumah. Lekas dia mengusir dengan kaki. Kresek hitam yang dibawa kucing bertuliskan ‘Tulang-Tulang’ sepertinya pernah dia lihat. Itulah kresek yang dibawa oleh anak kecil misterius yang menyebalkan. Bertemu dengannya ketika di warung pecel lele tadi.
       Kenapa anak itu mengemis tulang, lalu memberikannya kepada kucing? Itu sangat aneh, belum pernah Joko bertemu orang seaneh itu. Joko membereskan tulang-tulang yang berhamburan, memasukkan ke dalam kresek. Diangkat dan diberikan kepada kucing yang lari ke samping rumah. Kucing itu memakan dengan lahap. Wajahnya yang semula kelaparan, menjelma menjadi penuh kepuasan.
       Kucing yang semula berwajah menyeramkan. Mendadak berubah lucu dan menghibur. Joko mengelus, tampak tatapan gemas dari wajah Joko. Sejenak dilupakannya permasalahan yang tidak pernah habis dari waktu ke waktu. Dia tidak memikirkan tugas-tugas untuk beberapa detik.
       Joko masuk ke rumah, mengunci pintu dan teralis. Malam sudah semakin larut, Kalelawar sudah keluar untuk mencari mangsa. Burung-burung tidak lagi bernyanyi gembira. Orang-orang sudah terlelap, hanya mereka yang rakus terus saja bekerja di tengah malam. Mencari rezeki tanpa putus asa. Tanpa memikirkan kenikmatan rezeki ketika terlelap.

***

       Joko melempar tas ke atas meja. Dia duduk di bangku paling sudut. Di tengah keramaian dia menyendiri. Wajahnya kusam, sudah seharian dia tidak mandi. Wanginya sama persis seperti malam kemarin.
       “Ada apa, mas?” Penjual pecel lele itu menyajikan pesanan dan duduk di sebelahnya. Suasana warung itu sangat sesak oleh pembeli. “Masalah tugas?”
       “Iya, masa tugasku dibilang jelek oleh dosen! Padahal sudah aku revisi berulang kali.”
       “Itulah, terkadang apa yang kita pikir bagus, belum tentu bagus untuk orang lain. Apa yang kita pikir baik, belum tentu baik untuk yang lain.”
       “Tapi...” Joko menghamburkan berkas-berkas tugas ke atas meja “Aku sudah semalaman suntuk untuk mengerjakannya. Masa sih dosen gak bisa memberikan sedikit penghargaan?”
    “Kita tidak bisa memaksakan hati orang lain untuk selaras dengan hati kita. Tidak bisa menjejerkannya sebelahan. Sebab keinginan orang berbeda-beda.  Sama halnya dengan dirimu menyuruhku untuk menaikkan harga jualanku. Padahal aku tidak suka, seperti dirimu menyuruh anak kecil memperhatikan penampilannya. Padahal semuanya punya kenyamanan tersendiri.”
       “Aku bisa memaklumi atas pemikiranmu tentang harga. Tapi soal penampilan aku tidak sepakat. Siapa anak itu?” Joko menunjuk ke arah anak kecil yang sama seperti kemarin. Meminta tulang-tulang dari pengunjung.
       “Dia anak Bu Sutri!”
       “Bu Sutri! Dosenkah?”
       “Iya kedua orang tuanya dosen.”
       “Ibu Sutri Rahmawati?”
       “Iya Dosen di kampus tempatmu menimba ilmu!”
    Ya tuhan, Joko terkejut! Anak kecil itu buah hati dosen yang memberinya tugas. Sepintas penampilannya tidak memberikan citra sebagai anak dosen. Tapi hatinya melebihi rektor. Joko langsung teringat pada kresek berisi tulang yang dibawa kucing semalam di teras rumah. Kresek itu sama persis seperti yang dia tenteng sekarang. Meminta tulang-tulang bekas makan orang-orang.
       “Dia bukan pengemis?”
    “Bukan! Dia memang sering mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk diberikan pada kucing-kucing liar.”
       “Mengapa dia melakukannya?”
       Mas mengangkat kedua bahunya “Katanya sih bahagia aja!”
    Anak kecil itu mendekat ke arah Joko. Dari jauh senyumnya yang gembira semakin manis memancar. “Eh mas yang kemarin. Minta tulangnya lagi dong!”
      Joko menelan ludah, dia tidak berucap. Tanpa disadari dia menuangkan tulang lengkap dengan dagingnya yang masih utuh ke dalam kresek anak itu. “Mas gak mau makan?” Pertanyaan itu segera dibalas dengan gelengan kepala oleh Joko. “Terimakasih!” Anak kecil itu pergi dari hadapannya dengan wajah bahagia.
     Joko masih termenung beberapa detik. Sampai pada akhirnya dia seperti mendapat ilham. Dia memberikan uang lima belas ribu pada Mas penjual pecel lele. Tapi Mas itu mengembalikan uang lima ribu pada Joko. “Ini kembalian yang kemarin, takut dosa!” Joko kembali menelan ludah. Menyusun berkas-berkasnya dan berlari mengejar anak kecil.
       “Mau kemana, mas?” Teriak Mas penjual pecel lele.
       “Ada urusan sama anak dosen itu!” Tuntas Joko terburu-buru.   
        
         
         


No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *