Tulang-Tulang
(Joko
& Roby)
![]() "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Berindak dengan nyata" |
“Pesan
ayamnya satu, bagian dada, banyakin dagingnya cari yang tulangnya sedikit, mas”
“Baik,
mas”
Joko
duduk pada kursi di pojok warung pecel lele, sendirian sambil menenteng laptop.
Wajahnya kusam, seharian dia tidak mandi. Berkas-berkas yang diberi judul ‘Makalah:
Teori-Teori Hidup Sukses’ dibiarkannya berdiam di samping laptop. Angin malam
mengibarkan berkas itu, hampir terbang! Tapi dia tidak menghalau. Bulan tetap
sama seperti hari-hari sebelumnya, berdiri sendirian di langit hitam yang
menampung air-air langit. Sebentar lagi akan tumpah pada wadah bumi.
“Seandainya
ada cara yang mudah memahami hidup” Dia menghela napas panjang. Aura mulutnya
mengerikan, sudah beberapa hari ini dia tidak membersihkan diri. Tugas yang
diberikan oleh dosen sangat rumit. “Dosen ekonomi, kok ngasih tugas tentang
teori hidup sukses. Kenapa tidak teori-teori ekonomi yang baik saja. Bukankah
lebih baik kita mempelajari dan memaknai ribuan teori daripada memahami hidup.”
Joko terus menghujam layar laptop yang tidak bersalah. Sayangnya laptop tidak
memberi solusi apapun. Atau dia yang sudah gila! Berbicara sendiri pada benda
mati.
“Sebenarnya
kita cukup mengkaji teori-teori yang ada. Kalau sudah dipatenkan, apalagi di
suap sampai penuh pada mahasiswa artinya teori itu ampuh!”
Dari
depan, Mas penjual pecel lele datang menyajikan pesanan. Kondisi warung itu
sedang sepi. Hanya ada mereka berdua yang melakukan aktivitas. “Mas, apakah
hidupmu sebagai penjual pecel lele menyenangkan?”
Mas
itu duduk di hadapan Joko. Menghapus keringat dengan tisu yang tersedia di atas
meja. “Secara ekonomi sih gak stabil, tapi secara hati aku sih bahagia!”
Joko
kaget, bagaimana bisa seseorang bahagia sedangkan perekonomiannya tidak baik? Hanya
orang-orang pasrah, orang yang tidak berpedoman pada teori bisnis. “Makanya, Mas.
Harus memahami teori-teori penjualan yang benar!”
“Teori
semacam apa?”
“Hidup
itu tidak dikaji dari hati, kalau Mas mau kaya. Harus mengecilkan biaya
pengeluaran dan memperbesar biaya penjualan.”
Mas
bingung, dia tidak dapat mencerna dengan baik teori yang diberikan oleh Joko.
“Maksudnya?”
“Satu
porsi nasi uduk, ayam goreng, dan sayur-mayur terlalu murah kalau dijual hanya
lima belas ribu. Seharusnya dijual dua puluh ribu”
Mas
menggeleng kepala, cepat-cepat dia menentang penjelasan Joko. “Saya gak berani!
Takut....”
“Takut
kenapa?”
“Takut
tuhan marah, modalnya aja juga gak terlalu besar. Asalkan modal ngalir terus,
keluarga masih bisa makan dan penjualan lancar saya sudah senang.”
Joko
tertawa, meledek penjual pecel lele yang omongannya berubah serius. “Tuhan itu
akan mengerti kondisi hambanya. Jadi, mas tidak perlu takut!”
“Saya
lebih suka begini aja, hidup sederhana tapi bahagia. Lagian warung saya juga
ramai!”
Joko
melihat sekeliling, tidak satupun makhluk berkeliaran di warung itu. Beberapa
kali dia memandang ke tempat yang sama. Seperti ini yang dia bilang ramai! Di
sana hanya ada mereka berdua. Joko tertawa sampai terpingkal.
“Lucu
ya mas?”
Joko
berusaha menahan tawanya yang pecah. “Enggak, kayaknya mas ini harus periksa
mata ke dokter atau langsung minta rujukan rawat ke Rumah Sakit Jiwa!”
“Saya
ini tidak gila, mas! Saya masih waras, buktinya masih mampu berjualan.”
Joko
menepuk pundak Mas “Di sini! Cuma ada kita berdua. Ini tidak ramai, tapi
se-pi.”
“Itu
ada lagi yang datang!” Mas menunjuk seorang anak kecil berkulit hitam legam, matanya
sayu, bajunya kusam, membawa kresek hitam dengan tulisan ‘Tulang-Tulang’ baunya
menyengat ke setiap tempat.
“Siapa
dia?” Joko menutup hidung.
Anak
itu mendekat! Menghampiri mereka berdua yang sedang duduk di pojok warung. Gerimis
tiba-tiba menghamparkan air langit yang tidak lagi kuat ditahan awan. Mereka
berpindah ke kursi bagian tengah, percikan air mengenai tubuh Joko.
“Mas,
mohon sumbangan tulang ayamnya!” Anak kecil itu berdiri tepat di samping Joko.
“Tulang!”
Sekali lagi, tawa itu tidak mampu tertahan olehnya. Joko langsung memberikan
pertanyaan “Buat apa?”
Anak
itu tersenyum, tapi wajahnya justru mengerikan. Giginya ompong tengah, beberapa
yang masih utuh berwarna hitam. “Buat makan!”
“Kalau
mau ngemis, harusnya minta uang! Bukan minta tulang.”
“Saya
gak ngemis, kok.”
Joko
kembali melihat kreseknya yang penuh dengan tulang ayam, ikan, bercampur
sedikit sisa-sisa nasi. Kemudian dia membandingkannya dengan kondisi tubuh anak
itu. Celana pendek yang dia kenakan bahkan berlumur lumpur. “Kamu tidak pernah
diajarkan caranya merawat tubuh?”
Anak
itu cengingisan, matanya sipit. “Gak pernah!”
“Meskipun
kamu seorang gelandangan, tapi harus jadi gelandangan yang memperhatikan mode!”
“Saya
bukan gelandangan!” Anak itu berubah menjadi judes “Lagian saya tidak mengerti
yang namanya mode!”
Pakaian
lusuh, bau sampah, tidak pernah mandi. Apalagi namanya kalau bukan gelandangan?
“Jangan malu! Gelandangan itu bukannya tidak mampu, tapi tidak sukses. Kamu
hanya butuh gaya yang ngartis, zaman now dan
kekinian untuk menjadi gelandangan yang sukses.”
“Katanya
gelandangan tidak sukses!” Mas penjual pecel lele ikut nimbrung. Dia bingung
dengan kata-kata yang dibicarakan oleh Joko.
“Dari
segi ekonomi tidak sukses, tapi dari segi penampilan bisa jadi sukses!”
“Itu
namanya kebohongan publik!” Suara Mas mulai meningkat.
Joko
gemetaran, bibirnya mulai gatal untuk membalas. “Itu bukan kebohongan, kita
harus berpakaian rapi seperti kebanyakan orang untuk menutupi sisi negatif.”
“Sebentar!”
Mas menuju meja tempat dia memasak. Mengambil sebuah koran dan langsung
membentangkan di atas meja. “Sama saja! Sekali bohong tetap bohong.” Dia
menunjuk sebuah berita yang dicetak lebih besar daripada berita lainnya. Berita
itu diberi judul ‘Korupsi E-KBP’ Joko memandangnya agak lama. “Oknum-oknum berpakaian rapi, berjas dan
berdasi. Orang-orang yang katanya pintar dan mempunyai jabatan tinggi aja banyak
bohongnya. Artinya kita tidak perlu rapi untuk menjadi orang sukses!”
Joko
semakin geram, kepalan tangannya mulai keras. “Ini bukan soal kebohongan, tapi
soal pencitraan. Kalau kita mau terlihat sukses, ya kita harus berani sedikit
bohong.”
Mas
tidak kalah ngotot, dia mulai menatap tajam ke arah Joko “Kita tidak butuh
sukses, kalau caranya tidak direstui tuhan. Haram! Emangnya Mas tahu apa
kepanjangan E-KBP?”
“Gak
tahu!”
Mas
menggelengkan kepala “Haduhh... percuma Mas menjadi mahasiswa kalau itu saja
gak tahu. Kepanjangannya Emang-Klasik Bohongi Publik. Cara seperti itu sudah
sejak lama ada. Penampilan aja modis tapi hati anarkis. Siapa saja menjadi
korban.”
Joko
sudah naik dalam emosi yang tinggi. Hampir saja dia melempar piring itu ke
mulut Mas. “Jaga omongan! Kau harus tahu, Cover
dan penampilan juga mempengaruhi kehidupan. Coba saja besok kau menjadi
pengusaha pecel lele yang sukses. Pasti setiap harinya kau memakai baju rapi
dan berjas. Itu pasti!” Joko sedikit berdiri membalas perkataan Mas.
Anak
kecil itu kebingungan, dia menggaruk kepalanya yang berambut cepak. “Haduh,
Mas. Saya gak mau ikut campur. Saya cuma mau tulang ayam itu!”
Joko
kembali duduk “Ayam ini belum selesai aku makan.”
“Kalau
begitu aku akan menunggu!”
Anak
itu duduk di hadapan Joko. Menunggu sampai Joko selesai memakan sepotong ayam
bagian dada kesukaannya. Mereka bertiga duduk di satu meja yang sama. Tidak ada
perkataan lagi setelah itu. Hanya ada suara rintik hujan yang perlahan mulai
deras. Memecah kerasnya perdebatan antara Joko dan Mas penjual pecel lele.
Joko
melahapnya secepat mungkin. Baginya masakan Mas yang ada di hadapannya sangat
enak. Meskipun dia kesal dengan cara hidupnya, cara pandangnya dan cara
pikirnya. Joko bahkan lupa, seharian dia tidak mandi karena mengurus tuga-tugas
dan teori yang belum selesai diberikan dosen. Menjadi mahasiswa harus siap menghadapi
setiap persoalan yang tertuju pada pikiran. Maklumlah, katanya mahasiswa itu
harus lebih tinggi ketimbang siswa. Katanyapun juga lebih bebas, tapi
sepertinya tidak begitu.
Dalam waktu kurang dari lima belas menit, Joko
menghabiskan makanan tanpa sisa. Diberikannya tulang ayam itu pada anak kecil
yang sudah menanti dengan senyuman manis agak erotis.
“Terimakasih!”
Anak kecil itu sangat senang dan berlari meninggalkan warung. Langit sudah
tidak lagi menurunkan hujan, malam sudah mulai cerah.
Joko
menutup laptop, membereskan berkas lalu berdiri. Dia memberikan uang dua puluh
ribu kepada Mas. “Ambil saja kembaliannya!”
“Oh..
Tidak, saya ada kembaliannya!”
Tapi
ketika Mas ke depan mengambil kembalian, Joko secepatnya pergi. Lima ribu tidak
menjadi masalah baginya. Dia orang desa yang kaya raya, ayahnya toke karet. Kehidupannya
sangat mapan, banyak gadis yang terpikat karenanya. Meskipun wajahnya
berbanding terbalik dengan perekonomiannya.
Joko
berjalan pulang. Melewati sebuah lorong kecil, menuju rumah kontrakan yang
cukup besar. Dia sengaja mengontrak sendiri, agar tidak seorangpun yang
mengganggu hidupya. Dia lebih baik memberikan uang lebih, tapi hidup damai
tanpa harus berbagi kasur dengan teman.
Selepas
melewati gang sempit, Joko melihat seekor kucing sedang makan sisa-sisa makanan
di teras rumah. Lekas dia mengusir dengan kaki. Kresek hitam yang dibawa kucing
bertuliskan ‘Tulang-Tulang’ sepertinya pernah dia lihat. Itulah kresek yang
dibawa oleh anak kecil misterius yang menyebalkan. Bertemu dengannya ketika di warung
pecel lele tadi.
Kenapa
anak itu mengemis tulang, lalu memberikannya kepada kucing? Itu sangat aneh, belum
pernah Joko bertemu orang seaneh itu. Joko membereskan tulang-tulang yang
berhamburan, memasukkan ke dalam kresek. Diangkat dan diberikan kepada kucing
yang lari ke samping rumah. Kucing itu memakan dengan lahap. Wajahnya yang
semula kelaparan, menjelma menjadi penuh kepuasan.
Kucing
yang semula berwajah menyeramkan. Mendadak berubah lucu dan menghibur. Joko
mengelus, tampak tatapan gemas dari wajah Joko. Sejenak dilupakannya
permasalahan yang tidak pernah habis dari waktu ke waktu. Dia tidak memikirkan
tugas-tugas untuk beberapa detik.
Joko
masuk ke rumah, mengunci pintu dan teralis. Malam sudah semakin larut, Kalelawar
sudah keluar untuk mencari mangsa. Burung-burung tidak lagi bernyanyi gembira. Orang-orang
sudah terlelap, hanya mereka yang rakus terus saja bekerja di tengah malam.
Mencari rezeki tanpa putus asa. Tanpa memikirkan kenikmatan rezeki ketika
terlelap.
***
Joko
melempar tas ke atas meja. Dia duduk di bangku paling sudut. Di tengah
keramaian dia menyendiri. Wajahnya kusam, sudah seharian dia tidak mandi. Wanginya
sama persis seperti malam kemarin.
“Ada
apa, mas?” Penjual pecel lele itu menyajikan pesanan dan duduk di sebelahnya.
Suasana warung itu sangat sesak oleh pembeli. “Masalah tugas?”
“Iya,
masa tugasku dibilang jelek oleh dosen! Padahal sudah aku revisi berulang
kali.”
“Itulah,
terkadang apa yang kita pikir bagus, belum tentu bagus untuk orang lain. Apa
yang kita pikir baik, belum tentu baik untuk yang lain.”
“Tapi...”
Joko menghamburkan berkas-berkas tugas ke atas meja “Aku sudah semalaman suntuk
untuk mengerjakannya. Masa sih dosen gak bisa memberikan sedikit penghargaan?”
“Kita
tidak bisa memaksakan hati orang lain untuk selaras dengan hati kita. Tidak
bisa menjejerkannya sebelahan. Sebab keinginan orang berbeda-beda. Sama halnya dengan dirimu menyuruhku untuk
menaikkan harga jualanku. Padahal aku tidak suka, seperti dirimu menyuruh anak
kecil memperhatikan penampilannya. Padahal semuanya punya kenyamanan
tersendiri.”
“Aku
bisa memaklumi atas pemikiranmu tentang harga. Tapi soal penampilan aku tidak
sepakat. Siapa anak itu?” Joko menunjuk ke arah anak kecil yang sama seperti
kemarin. Meminta tulang-tulang dari pengunjung.
“Dia
anak Bu Sutri!”
“Bu
Sutri! Dosenkah?”
“Iya
kedua orang tuanya dosen.”
“Ibu
Sutri Rahmawati?”
“Iya
Dosen di kampus tempatmu menimba ilmu!”
Ya
tuhan, Joko terkejut! Anak kecil itu buah hati dosen yang memberinya tugas. Sepintas
penampilannya tidak memberikan citra sebagai anak dosen. Tapi hatinya melebihi
rektor. Joko langsung teringat pada kresek berisi tulang yang dibawa kucing
semalam di teras rumah. Kresek itu sama persis seperti yang dia tenteng
sekarang. Meminta tulang-tulang bekas makan orang-orang.
“Dia
bukan pengemis?”
“Bukan!
Dia memang sering mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk diberikan pada
kucing-kucing liar.”
“Mengapa
dia melakukannya?”
Mas
mengangkat kedua bahunya “Katanya sih bahagia aja!”
Anak
kecil itu mendekat ke arah Joko. Dari jauh senyumnya yang gembira semakin manis
memancar. “Eh mas yang kemarin. Minta tulangnya lagi dong!”
Joko
menelan ludah, dia tidak berucap. Tanpa disadari dia menuangkan tulang lengkap
dengan dagingnya yang masih utuh ke dalam kresek anak itu. “Mas gak mau makan?”
Pertanyaan itu segera dibalas dengan gelengan kepala oleh Joko. “Terimakasih!” Anak
kecil itu pergi dari hadapannya dengan wajah bahagia.
Joko
masih termenung beberapa detik. Sampai pada akhirnya dia seperti mendapat
ilham. Dia memberikan uang lima belas ribu pada Mas penjual pecel lele. Tapi Mas
itu mengembalikan uang lima ribu pada Joko. “Ini kembalian yang kemarin, takut
dosa!” Joko kembali menelan ludah. Menyusun berkas-berkasnya dan berlari mengejar
anak kecil.
“Mau
kemana, mas?” Teriak Mas penjual pecel lele.
“Ada
urusan sama anak dosen itu!” Tuntas Joko terburu-buru.


No comments:
Post a Comment