![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |
Nirmala
Nirmala setara lampu-lampu
taman redup, remang-remang hidup berkisah seorang diri. Mengais cerita duka, cerita
sendu, cerita batin yang tersenggol kerikil. Masuk relung jantung, berontak
pada satu episode demonstrasi. Protes terhadap pemaparan, kenyataan, keadaan tanpa
solusi serta jalan untuk kembali. Menjadi seorang besar, berpijak dengan kaki
sendiri di atas debu-debu aspal. Kotor oleh dosa-dosa yang tak bertuan, terbuang
bebas hinggap di tubuhnya. Menjelma menjadi kulit, menjadi rambut, menjadi
topeng memudarkan wajah. Berpura-pura tidur di bawah purnama, sementara nurani terbang
ke angkasa.
Nirmala hinggap di badan kolektor
lukisan, melukis wajahnya terlampau malang. Tidak diberi royalti, upah, penghargaan
atas jasa memberi ekspresi pada dunia. Gambaran hidup pada persoalan bertahan
diri mencumbu butiran padi. Nirmala hinggap di badan direktur berdasi, menggusur
ornamen-ornamen plastik. Dekorasi rumah, berbekal dari sampah, kertas, atau pempes
bekas. Kamuflase gedung menjulang di atasnya, meratakan perlahan-lahan merenggut
kenyataan. Merampas raut wajah, kehilangan binar dan matanya menjadi sayu di
pintu ajal. Badannya kurus, berdarah-darah, tubuhnya sempoyongan menopang beban
yang dipaksakan.
Nirmala tidak bernapas, di
atas bukit, tumpukan sampah menjulang tinggi. Tubuhnya berselimut rongsokan limbah
tak berguna. Jantungnya berhenti, urat nadi putus, kulit melepuh, wajah, bibir,
sekujur tubuh pucat. Nirmala mati disiksa hidup, ber-alas kebencian, dendam, amarah
pada mereka. Narapidana tanpa hukuman, menjarah, merampas hak hidup wanita tak
berdaya. Mengabaikan toleransi sesama jiwa, merenggut hak asasi luhur. Sementara
saat jasadnya membusuk di pucuk bukit sampah. Orang-orang melihatnya tergusur
alat berat, tanpa ada kalimat duka dan air mata.
Jambi
30 Mei 2018
Nirmala
2
Dari tatapmu yang mengintai
Bayangan lama menempel di bola mata
Merah! Ketika kau membuka perlahan
Darah membeku di sekitarnya
Terkurung oleh maksud yang tak sampai.
Kau melihat hidup di ujung ngarai
Tepat dari tatapmu, membayang batu-batu cadas yang
tajam
Yang sengaja mendekat, tanpa maksud apa-apa
Yang tiba-tiba terlempar tanpa dorongan
Menembus bola matamu.
Dari tatapmu yang mengintai
Menerawang di sekitar ngarai
Yang tiba-tiba merah
Terkurung maksud yang tak sampai
Seorangpun enggan membalas tatapmu!
Jambi, 17 Juli 2018
Sepasang
Sepatu
Sepasang sepatu lusuh, dengan lobang menganga
Dijinjing jemari tua yang kotor.
Garis-garis hidup, nanah bertanah, kerutan usia pada
Nirmala
Wanita yang lewat sepanjang gang hitam di tengah
malam.
Berkain debu, lesung jarum di pipi
Sekitar mata tergenang air hitam yang lama terbendung
Berdesak keluar! membanjir sisa-sisa usia
Sekujur tubuh basah, aromanya terbawa angin.
Nirmala tidak punya otak!
Sepasang sepatu terus dijinjing, sedang kakinya
terbakar panas aspal
Seharian sampai gulita tiba-tiba menyergap dalam sunyi
Nirmala mendesah sendiri, Sakit!
Dia duduk di atas nisan, di bawah terang purnama
Sepasang sepatu yang baru saja kusadari berukuran
kecil
Ditaruh pelan-pelan di atas kubur, sambil berucap:
‘Allahu Akbar, aku rindu buah hatiku’
Nirmala menangis sendu
Tangannya menadah dan berdoa, seorangpun enggan merayu
Sekedar mengucap kalimat duka,
pada anak satu-satunya.
Yang tewas di tikam malam, ketika pesta ulang tahun
sederhana
Di tengah tumpukan sampah, mereka bernyanyi
Nirmala memberi sepasang sepatu lucu yang selalu
diimpikannya
Sebagai tanda ‘selamat panjang usia’.
Jambi, 29 Juli
2018


Terbaik bang. Terus berkarya bng
ReplyDelete