Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Tuesday, July 17, 2018

GALAKSI


GALAKSI

"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"


       Toko kue itu baru saja buka. Jam sudah menunjukkan pukul 07.00, burung-burung baru saja bangun dan bersiap untuk terbang. Sementara sebuah pohon cemara di halaman terus merintikkan embun yang menempel. Daun-daunnya tampak segar, tidak ada yang lebih sejuk daripada suasana pagi. Di sebuah toko kue ‘Galaksi’ yang terletak di tengah Kota Jambi. Halamannya hijau, rumput-rumput tumbuh tidak begitu tinggi. Bagai permadani yang menyambut pelanggan sepanjang hari. Di pinggirnya deretan bunga mawar, kamboja dan asoka tumbuh cukup lebat. Menjadikan Galaksi lebih berwarna, sekaligus meningkatkan mutu dan kualitas.
       Aroma kue tercium sampai ke jalan raya. Mereka baru saja mengangkat kue-kue itu dari pemanas. Etalase yang sudah dibersihkan, dilapis dengan kain berwarna merah muda. Wadah-wadah yang sudah sesak dihimpit ratusan kue, tersusun rapi di sana. Melingkar mengikuti bentuk etalase. Toko itu menyediakan beragam jenis kue. Klepon, Kue Lapis, Onde-Onde, Jalangkote merupakan beberapa kue yang hadir menempati etalase. Galaksi adalah salah satu toko kue terbesar di Jambi. Namanya sudah dikenal oleh kebanyakan orang.
        Canesa Vena Tici, wanita cantik yang sudah bekerja selama satu tahun di Galaksi. Dia sedang menyapu lantai bagian depan. Menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab. Itulah mengapa Bima Sakti, pendiri toko kue Galaksi bangga dengan kinerjanya. Banyak yang suka dengan kepribadian Canesa. Karyawan, pelanggan sampai Bima Sakti sendiri tertarik padanya.
       Wajah cantik dengan kulit putih dan rambut terurai sebahu. Sepintas Canesa tampak seperti wanita biasa. Tapi dia memiliki kesulitan dalam pendengaran. Ketika usianya lima tahun, Canesa mengalami kecelakaan yang sangat menyeramkan. Kejadian itu membuat Canesa tertekan selama lima belas tahun. Canesa kehilangan pendengaran! Berulang kali dirinya berusaha untuk bunuh diri. Beruntung masih bisa dicegah oleh keluarga.
      Sejak saat itu dirinya berusaha untuk terbiasa. Menjalani hari demi hari dengan ketidak nyamanan. Berusaha menerima kenyataan yang pahit. Menikmati kehidupan baru sebagai seorang disabilitas. Gejolak dalam diri cukup rumit, susah untuk membiasakan diri pada sesuatu yang tidak pernah disuka.
       Bertahun-tahun Canesa mengurung diri di rumah. Meninggalkan indahnya masa kecil seperti teman-teman yang lain. Menghindar karena malu! Dia merasa berbeda. Disaat semua orang berlarian, bercanda, bermain sesuka hati. Canesa berusaha keras mempelajari bahasa isyarat. Dibimbing seorang guru yang dipercaya oleh keluarganya. Bukan cuma Canesa! Keluarga dan teman dekat juga turut belajar. Guna berkomunikasi dengan Canesa.
       “Tidak ada yang perlu disesali!” Begitu kata ibu yang selalu memompa kembali semangat anak kesayangannya. “Semua yang terjadi, harus disyukuri!” Hingga sampai sekarang Canesa sudah beranjak dari masa-masa sulit. Menikmati kehidupan yang baru. Menerima dengan ikhlas, kenyataan yang ada.
       Wanita itu melamar pekerjaan di toko kue Galaksi. Di antara banyaknya berkas yang masuk. Entah kenapa Bima tertarik dengan berkas Canesa. Sejak membaca pengalaman hidupnya, Bima tersentuh dan langsung memberikan kesempatan bekerja untuk Canesa. Jumpa pertama mereka terjadi pada tanggal 20 November 2010. Seorang wanita masuk ke ruang kerjanya. Bima tidak bisa menebak getaran apa yang ada dalam dada? Mungkinkah dia jatuh cinta pada jumpa pertama? Sinar Canesa sulit dipadamkan. Seperti arti dari namanya ‘Galaksi Bunga Matahari’.
       “Namamu Canesa Vena Tici?” Pertanyaan itu hanya dijawab dengan senyuman oleh Canesa. “Hai...!” Sungguh! Bima sangat bingung. Mengapa wanita yang ada di hadapannya tidak menjawab sama sekali. Bima melambaikan tangan di wajah Canesa. “Kamu sakit?” Tidak juga pertanyaan itu dibalas.
“Maaf, aku tidak bisa mendengarmu!”
Bima tertawa, bagaimana mungkin suara yang keras tidak terdengar olehnya? “Kenapa?” Kali ini Bima membalas dengan gerakan tubuh sama seperti yang Canesa lakukan. Tetap saja! Canesa tidak menjawab. Bima menuliskan kata itu di secarik kertas, memberikannya pada Canesa.
       “Sejak usiaku lima tahun, aku kehilangan pendengaran. Saat itu Ayah sedang mengantarku ke sekolah. Ketika motor yang kami kendarai mau menyalip, tiba-tiba ada sebuah mobil dari belakang menyerempet.” Susah payah Canesa menjelaskan. Setiap kali dirinya ingat dengan kejadian itu. Kepedihan selalu datang menyergap. “Kami terjatuh, aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada ayah. Waktu itu aku tidak sadarkan diri. Berjuang menjalani masa kritis. Ketika aku sadar, aku seperti berada pada dunia lain. Aku tidak bisa mendengar apapun. Barulah ketikah ibu menjelaskan, menuliskan sesuatu padaku. Akupun sadar! Aku kehilangan pendengaran.”
     Bima terdiam, wajahnya sayu menyimak kisah yang menimpa Canesa. “Bagaimana kondisi ayahmu?”
Air mata mengucur dari celah mata Canesa “Ayah meninggal...” Pecahlah tangis itu sangat dalam. Canesa menutup mata, menghapus air yang tidak bisa berhenti mengalir dari matanya.
“Maaf sudah membuatmu sedih!” Bima sekarang tahu apa yang dimaksud oleh Canesa di lembar berkas. Dia mengerti apa yang dituliskannya mengenai ‘kenyataan pahit’ yang selalu diutarakan. Bima terbalut dengan kesedihan yang dirasakannya. Tangannya menggapai wajah Canesa, dihapusnya air mata wanita itu. Bima tersenyum, barusaha menenangkan. “Aku menerimamu!”
“Apa? Aku tidak bisa mendengarmu!”
Bima menuliskannya di secarik kertas “Aku menerimamu, mulai besok kau bisa bekerja di sini!”
       Tidak perlu dijelaskan bagaimana perasaannya, dia sangat senang! Ada seorang pria baik yang mau mempekerjakan seorang Canesa.
“Terima kasih, pak. Terimakasih....”
“Panggil saja, Bima!”
Kejadian itu tidak pernah terbayangkan! Bertemu Bima, mendapatkan pekerjaan. Sungguh ini kali pertama dia merasa dihargai. Sepanjang hari, Canesa terbayang semuanya. Dia bisa membayangkan alurnya dari awal, sampai serinci mungkin. Memang bagi kebanyakan orang itu hal yang lumrah, tidak bagi Canesa! Itu merupakan pencapaian terbesar.
       Ketika dia berada di kamar, membaca kembali tulisan tangan Bima. Entah kenapa tiba-tiba wajah pria itu selalu terbayang. Bila diingat kembali, Bima itu ganteng juga! Dari setiap goresan pena, Canesa terbayang bau tubuh Bima. Diciumnya kertas itu, menggelora dalam diri perasaan yang sudah lama tidak dia rasa. Perasaan yang lama terkubur oleh kekurangan.
     Pintu kamar terbuka, Ibu menghampiri Canesa. “Bahagia sekali nampaknya?” Ibu sudah tahu kalau Canesa mendapat pekerjaan. Tapi bukan itu yang ibu simpulkan, dia bisa merasakan Canesa kembali bergairah menjalani hidup. Bukan saja karena pekerjaan, tapi ada alasan lain. Tidak pernah ibu melihat Canesa sebahagia ini. Ibu berkomunikasi dengan bahasa isyarat. “Kenapa, kok nampaknya senang sekali?”
Hubungan Ibu dan Canesa sangat dekat. Canesa selalu menceritakan seluruh sejarah yang dilalui. “Iya dong bu.. Kan diterima kerja!”
“Ibu rasa bukan cuma karena itu!”
Canesa diam, tersenyum tipis pada ibu “Tadi Canesa bertemu Bima Sakti. Pemilik toko kue tempat Canesa kerja. Orangnya baik, Canesa merasa sangat dihargai!”
Ibu duduk di samping Canesa “Ibu senang sekali melihat kamu hari ini. Belum pernah ibu melihat dirimu merasa sangat semangat seperti sekarang.”
“Ibu tahu gak, waktu Canesa ceritakan pengalaman hidup. Bima menyimak dengan serius, dia juga bisa merasakan apa yang Canesa rasakan!”
“Sebaik apapun orang di mata kita. Pasti juga pernah merasakan cerita yang pahit.”
“Terus waktu tahu Canesa tidak bisa mendengar, Bima tidak menyuruh saya keluar seperti waktu Canesa melamar kerja di tempat lain. Mereka tidak mengizinkan Canesa kerja di sana. Tapi Bima langsung menerima Canesa.”
“Kamu suka dengan tempat kerjamu sekarang?”
“Pasti suka dong, Bu. Canesa sudah tidak sabar mau kerja di sana.”
“Suka karena tempat kerjanya atau pemiliknya.”
         Canesa terdiam! Dia menjadi gugup, Ibu berhasil menggodanya. “Suka.... semuanya, Bu.”
Ibu tertawa ringan “Ibu bisa merasakan hatimu. Dirimu anak Ibu! sekalipun kau berbohong tapi Ibu bisa merasakan perasaanmu. Belum pernah Ibu melihat kamu sebahagia ini!” Dari tadi Canesa sudah sadar, ada yang aneh di hatinya. Perasaan, getaran, api yang membakar semuanya berkumpul untuk memberontak di dalam organ yang disebut hati. Canesa sudah tahu sejak awal, sebelum Ibu memancingnya kembali. Dirinya menyukai pria itu, Bima Sakti.
       Proses menyesuaikan diri dengan lingkungan awalnya terasa sulit. Sudah terlalu lama Canesa terkurung dalam kesendirian. Hari itu, dia merasa asing dalam keramaian. Pekerjaan ringan terasa sangat berat. Pelanggan tidak mengerti dengan bahasa isyarat. Begitupun Canesa yang tidak bisa mendengar omongan pelanggan. Dia seperti tidak melakukan apapun, tidak ada seorangpun yang mau dilayani olehnya. Kalaupun ada, itu hanya sebentar karena mereka tidak tahu kondisi Canesa.
     Rekan kerja bisa memaklumi, mereka melihat Canesa kewalahan. Meskipun mereka ikhlas membantu, Canesa tidak enak hati. Dia seperti tidak melakukan apapun! Tanggungjawabnya sebagai pegawai terasa hambar. Apakah pekerjaan itu sangat berat bagi Canesa? Dia rasa tidak terlalu. Hanya saja kebanyakan orang belum bisa menyesuaikan diri, begitupun Canesa.
        “Ada yang mau aku katakan!”
“Kamu bisa bahasa isyarat?” Canesa baru tahu kalau Bima ternyata juga mahir menggunakan bahasa Isyarat.
“Cuma sedikit saja!”
Canesa gugup “Ada apa?”
“Bisa kita duduk sebentar!” Mereka duduk berhadapan di kursi kayu pada pojok ruang. “Apa ada masalah?”
Raut wajah Canesa seketika berubah, dia menjadi sedikit cemberut “Kerjaku buruk!” Wajahnya berubah sedih.
Bima tidak tega melihatnya “Kerjamu bagus, semangatmu, hanya saja kebanyakan dari mereka belum terbiasa.”
“Maaf!”
“Kamu tidak salah! Tidak ada yang harus dipermasalahkan. Hanya soal pembiasaan.”
“Aku hanya ingin menjadi seperti manusia normal. Diterima kerja, lalu....” Nada bicara Canesa pelan, matanya sayu “Menikmati semuanya seperti setiap orang.”
Bima diam, memandang wajah Canesa cukup lama “Nanti malam ada waktu?”
“Waktu?”
“Iya, aku mau mengajakmu jalan.”
“Kemana?”
“Keliling kota.”
       Canesa kaget! Bosnya mengajak dia untuk jalan berdua. Mimpikah? Bagaimanapun, Canesa tidak beranjak. Dia mengangguk, mengikuti ajakan itu. Sisa-sisa hari, Canesa menghabiskannya dengan termenung. Dia tidak sedikitpun beranjak untuk menghampiri pengunjung. Bima memberikan tugas baru untuknya. Wanita itu bertanggungjawab untuk menjaga kebersihan toko. Selagi karyawan lain sibuk melayani pelanggan. Canesa berkeliling mencari noda-noda yang menempel.
       Meskipun demikian, Canesa tidak tersinggung. Sekalipun secara kasar tugasnya itu sebagai Cleaning Servis. Tidak baginya, itu adalah tugas yang luar biasa. Canesa bisa beradaptasi hanya dengan waktu setengah jam. Meskipun harapannya, dia masih bisa membantu karyawan lain untuk melayani pelanggan.
       Canesa menatap ke luar jendela. Dia mengenakan kaos biru muda dan celana jeans. Bima membuka pintu mobil, menghantar Canesa untuk duduk di sebelahnya. Perjalanan itu sungguh membingungkan. Apa maksud Bima mengajaknya pergi? Getaran itu kembali sampai di hati Canesa. Kali ini bukan dari coretan kertas atau kumpulan berkas, tapi pria itu berada di sebelahnya. Mengajaknya jalan, hanya berdua. Di malam minggu yang romantis. Langit-langit bertabur bintang, mengarahkan mereka pada perasaan yang sama.
         Angin bertiup dari arah sungai. Mereka duduk di tepinya, memandang sungai Batanghari yang gelap tertutup malam. Di seberang, sebilas cahaya tiba-tiba menyambut mereka. Gentala Arasy menampilkan keromantisan yang tidak biasa. Bayang-bayang wajah Canesa, sungguh mendekati sempurna. Menutup kekurangan yang dimiliki.
       “Sebenarnya aku tidak ingin dirimu mengerjakan tugas itu!”
“Tidak apa-apa, itu yang terbaik dan aku menyukainya.”
“Perempuan sepertimu pernah hadir dihidupku!”
“Maksudmu?”
“Aku pernah mencintai wanita, persis sepertimu. Kalian punya kelebihan dan kekurangan yang sama. Aku melihatnya kembali hadir dalam dirimu”
Wajah Canesa memerah “Kemana dia?”
“Sudah mendahului kita, tuhan sayang padanya!”
“Itulah mengapa dirimu paham bahasa isyarat.”
Bima mengambil sebuah foto dari saku bajunya “Sejak kecil aku hidup di tengah mereka. Ibuku seorang guru di Sekolah Luar Biasa. Aku besar di sana, bermain bersama mereka.”
“Jadi yang membuatmu lancar bukan wanita itu.”
“Bukan! Lingkungan yang mengajarkanku. Aku ingin menjadi sepertimu.”
“Kenapa?”
“Kau tidak harus mendengarkan berbagai cacian di luar sana. Masa kecilku rumit. Ayahku sebelum meninggal, pernah menghamili wanita lain”
        Canesa memegang dadanya, kaget mendengar fakta itu. “Lalu?”
“Ayah menikah lagi. Ibu mengizinkan dengan terpaksa. Aku bisa melihat kepedihan dari wajah ibu. Keluarga kami tidak harmonis seperti dulu.” Canesa memegang jemari Bima. Menariknya dengan keras, berlari menuju tengah sungai. Di atas jembatan Gentala Arasy, bintang yang bersinar menatap mereka. Menyaksikan perasaan yang belum pernah dirasakan oleh Canesa.
       Ternyata benar, setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Setiap penyesalan pasti ada penawar. Saat ini, pria di sebelah Canesa adalah penawar yang ampuh. Rasa itu, kembali mengalir ke jiwanya. Canesa tidak canggung lagi, dia menikmati setiap detik kebersamaan itu. Sebelum malam memisahkan mereka kembali. Lalu Canesa  hanya mampu mencium aroma coretan kertas. Berhayal Bima ada di sebelahnya, menjaganya hingga terlelap.
     “Di matamu, aku melihat kehidupan!” Bima mendekap tubuh Canesa. Tangannya merangkul di pinggang wanita itu. “Tuhan tidak pernah tidur, dia bisa melihatmu berjuang. Tuhan menurunkan ujian agar dirimu bisa menyelesaikan. Kekurangan padamu adalah kekurangan padaku juga. Terkadang apa yang kita pikir nyaman, tapi sebetulnya belum tentu demikian. Kita hanya perlu membiasakan untuk menikmati kehidupan.
“Aku akan menikmati saat-saat seperti ini. Kita bermain di tengah bintang. Saling bercerita mengenai kenangan masa lampau. Menghirup udara yang sama. Menatap ke ujung sungai yang sama. Sebelum waktu menutup malam. Akhirnya kita kembali pada kenyataan.”
       Pelukan itu semakin erat. Canesa menyandarkan kepalanya ke dada Bima. Aroma tubuh mereka saling menyatu. Kemudian mereka saling menatap. Mendekatkan wajah perlahan. Saat jarak antara mereka hanya terpaut satu jari. Ciuman itu mendarat tepat ke bibir Canesa. Mereka tenggelam dalam asmara yang begitu dalam.
***
       Kemahiran kerjanya semakin meningkat. Canesa wanita yang bertanggungjawab. Kakinya lincah bergerak berpindah-pindah tempat. Malam itu selalu terngiang di pikirannya. Galaksi mereka bersatu pada titik ledakan yang besar. Meninggalkan serpihan-serpihan kecil yang menjadi koleksi pribadi. Kenangan itu telah membuat Canesa bahagia. Tapi setelahnya, Bima menjauh. Canesa selalu bertanya pada dirinya. Ada apa pada Bima?
      Jawaban yang dicari tidak kunjung ketemu. Kedekatan mereka malam itu adalah yang pertama dan terakhir. Bima berubah menjadi lebih pendiam, hanya kepada Canesa. Ingin sekali dia bertanya langsung pada pimpinannya itu. Tapi tidak kunjung terlaksana.
     Canesa Vena Tici, sedang menyapu lantai bagian depan. Dari belakang ada tangan yang memegang pundaknya. Canesa tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh orang itu. Tanpa basa-basi sepucuk undangan disodorkan untuk Canesa. Pernikahan Bima Sakti dan Anggun akan berlangsung esok hari.
       Rasa itu sudah diperhitungkan jauh hari. Seluruh tubuhnya runtuh. Hati Canesa hancur tanpa sisa. Ternyata Galaksi Bima Sakti dan Bunga Matahari tidak akan pernah menyatu. Mereka hanyalah bagian dari antariksa yang berbeda, jauh! Berdiri sendiri tanpa pernah terlilit pada ikatan apapun. Galaksi yang Canesa tumpangi sudah meledak, yang tersisa hanya debu-debu. Dia kembali jatuh pada kehidupan yang lama. Menjalani hari-hari berat, bukan hanya menghadapi gangguan di telinga. Juga gangguan pada hati yang tidak dapat lagi merasakan apapun. Mengapa Bima mengajak Canesa? Memberikan kenangan yang begitu romantis. Mengapa Bima menciumnya malam itu? Bila pada akhir cerita, hatinya berlabuh pada wanita lain. Canesa begitu kecewa, dirinya tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang nyata dan abadi.



      

      

              
          

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *