GALAKSI
![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |
Toko kue itu baru saja buka. Jam sudah
menunjukkan pukul 07.00, burung-burung baru saja bangun dan bersiap untuk
terbang. Sementara sebuah pohon cemara di halaman terus merintikkan embun yang
menempel. Daun-daunnya tampak segar, tidak ada yang lebih sejuk daripada
suasana pagi. Di sebuah toko kue ‘Galaksi’ yang terletak di tengah Kota Jambi. Halamannya
hijau, rumput-rumput tumbuh tidak begitu tinggi. Bagai permadani yang menyambut
pelanggan sepanjang hari. Di pinggirnya deretan bunga mawar, kamboja dan asoka
tumbuh cukup lebat. Menjadikan Galaksi lebih berwarna, sekaligus meningkatkan
mutu dan kualitas.
Aroma kue tercium sampai ke jalan raya.
Mereka baru saja mengangkat kue-kue itu dari pemanas. Etalase yang sudah
dibersihkan, dilapis dengan kain berwarna merah muda. Wadah-wadah yang sudah
sesak dihimpit ratusan kue, tersusun rapi di sana. Melingkar mengikuti bentuk
etalase. Toko itu menyediakan beragam jenis kue. Klepon, Kue Lapis, Onde-Onde,
Jalangkote merupakan beberapa kue yang hadir menempati etalase. Galaksi adalah
salah satu toko kue terbesar di Jambi. Namanya sudah dikenal oleh kebanyakan
orang.
Canesa Vena Tici, wanita cantik yang
sudah bekerja selama satu tahun di Galaksi. Dia sedang menyapu lantai bagian
depan. Menjalankan tugas dengan penuh tanggungjawab. Itulah mengapa Bima Sakti,
pendiri toko kue Galaksi bangga dengan kinerjanya. Banyak yang suka dengan
kepribadian Canesa. Karyawan, pelanggan sampai Bima Sakti sendiri tertarik
padanya.
Wajah cantik dengan kulit putih dan
rambut terurai sebahu. Sepintas Canesa tampak seperti wanita biasa. Tapi dia
memiliki kesulitan dalam pendengaran. Ketika usianya lima tahun, Canesa mengalami
kecelakaan yang sangat menyeramkan. Kejadian itu membuat Canesa tertekan selama
lima belas tahun. Canesa kehilangan pendengaran! Berulang kali dirinya berusaha
untuk bunuh diri. Beruntung masih bisa dicegah oleh keluarga.
Sejak saat itu dirinya berusaha untuk
terbiasa. Menjalani hari demi hari dengan ketidak nyamanan. Berusaha menerima
kenyataan yang pahit. Menikmati kehidupan baru sebagai seorang disabilitas. Gejolak dalam diri cukup
rumit, susah untuk membiasakan diri pada sesuatu yang tidak pernah disuka.
Bertahun-tahun Canesa mengurung diri di
rumah. Meninggalkan indahnya masa kecil seperti teman-teman yang lain. Menghindar
karena malu! Dia merasa berbeda. Disaat semua orang berlarian, bercanda,
bermain sesuka hati. Canesa berusaha keras mempelajari bahasa isyarat.
Dibimbing seorang guru yang dipercaya oleh keluarganya. Bukan cuma Canesa!
Keluarga dan teman dekat juga turut belajar. Guna berkomunikasi dengan Canesa.
“Tidak ada yang perlu disesali!” Begitu
kata ibu yang selalu memompa kembali semangat anak kesayangannya. “Semua yang
terjadi, harus disyukuri!” Hingga sampai sekarang Canesa sudah beranjak dari
masa-masa sulit. Menikmati kehidupan yang baru. Menerima dengan ikhlas,
kenyataan yang ada.
Wanita itu melamar pekerjaan di toko kue
Galaksi. Di antara banyaknya berkas yang masuk. Entah kenapa Bima tertarik
dengan berkas Canesa. Sejak membaca pengalaman hidupnya, Bima tersentuh dan
langsung memberikan kesempatan bekerja untuk Canesa. Jumpa pertama mereka
terjadi pada tanggal 20 November 2010. Seorang wanita masuk ke ruang kerjanya. Bima
tidak bisa menebak getaran apa yang ada dalam dada? Mungkinkah dia jatuh cinta
pada jumpa pertama? Sinar Canesa sulit dipadamkan. Seperti arti dari namanya
‘Galaksi Bunga Matahari’.
“Namamu Canesa Vena Tici?” Pertanyaan itu
hanya dijawab dengan senyuman oleh Canesa. “Hai...!” Sungguh! Bima sangat bingung.
Mengapa wanita yang ada di hadapannya tidak menjawab sama sekali. Bima
melambaikan tangan di wajah Canesa. “Kamu sakit?” Tidak juga pertanyaan itu
dibalas.
“Maaf,
aku tidak bisa mendengarmu!”
Bima
tertawa, bagaimana mungkin suara yang keras tidak terdengar olehnya? “Kenapa?”
Kali ini Bima membalas dengan gerakan tubuh sama seperti yang Canesa lakukan.
Tetap saja! Canesa tidak menjawab. Bima menuliskan kata itu di secarik kertas,
memberikannya pada Canesa.
“Sejak usiaku lima tahun, aku kehilangan
pendengaran. Saat itu Ayah sedang mengantarku ke sekolah. Ketika motor yang
kami kendarai mau menyalip, tiba-tiba ada sebuah mobil dari belakang
menyerempet.” Susah payah Canesa menjelaskan. Setiap kali dirinya ingat dengan
kejadian itu. Kepedihan selalu datang menyergap. “Kami terjatuh, aku tidak tahu
pasti apa yang terjadi pada ayah. Waktu itu aku tidak sadarkan diri. Berjuang
menjalani masa kritis. Ketika aku sadar, aku seperti berada pada dunia lain.
Aku tidak bisa mendengar apapun. Barulah ketikah ibu menjelaskan, menuliskan
sesuatu padaku. Akupun sadar! Aku kehilangan pendengaran.”
Bima terdiam, wajahnya sayu menyimak
kisah yang menimpa Canesa. “Bagaimana kondisi ayahmu?”
Air
mata mengucur dari celah mata Canesa “Ayah meninggal...” Pecahlah tangis itu
sangat dalam. Canesa menutup mata, menghapus air yang tidak bisa berhenti
mengalir dari matanya.
“Maaf
sudah membuatmu sedih!” Bima sekarang tahu apa yang dimaksud oleh Canesa di
lembar berkas. Dia mengerti apa yang dituliskannya mengenai ‘kenyataan pahit’
yang selalu diutarakan. Bima terbalut dengan kesedihan yang dirasakannya. Tangannya
menggapai wajah Canesa, dihapusnya air mata wanita itu. Bima tersenyum,
barusaha menenangkan. “Aku menerimamu!”
“Apa?
Aku tidak bisa mendengarmu!”
Bima menuliskannya di secarik kertas “Aku menerimamu, mulai besok kau bisa bekerja
di sini!”
Tidak perlu dijelaskan bagaimana perasaannya,
dia sangat senang! Ada seorang pria baik yang mau mempekerjakan seorang Canesa.
“Terima kasih,
pak. Terimakasih....”
“Panggil
saja, Bima!”
Kejadian
itu tidak pernah terbayangkan! Bertemu Bima, mendapatkan pekerjaan. Sungguh ini
kali pertama dia merasa dihargai. Sepanjang hari, Canesa terbayang semuanya.
Dia bisa membayangkan alurnya dari awal, sampai serinci mungkin. Memang bagi
kebanyakan orang itu hal yang lumrah, tidak bagi Canesa! Itu merupakan
pencapaian terbesar.
Ketika dia berada di kamar, membaca
kembali tulisan tangan Bima. Entah kenapa tiba-tiba wajah pria itu selalu
terbayang. Bila diingat kembali, Bima itu ganteng juga! Dari setiap goresan
pena, Canesa terbayang bau tubuh Bima. Diciumnya kertas itu, menggelora dalam
diri perasaan yang sudah lama tidak dia rasa. Perasaan yang lama terkubur oleh
kekurangan.
Pintu kamar terbuka, Ibu menghampiri
Canesa. “Bahagia sekali nampaknya?” Ibu sudah tahu kalau Canesa mendapat
pekerjaan. Tapi bukan itu yang ibu simpulkan, dia bisa merasakan Canesa kembali
bergairah menjalani hidup. Bukan saja karena pekerjaan, tapi ada alasan lain.
Tidak pernah ibu melihat Canesa sebahagia ini. Ibu berkomunikasi dengan bahasa
isyarat. “Kenapa, kok nampaknya senang sekali?”
Hubungan
Ibu dan Canesa sangat dekat. Canesa selalu menceritakan seluruh sejarah yang
dilalui. “Iya dong bu.. Kan diterima kerja!”
“Ibu
rasa bukan cuma karena itu!”
Canesa
diam, tersenyum tipis pada ibu “Tadi Canesa bertemu Bima Sakti. Pemilik toko
kue tempat Canesa kerja. Orangnya baik, Canesa merasa sangat dihargai!”
Ibu
duduk di samping Canesa “Ibu senang sekali melihat kamu hari ini. Belum pernah
ibu melihat dirimu merasa sangat semangat seperti sekarang.”
“Ibu
tahu gak, waktu Canesa ceritakan pengalaman hidup. Bima menyimak dengan serius,
dia juga bisa merasakan apa yang Canesa rasakan!”
“Sebaik
apapun orang di mata kita. Pasti juga pernah merasakan cerita yang pahit.”
“Terus
waktu tahu Canesa tidak bisa mendengar, Bima tidak menyuruh saya keluar seperti
waktu Canesa melamar kerja di tempat lain. Mereka tidak mengizinkan Canesa
kerja di sana. Tapi Bima langsung menerima Canesa.”
“Kamu
suka dengan tempat kerjamu sekarang?”
“Pasti
suka dong, Bu. Canesa sudah tidak sabar mau kerja di sana.”
“Suka
karena tempat kerjanya atau pemiliknya.”
Canesa terdiam! Dia menjadi gugup, Ibu
berhasil menggodanya. “Suka.... semuanya, Bu.”
Ibu
tertawa ringan “Ibu bisa merasakan hatimu. Dirimu anak Ibu! sekalipun kau
berbohong tapi Ibu bisa merasakan perasaanmu. Belum pernah Ibu melihat kamu
sebahagia ini!” Dari tadi Canesa sudah sadar, ada yang aneh di hatinya. Perasaan,
getaran, api yang membakar semuanya berkumpul untuk memberontak di dalam organ yang
disebut hati. Canesa sudah tahu sejak awal, sebelum Ibu memancingnya kembali. Dirinya
menyukai pria itu, Bima Sakti.
Proses menyesuaikan diri dengan
lingkungan awalnya terasa sulit. Sudah terlalu lama Canesa terkurung dalam
kesendirian. Hari itu, dia merasa asing dalam keramaian. Pekerjaan ringan
terasa sangat berat. Pelanggan tidak mengerti dengan bahasa isyarat. Begitupun
Canesa yang tidak bisa mendengar omongan pelanggan. Dia seperti tidak melakukan
apapun, tidak ada seorangpun yang mau dilayani olehnya. Kalaupun ada, itu hanya
sebentar karena mereka tidak tahu kondisi Canesa.
Rekan kerja bisa memaklumi, mereka
melihat Canesa kewalahan. Meskipun mereka ikhlas membantu, Canesa tidak enak
hati. Dia seperti tidak melakukan apapun! Tanggungjawabnya sebagai pegawai
terasa hambar. Apakah pekerjaan itu sangat berat bagi Canesa? Dia rasa tidak
terlalu. Hanya saja kebanyakan orang belum bisa menyesuaikan diri, begitupun
Canesa.
“Ada yang mau aku katakan!”
“Kamu
bisa bahasa isyarat?” Canesa baru tahu kalau Bima ternyata juga mahir
menggunakan bahasa Isyarat.
“Cuma
sedikit saja!”
Canesa
gugup “Ada apa?”
“Bisa
kita duduk sebentar!” Mereka duduk berhadapan di kursi kayu pada pojok ruang. “Apa
ada masalah?”
Raut
wajah Canesa seketika berubah, dia menjadi sedikit cemberut “Kerjaku buruk!”
Wajahnya berubah sedih.
Bima
tidak tega melihatnya “Kerjamu bagus, semangatmu, hanya saja kebanyakan dari
mereka belum terbiasa.”
“Maaf!”
“Kamu
tidak salah! Tidak ada yang harus dipermasalahkan. Hanya soal pembiasaan.”
“Aku
hanya ingin menjadi seperti manusia normal. Diterima kerja, lalu....” Nada
bicara Canesa pelan, matanya sayu “Menikmati semuanya seperti setiap orang.”
Bima
diam, memandang wajah Canesa cukup lama “Nanti malam ada waktu?”
“Waktu?”
“Iya,
aku mau mengajakmu jalan.”
“Kemana?”
“Keliling
kota.”
Canesa kaget! Bosnya mengajak dia untuk
jalan berdua. Mimpikah? Bagaimanapun, Canesa tidak beranjak. Dia mengangguk,
mengikuti ajakan itu. Sisa-sisa hari, Canesa menghabiskannya dengan termenung. Dia
tidak sedikitpun beranjak untuk menghampiri pengunjung. Bima memberikan tugas
baru untuknya. Wanita itu bertanggungjawab untuk menjaga kebersihan toko.
Selagi karyawan lain sibuk melayani pelanggan. Canesa berkeliling mencari
noda-noda yang menempel.
Meskipun demikian, Canesa tidak
tersinggung. Sekalipun secara kasar tugasnya itu sebagai Cleaning Servis. Tidak baginya, itu adalah tugas yang luar biasa. Canesa
bisa beradaptasi hanya dengan waktu setengah jam. Meskipun harapannya, dia
masih bisa membantu karyawan lain untuk melayani pelanggan.
Canesa menatap ke luar jendela. Dia
mengenakan kaos biru muda dan celana jeans.
Bima membuka pintu mobil, menghantar Canesa untuk duduk di sebelahnya. Perjalanan
itu sungguh membingungkan. Apa maksud Bima mengajaknya pergi? Getaran itu
kembali sampai di hati Canesa. Kali ini bukan dari coretan kertas atau kumpulan
berkas, tapi pria itu berada di sebelahnya. Mengajaknya jalan, hanya berdua. Di
malam minggu yang romantis. Langit-langit bertabur bintang, mengarahkan mereka
pada perasaan yang sama.
Angin bertiup dari arah sungai. Mereka
duduk di tepinya, memandang sungai Batanghari yang gelap tertutup malam. Di
seberang, sebilas cahaya tiba-tiba menyambut mereka. Gentala Arasy menampilkan
keromantisan yang tidak biasa. Bayang-bayang wajah Canesa, sungguh mendekati
sempurna. Menutup kekurangan yang dimiliki.
“Sebenarnya aku tidak ingin dirimu
mengerjakan tugas itu!”
“Tidak
apa-apa, itu yang terbaik dan aku menyukainya.”
“Perempuan
sepertimu pernah hadir dihidupku!”
“Maksudmu?”
“Aku
pernah mencintai wanita, persis sepertimu. Kalian punya kelebihan dan
kekurangan yang sama. Aku melihatnya kembali hadir dalam dirimu”
Wajah
Canesa memerah “Kemana dia?”
“Sudah
mendahului kita, tuhan sayang padanya!”
“Itulah
mengapa dirimu paham bahasa isyarat.”
Bima
mengambil sebuah foto dari saku bajunya “Sejak kecil aku hidup di tengah
mereka. Ibuku seorang guru di Sekolah Luar Biasa. Aku besar di sana, bermain
bersama mereka.”
“Jadi
yang membuatmu lancar bukan wanita itu.”
“Bukan!
Lingkungan yang mengajarkanku. Aku ingin menjadi sepertimu.”
“Kenapa?”
“Kau
tidak harus mendengarkan berbagai cacian di luar sana. Masa kecilku rumit.
Ayahku sebelum meninggal, pernah menghamili wanita lain”
Canesa memegang dadanya, kaget mendengar
fakta itu. “Lalu?”
“Ayah
menikah lagi. Ibu mengizinkan dengan terpaksa. Aku bisa melihat kepedihan dari
wajah ibu. Keluarga kami tidak harmonis seperti dulu.” Canesa memegang jemari
Bima. Menariknya dengan keras, berlari menuju tengah sungai. Di atas jembatan
Gentala Arasy, bintang yang bersinar menatap mereka. Menyaksikan perasaan yang
belum pernah dirasakan oleh Canesa.
Ternyata benar, setiap kelebihan pasti
ada kekurangan. Setiap penyesalan pasti ada penawar. Saat ini, pria di sebelah
Canesa adalah penawar yang ampuh. Rasa itu, kembali mengalir ke jiwanya. Canesa
tidak canggung lagi, dia menikmati setiap detik kebersamaan itu. Sebelum malam
memisahkan mereka kembali. Lalu Canesa
hanya mampu mencium aroma coretan kertas. Berhayal Bima ada di
sebelahnya, menjaganya hingga terlelap.
“Di matamu, aku melihat kehidupan!” Bima
mendekap tubuh Canesa. Tangannya merangkul di pinggang wanita itu. “Tuhan tidak
pernah tidur, dia bisa melihatmu berjuang. Tuhan menurunkan ujian agar dirimu
bisa menyelesaikan. Kekurangan padamu adalah kekurangan padaku juga. Terkadang
apa yang kita pikir nyaman, tapi sebetulnya belum tentu demikian. Kita hanya
perlu membiasakan untuk menikmati kehidupan.
“Aku
akan menikmati saat-saat seperti ini. Kita bermain di tengah bintang. Saling
bercerita mengenai kenangan masa lampau. Menghirup udara yang sama. Menatap ke
ujung sungai yang sama. Sebelum waktu menutup malam. Akhirnya kita kembali pada
kenyataan.”
Pelukan itu semakin erat. Canesa
menyandarkan kepalanya ke dada Bima. Aroma tubuh mereka saling menyatu. Kemudian
mereka saling menatap. Mendekatkan wajah perlahan. Saat jarak antara mereka
hanya terpaut satu jari. Ciuman itu mendarat tepat ke bibir Canesa. Mereka
tenggelam dalam asmara yang begitu dalam.
***
Kemahiran kerjanya semakin meningkat.
Canesa wanita yang bertanggungjawab. Kakinya lincah bergerak berpindah-pindah
tempat. Malam itu selalu terngiang di pikirannya. Galaksi mereka bersatu pada
titik ledakan yang besar. Meninggalkan serpihan-serpihan kecil yang menjadi
koleksi pribadi. Kenangan itu telah membuat Canesa bahagia. Tapi setelahnya,
Bima menjauh. Canesa selalu bertanya pada dirinya. Ada apa pada Bima?
Jawaban yang dicari tidak kunjung ketemu.
Kedekatan mereka malam itu adalah yang pertama dan terakhir. Bima berubah
menjadi lebih pendiam, hanya kepada Canesa. Ingin sekali dia bertanya langsung
pada pimpinannya itu. Tapi tidak kunjung terlaksana.
Canesa Vena Tici, sedang menyapu lantai
bagian depan. Dari belakang ada tangan yang memegang pundaknya. Canesa tidak
bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh orang itu. Tanpa basa-basi sepucuk
undangan disodorkan untuk Canesa. Pernikahan Bima Sakti dan Anggun akan
berlangsung esok hari.
Rasa itu sudah diperhitungkan jauh hari.
Seluruh tubuhnya runtuh. Hati Canesa hancur tanpa sisa. Ternyata Galaksi Bima
Sakti dan Bunga Matahari tidak akan pernah menyatu. Mereka hanyalah bagian dari
antariksa yang berbeda, jauh! Berdiri sendiri tanpa pernah terlilit pada ikatan
apapun. Galaksi yang Canesa tumpangi sudah meledak, yang tersisa hanya
debu-debu. Dia kembali jatuh pada kehidupan yang lama. Menjalani hari-hari
berat, bukan hanya menghadapi gangguan di telinga. Juga gangguan pada hati yang
tidak dapat lagi merasakan apapun. Mengapa Bima mengajak Canesa? Memberikan
kenangan yang begitu romantis. Mengapa Bima menciumnya malam itu? Bila pada
akhir cerita, hatinya berlabuh pada wanita lain. Canesa begitu kecewa, dirinya
tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang nyata dan abadi.


No comments:
Post a Comment