Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Sunday, June 10, 2018

Irena: Ketika Bulan Hitam

"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"




1





Sore itu Irena tidak merasa damai, sesuatu menusuk hatinya menjadikannya perih. Dia bersembunyi di balik meja kamar, ada seseorang sedang mengejar. Dia mengintai Irena dari pagi, padahal Irena sedang bermain dengan hadiah ulang tahun. Kado yang seketika muncul dari alam mimpi, ketika pagi hari tergeletak di atas meja.
Hari ini ulang tahun yang ke-20. Tidak ada yang spesial, kecuali sebuah buku yang berjudul Aneka Resep Makanan Lezat. Hampir tawa tidak bisa diredam dalam diri Irena. Siapa yang memberikan hadiah se-lucu ini? Selama dua puluh kali perayaan ulang tahun, baru kali ini ada yang memberikan kado se-kocak ini.
Sejak kecil hobinya makan, banyak jenis makanan yang sudah Irena cicip selama dua puluh tahun. Paella, Croissant, currywurst sampai pada makanan tradisional Indonesia: Sate, Bakso, Tempoyak semua pernah dia cicip. Hingga akhirnya Irena mengkerucutkan satu pilihan makanan yang membuatnya tergila-gila. Makanan itu adalah Sate.
Di sebelah rumah ada sepasang suami istri berusia senja, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual Sate. Baginya itu adalah sate ter-enak yang pernah Irena cicip. Nama tempatnya Sate Kakek Nenek, paduan kecap, kacang, bawang, acar terpadu menjadi kesatuan kuah yang utuh. Kuah yang menyelimuti daging empuk, menggeliat dalam mulut. Menari untuk menggoda selera, menjadi candu untuk menyantapnya lagi.
Tiba-tiba ada seseorang sedang memegang gagang pintu. Firasat Irena aneh, dia sedang tidak mau diganggu hari ini. “Irena!” teriak seseorang dari luar. Tapi dirinya enggan untuk menyahut. Menundukkan kepala, bersembunyi di balik meja. Pintu mulai terbuka, Saras masuk menyibak selimut. Dia tidak menemukan Irena, tapi dia lupa bahwa ada kaca di sebelahnya. Kaca itu memantulkan tubuh Irena utuh. Irena ketahuan, Saras berhasil menemukannya.
    “Iren, ngapain kamu disitu?”
    “Menghindarimu kak!”
    “Memangnya aku Debt Collector? Sampai menghindar seperti itu.”
    “Lebih mengerikan”
“Ya, sudah” Saras duduk di atas kasur “Kalau begitu, sebagai Debt Collector aku mau menagih janjimu”
    “Janji apa?”
   “Itu yang semalam sudah dibicarakan secara empat mata.” Irena menggeleng “Kau harus jadi modelku sore ini.”
Saras merupakan kakak yang paling menyebalkan sepanjang hayat. Kecintaannya kepada dunia fotografi, selalu menyusahkan Irena. Dia kerap diajak Saras untuk menjadi model abal-abal. Padahal kalau boleh jujur, hasil cetakan fotonya tidak kalah dengan keahlian Irena.
    “Ohh... nooo... jangan hari ini, kak”
“Kamu sudah janji Iren, janji harus ditepati.” Saras bangkit dari kasur “Aku tunggu di luar! Kalau kamu belum juga siap-siap. Maka..... jangan harap ada makan malam untukmu.” Saras tersenyum sinis.
“Kan aku yang masak buat makan malam.”
“ya, pokoknya kamu harus siap-siap titik.”
Setelah itu, Saras pergi ke luar. Irena membuka laci, menyimpan buku resep serapi mungkin. Sedikit malas menuju lemari pakaian, mengambil celana Jeans dengan atasan kaos abu-abu. Sedikit merapikan rambut dan menambahkan sedikit Lip Gloss ke bibirnya yang tipis. Aku cantik! Pikir Irena sembari menghembus napas panjang. Berusaha memperbaiki mood yang sedari tadi rusak.
Di luar Saras sudah siap dengan kamera Analog pemberian kakek. Dia sedang membersihkan lensa yang mulai berdebu.
    “Kenapa tidak beli yang baru?”
    “Kamera ini dibuat sekitar tahun 1982, barang antik.”
    “Artinya barang bekas, jadi layak untuk di-museumkan”
“Justru barang lama seperti ini, harus dihargai. Ada banyak sejarah yang terjadi, dan ini adalah saksi bisunya.”
Irena tidak mau membahas lebih lanjut “Kita mau kemana?”
Saras meletakkan kamera ke dalam tas kecil, berdiri menghadap Irena “Ke Gentala, senja ini cuaca sedang mendukung.” 
Kebetulan Irena sedang tidak ada kuliah sampai malam. Meskipun sedikit enggan, dia sempatkan diri menemani Saras. Cuaca yang diperkirakan Saras tidak sesuai. Sore itu sedikit mendung, awan menghitam. Bagaimana mungkin mengambil gambar dengan kamera lawas sedangkan cuaca seperti ini? Dari dalam sedan merah, Irena melihat beberapa butir air turun dari langit. Membasahi kaca, rintik itu ikut memeriahkan sore yang begitu dingin.
    “Benarkan, sesuai perkiraan”
    Irena terpelongo “Sekarang hujan, kak!”
“Justru saat hujan adalah momen yang selalu dinanti” Omongan Saras begitu meyakinkan. “Makanan aja kalau basah lebih nikmat.”
“Itu makanan, kak.”
“Sama saja, anggap aja hujan ini efek seperti layaknya makanan. Kita tinggal menikmatinya.”
Irena memilih diam tidak menjawab pembelaan Saras yang terdengar konyol. Bagaimana caranya menyamakan masakan dan kamera? Irena tidak pernah membayangkan sebelumnya. Tapi benar juga, mendung di senja ini membuat mereka menjadi nyaman. Meski sedikit gelap, tapi bisa membuat Irena lupa dengan segala problem hidup. Untuk sesaat dia tidak lagi memikirkan tugas kuliah, percintaan, target dan karir. Irena menikmati hujan yang turun perlahan di luar jendela sedan merah yang mereka tumpangi.
Di pinggir Sungai Batanghari, Irena bisa lebih jelas melihat rintik yang mulai deras. Sepanjang pinggiran sungai, berjejer aneka macam makanan yang menggoda. Terkonsep rapi, serta deretan kursi-kursi plastik menghadap ke badan sungai. Mereka disajikan pemandangan indah Gentala Arasy yang diterpa lampu berwarna-warni. Dalam gelap, bangunan yang terhubung dengan jembatan khusus pejalan kaki itu tampak mewah.
Di atas meja kayu, tersedia Sate, Bakso lengkap dengan Teh hangat yang mereka pesan. Irena menyantap dengan lahap Sate yang tidak pernah absen untuk melengkapi isi perutnya.
    “Makan aja dulu kak!”
    “Sabar.... sabar...” Saras berusaha mengambil gambar sungai di bawah mendung.
    “Bagaimana kakak bisa lihai memakai kamera itu?”
    “Mudah saja...” Sebuah jepretan berhasil Saras ambil “Kau harus mencintainya!”
    “Kalau aku tidak cinta?”
    “Artinya kau mengambil langkah yang salah.”
    “Jadi, harus dibuang?”
    “tidak juga.”
    “Terus?”
“Bisa disimpan, barangkali suatu saat bisa berguna, atau malah kau bisa saja jatuh cinta di waktu yang tepat.”
Perjalanan mereka sore itu diakhiri dengan berfoto selfie. Irena merasa mulai menemukan mood yang baik. Benar kata Saras, hujan itu harus dinikmati. Sensasinya menjadikan dunia begitu menyenangkan.


***


Dulu ketika berusia sembilan tahun, Ibu dan Ayah mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam 00.01. Irena selalu terbangun tepat waktu seperti tahun-tahun sebelumnya. Di hari yang tidak ingin terlewatkan.Wajah mereka gembira melihat putri cantiknya semakin dewasa.
Siapa sangka ulang tahun hari ini, sekaligus mengenang kematian mereka yang ke-11 tahun. Kecelakaan mobil itu bahkan belum tuntas hingga sekarang. Pelaku belum juga berhasil ditemukan. Selama sebelas tahun ini, Irena selalu menanyakan kepada pihak berwajib, mengenai perkembangan kasus. Tetap saja kehampaan yang dia terima.
Sebenarnya Irena sudah ikhlas dengan kepergian mereka. Tapi masih ada rasa penasaran dalam hatinya. Siapakah pelakunya? Dia hanya ingin mendengar maaf darinya. Meskipun sejak lama sudah dimaafkan.
Ada suara keributan di ruang tengah. Seketika lampu mulai padam, ada yang tidak beres. Saras belum membayar listrik? Awalnya biasa saja, tapi Irena mulai gerah. Dia tidak bisa dengan kondisi panas, kulitnya bisa gatal dan memerah. Bahkan saat ini Irena hanya mengenakan singlet. Tetap saja merasa tidak nyaman.
Dengan memakai baju tidur kembali, Irena mencoba untuk melihat Ampere di ruang tengah. Ada yang sengaja menurunkan Ampere! Dia sudah tahu, ini adalah konsep lama yang sering digunakan untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Setelah menaikkan Ampere, Irena melihat ke sekeliling ruangan. Mencari mereka yang disangka ingin memberikan kejutan. Sengaja Irena berdiri di sana lima menit, tapi tidak terjadi apa-apa.
Dugaannya salah! Tidak ada perayaan malam itu. Irena yang salah menafsirkan keadaan. Matanya mulai sayu, ingin kembali ke kamar dan tertidur dengan pulas. Setelah mengambil secangkir air putih, dia kembali ke kamar. Tiba-tiba telepon berdering. “Mengganggu saja!” Karena Saras dan suaminya sudah terlelap di kamar. Mau tidak mau, Irena ikhlaskan diri untuk menerima telepon di jam 23.30.
    “Hallo...”
    “ah.. Hai..”
    “Dimas?”
    “Iya, sayang.”
Dimas adalah pacar Irena, mereka sudah menjalin hubungan sejak sebelas tahun silam. Bersama dia, Irena mulai bangkit dari kehampaan. Mulai mengerti caranya untuk ikhlas.
    “Kenapa tidak lewat Handphone?”
    “Aku tidak ada pulsa” Dimas seperti terbata-bata “Oh.. ya.”
    “Kamu kenapa Dimas? Sakit?” Irena memotong pembicaraan.
    “Enggak.”
    “Terus?”
    “Aku Cuma mau mengucapkan selamat ulang tahun.”
    “Tumben!”
    “Maksudnya?”
    “Tumben gak ke sini?”
    “Kemana?”
    “Ya kerumahku!”
Meski dia orang spesial. Terkadang tingkahnya, pembicaraannya membuat Irena kesal. Dia itu orangnya terkadang sedikit lemot. Tapi terkadang orangnya bijaksana, jadi angin-anginan.
    “Aku sibuk banget hari ini!”
    “Skripsi?”
    “Bukan.”
    “Jadi?”
    “Lembur”
    “Lembur... ngapain?”
    “Lembur untuk mencintaimu”
     Irena sedikit tersedak mendengar ucapannya. “Tumben gombal!”
    “Daripada gembel”
    “Lebih cocok gembel kok.”
    “Kamu mau?”
    “Engga sih...”
    “Kenapa?”
    “Entar kamu pergi terus, akunya gimana?”
    Dimas tertawa “ya, kamunya ikut!”
    “Engga mau...!”
    “Kenapa?”
    “Maunya kita sukses bersama.”
    “hehe.. bercanda, hari ini aku lembur ngurusi rumah makan ayah.”
    “Emang ayah kemana?”
    “Dia lagi sakit, jadi seharian ini aku yang gantiin.”
    “Harusnya berkelanjutan!”
    “Maunya gitu, tapi ayah gak ngebolehin.”
    “Ayah yang gak boleh atau kamu yang gak mau?”
Tidak ada suara balasan dari Dimas. Hanya terdengar suara keributan yang samar-samar. “Haloo....” senyap, sunyi, hampa tidak terdengar suara pria itu lagi. “Halo....” seketika telepon itu terputus. Irena mencoba menghubunginya lagi, tapi tidak diangkat.
Karena lelah, dia putuskan untuk pergi ke istana kamar. Mengambil air putih di sebelah telepon. Melangkah menuju pintu, membukanya dengan perlahan. Pintu kamarnya macet, seperti ada yang mendorong dari dalam. Irena paksakan pintu itu agar terbuka. Dorongan begitu keras, mendarat ke gagang pintu.
Irena terpelongo, bingung, aneh, ragu melihat segerombolan orang berada di kamar. Mereka membawa sebuah kue ulang tahun Chocolate Fudge kesukaannya.
    “Laras, Dimas, Anggun, Aji sejak kapan ada di sini?” Irena benar-benar terkejut.
    “Sejak mati lampu” mereka tertawa lepas.
    “Kok bisa masuk?”
    “Kak Saras dan Om Rafi yang menolong kami.” Mereka meledakkan Confetti, serpihan kertas warna-warni beterbangan di udara. “Selamat ulang tahun Irena!”


***


Pintu garasi terdengar keras, sepertinya sudah tertutup dengan rapat. Siapa yang membukanya? Mungkin hanya suara kucing yang kerap kali membenturkan diri ke sana. Suara itu terdengar lagi! Makin keras.
    “Siapa yang pulang?” Anggun terganggu dengan suara berisik itu.
    “Entahlah!”
    Tak lama berselang Rafi muncul dari balik pintu.
    “Om Rafi... Kirain siapa, Kak Saras mana?”
    “Itu!” Rafi menunjuk pada seorang wanita yang tergopoh membawa plastik belanjaan.
    “Gak dibantuin om?”
    “Dianya gak mau dibantu.”
Saras terpelongo melihat kondisi rumah sedang ramai. “Ehhh... Ada tamu, tumben malam-malam ke sini?”
Irena sedikit mengkerutkan wajah “Bukannya kakak yang mengizinkan mereka ke sini?”
    “Iya sih..” Saras terkekeh singkat “Ini, kakak belikan hadiah buatmu.”
    “Wahh... besar sekali kak.” Irena menggapai bingkisan kado besar yang mendarat di lantai. Mendadak Saras menepis tangannya.
  “Bukan yang ini, kalau ini sudah punya orang lain.” Irena menambah kerutan di wajahnya “Ini untukmu! Selamat ulang tahun.”
Irena menatap dengan penuh kehati-hatian pada bingkisan yang panjangnya setengah tangannya. Dari bentuknya sudah tidak meyakinkan, dia yakin isinya pasti di luar dugaan. Apa ini? Hatinya berontak terus berkata “jangan dibuka”.
    “Apa ini kak?”
    “Buka aja!”
    “Bom?”
    Saras tertawa lebar “Mana ada bom panjang!”
    “Bom model baru.”
    “Buka aja...!” Saras duduk menghadap Irena.
Dengan penuh perasaan was-was, Irena membuka kertas kado berwarna coklat yang membungkus benda aneh itu. Sulit, dia perlu tenaga lebih untuk mengupas habis bungkus itu. Ada perasaan tidak enak ketika Irena menatap kardus panjang yang tidak lagi dibingkis oleh kertas. Ketika jemarinya meraba, membukanya dengan hati-hati. Ya Tuhan! Benar pikirnya benda itu di luar dugaan.
    “Apa ini kak?”
“Ini......” Saras menepuk kedua telapak tangan dan membiarkannya menyatu “Spatula, kalau kita biasa menyebutnya Sudip.”
“Untuk apa?”
“Ya untuk dirimu masak, di hari ulang tahunmu ini kakak doakan masakanmu lebih bervariasi dan lebih nikmat”
“Sekalian saja kakak menyuruhku membuka rumah makan!” Irena sangat jengkel, tingkat kejengkelannya sudah sampai ke level maksimal.
“Maunya seperti itu!” Saras membuka plastik belanjaannya dengan semangat “Ini kakak belikan juga lengkap dengan sendok sayur untukmu.”
“Kak.....!”
Sumpah dia kesal, tapi juga ingin ketawa. Saras menatap ke arah Dimas.
    “Dimas ini pengusaha rumah makan?”
Dimas yang kaget namanya dipanggil lekas menoleh ke arah Saras “Punya ayah saya, bu.”
“Ahh... Jangan panggil bu, panggil aja kakak biar lebih akrab.”
“Eh... Iya kak” Dimas sedikit mengangguk.
“Nah, Irena bisa bantu-bantu Dimas dengan hadiah baru yang kakak beri.”
“Kak...!” Irena malas menanggapi dengan serius.
Saras tersenyum, matanya sedikit genit “Kakak ke kamar dulu, Om Rafi ada proyek dengan kakak.”
“Proyek apa?”
“Ra-ha-sia...” Cetus Saras sembari berjalan menuju kamar.
Saat Irena tidak melihat tubuh Saras lagi yang seutuhnya telah masuk ke kamar. Tiba-tiba ada suara seorang pria berbisik padanya.
“Kakakmu...” Suara itu serak-serak basah, tepatnya cool “Lagi kumat, maklumi saja!”
Saras memang sering kumat, bila itu terjadi dia bisa menjadi sangat amat menyebalkan. Bila ada kata yang lebih tinggi dari “sangat amat” maka itu layak dinobatkan untuk menggambarkan Saras. Terlepas dari itu semua, Irena kembali ke forum yang sedari tadi geli melihat adegannya dan Saras.
    “Kak Saras memang baik ya” Kalimat itu agak rancu di telinga Irena.
    “Larasku.... Dia itu nyebelin!”
“Tapi, kakakmu seru!” Dimas ikut menimpal pembicaraan yang menyimpang dari topik awal.
“Iya, jadi dirimu bisa membantu Dimas di rumah makannya” Perkataan Anggun itu sontak meledakkan sebuah kata “cieee....” ke tengah-tengah forum.
Ada seorang yang tidak terdengar suaranya dari tadi, Aji. Dia biasanya paling cerewet, paling suka ngejek orang.
    “Ji, kamu kenapa?”
Aji yang sadar dirinya sedang menjadi objek pengamatan, lantas tersadar dari lamunan.
“Lagi marahan sama Dinda?”
Aji diam, tanpa kata, tanpa suara, tanpa makna.
“Tuh... kan benar” Laras melanjutkan pembicaraan dengan nada tinggi “Ada apa? Cerita dong”
Aji membetulkan posisi duduknya melayangkan tatapan misterius. Saat ini sedang diadakan rapat darurat, untuk membahas pelanggaran hati yang terjadi pada Aji. Aji dan Dinda kerap kali mengalami patah hati. Mereka sering putus-nyambung kayak listrik. Saat romantis, mereka seperti Romeo dan Juliet yang paling sweet sepanjang masa. Bila sedang marahan, mereka lebih mengerikan dari perang dunia.
“Begini!” Sebuah kata itu meletuskan kebisuan Aji “Kemarin aku lihat Dinda, dia pergi ke kampus dengan seorang pria.”
“Siapa?” Irena memperhatikan dengan serius.
“Aku tidak tahu, pria itu mengantar pakai mobil putih.”
“Terus?”
“Ya, aku cemburu.”
“Terus...”
“Irena... Dia pria kaya, sedangkan aku cuma bisa nganterin Dinda pakai Sudiro!”
“Vespa bututmu!” Tegas Irena, dan wajah Aji tampak lebih kusut.
Ini adalah problem cinta yang kerap terjadi pada setiap orang. Kecemburuan menjadi api yang siap membakar hubungan. Api kecemburuan yang tidak terkendali, akan menghanguskan pondasi dari kedua hati yang mulai dibangun. Satu-satunya cara hanyalah menahan emosi.
    “jangan negatif thinking! Coba tanyakan baik-baik.”
    “Sudah Irena.... Tapi Whatsapp-nya ceklis.”
    “Telepon!”
    “hmmm” Aji mulai terdiam kembali “Aku tidak ada pulsa!”
Ada rasa kasihan melihat Aji, ketika hubungan mereka terkendala pulsa. Ingin ketawa tapi takut dikira ngejek. Ingin ngejek tapi takut dia tersinggung.
    “Ya elah Aji... Pulsa cuma tujuh ribu, beli aja!”
    Aji sedikit tertawa “hehe... Iya nanti aja Irena. Tanggal tua” tuntasnya.



***


“Tapi, ini serius loh. Dinda itu kayaknya nyimpan rahasia” Anggun memperkeruh suasana.
    “Rahasia apa?” Wajah Aji sudah tidak mengkerut, tapi kusut!
    “Pernah gak dirimu kepikiran, kenapa Dinda mudah aja mutusinmu, Ji?”
    “Ya, sebagian besar karena salahku.” Aji membela Dinda seketika.
    “Dan siapa yang sering ngajak balikan?”
    “Aku!”
    “Kenapa gak Dinda yang ngajak balikan?”
    “Ya... Mana mungkinlah cewek yang ngajak balikan.”
    “Mungkin saja.”
Aji tidak menanggapi dengan serius. Dia terus mencari alasan untuk memperbaiki nama baik Dinda.
    “Memangnya dirimu mau.... ngajak balikan mantan?”
    “Ya, enggak sih!”
    “nah, begitu juga Dinda!”
“Tapi...” Wajah Anggun datar “ini sudah kelewatan, Ji. Kalian itu sudah lebih lima kali putus-nyambung. Lima Kali!” Tegas Anggun.
“Biasa aja kok Anggun. Tandanya kami saling sayang, hanya belum pandai menahan ego.”
“Ini lebih dari sekedar ego.”
Tidak ada yang bicara selain Aji dan Anggun. Mereka menjadi penyimak yang baik.
    “Aku terlalu egois sama dia!”
    “Bukan”
    “Jadi?”
    “Kamu itu terlalu baik pada dia, Ji.”
    “Kalau aku baik, mana mungkin dia marah terus Anggun....”
“Di situ persoalannya, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Sesuatu yang menjadi api pengobar amarahnya.”
“Aku yakin Dinda hanya marah dalam persoalan biasa, persoalan cinta yang rumit.”
“Ini lebih rumit!”
“Serumit apa?”
“Serumit dirimu menahan rasa cemburu di hati!” Anggun menatap tajam ke arah Aji “Ji, ini tidak bisa terus berlanjut. Aku tahu dirimu cemburu karena Dinda sering digoda Bastian, ditambah lagi dirimu melihat Dinda ke kampus dengan cowok lain.”
“Terus?”
“Kau harus mengungkap semuanyas segera! Sebelum terlambat”
“Sudah terlambat, aku sudah jatuh pada cinta yang dalam.”
“Masih ada waktu untuk memperbaiki keputusan cintamu.”
“Sudah terlambat” Tuntas Aji dengan nada tinggi.
  

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *