![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |
1
Sore itu Irena
tidak merasa damai, sesuatu menusuk hatinya menjadikannya perih. Dia
bersembunyi di balik meja kamar, ada seseorang sedang mengejar. Dia mengintai
Irena dari pagi, padahal Irena sedang bermain dengan hadiah ulang tahun. Kado
yang seketika muncul dari alam mimpi, ketika pagi hari tergeletak di atas meja.
Hari ini ulang tahun yang ke-20. Tidak ada yang
spesial, kecuali sebuah buku yang berjudul Aneka
Resep Makanan Lezat. Hampir tawa tidak bisa diredam dalam diri Irena. Siapa
yang memberikan hadiah se-lucu ini? Selama dua puluh kali perayaan ulang tahun,
baru kali ini ada yang memberikan kado se-kocak ini.
Sejak kecil hobinya makan, banyak jenis makanan
yang sudah Irena cicip selama dua puluh tahun. Paella, Croissant, currywurst sampai pada makanan tradisional
Indonesia: Sate, Bakso, Tempoyak semua pernah dia cicip. Hingga akhirnya Irena
mengkerucutkan satu pilihan makanan yang membuatnya tergila-gila. Makanan itu
adalah Sate.
Di sebelah rumah ada sepasang suami istri berusia
senja, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menjual Sate. Baginya itu
adalah sate ter-enak yang pernah Irena cicip. Nama tempatnya Sate Kakek Nenek, paduan kecap, kacang,
bawang, acar terpadu menjadi kesatuan kuah yang utuh. Kuah yang menyelimuti
daging empuk, menggeliat dalam mulut. Menari untuk menggoda selera, menjadi candu
untuk menyantapnya lagi.
Tiba-tiba ada seseorang sedang memegang gagang
pintu. Firasat Irena aneh, dia sedang tidak mau diganggu hari ini. “Irena!”
teriak seseorang dari luar. Tapi dirinya enggan untuk menyahut. Menundukkan
kepala, bersembunyi di balik meja. Pintu mulai terbuka, Saras masuk menyibak
selimut. Dia tidak menemukan Irena, tapi dia lupa bahwa ada kaca di sebelahnya.
Kaca itu memantulkan tubuh Irena utuh. Irena ketahuan, Saras berhasil menemukannya.
“Iren, ngapain kamu disitu?”
“Menghindarimu kak!”
“Memangnya aku Debt Collector? Sampai menghindar
seperti itu.”
“Lebih mengerikan”
“Ya, sudah” Saras duduk di atas kasur “Kalau
begitu, sebagai Debt Collector aku mau menagih janjimu”
“Janji apa?”
“Itu yang semalam sudah dibicarakan secara empat
mata.” Irena menggeleng “Kau harus jadi modelku sore ini.”
Saras merupakan kakak yang paling menyebalkan
sepanjang hayat. Kecintaannya kepada dunia fotografi, selalu menyusahkan Irena.
Dia kerap diajak Saras untuk menjadi model abal-abal. Padahal kalau boleh
jujur, hasil cetakan fotonya tidak kalah dengan keahlian Irena.
“Ohh... nooo... jangan hari ini, kak”
“Kamu sudah janji Iren, janji harus ditepati.” Saras
bangkit dari kasur “Aku tunggu di luar! Kalau kamu belum juga siap-siap.
Maka..... jangan harap ada makan malam untukmu.” Saras tersenyum sinis.
“Kan aku yang masak buat makan malam.”
“ya, pokoknya kamu harus siap-siap titik.”
Setelah itu, Saras pergi ke luar. Irena membuka
laci, menyimpan buku resep serapi mungkin. Sedikit malas menuju lemari pakaian,
mengambil celana Jeans dengan atasan
kaos abu-abu. Sedikit merapikan rambut dan menambahkan sedikit Lip Gloss ke bibirnya yang tipis. Aku
cantik! Pikir Irena sembari menghembus napas panjang. Berusaha memperbaiki mood yang sedari tadi rusak.
Di luar Saras sudah siap dengan kamera Analog pemberian
kakek. Dia sedang membersihkan lensa yang mulai berdebu.
“Kenapa tidak beli yang baru?”
“Kamera ini dibuat sekitar tahun 1982, barang
antik.”
“Artinya barang bekas, jadi layak untuk di-museumkan”
“Justru barang lama seperti ini, harus dihargai.
Ada banyak sejarah yang terjadi, dan ini adalah saksi bisunya.”
Irena tidak mau membahas lebih lanjut “Kita mau
kemana?”
Saras meletakkan kamera ke dalam tas kecil,
berdiri menghadap Irena “Ke Gentala, senja ini cuaca sedang mendukung.”
Kebetulan Irena sedang tidak ada kuliah sampai
malam. Meskipun sedikit enggan, dia sempatkan diri menemani Saras. Cuaca yang
diperkirakan Saras tidak sesuai. Sore itu sedikit mendung, awan menghitam. Bagaimana
mungkin mengambil gambar dengan kamera lawas sedangkan cuaca seperti ini? Dari dalam
sedan merah, Irena melihat beberapa butir air turun dari langit. Membasahi
kaca, rintik itu ikut memeriahkan sore yang begitu dingin.
“Benarkan, sesuai perkiraan”
Irena terpelongo “Sekarang hujan, kak!”
“Justru saat hujan adalah momen yang selalu
dinanti” Omongan Saras begitu meyakinkan. “Makanan aja kalau basah lebih
nikmat.”
“Itu makanan, kak.”
“Sama saja, anggap aja hujan ini efek seperti
layaknya makanan. Kita tinggal menikmatinya.”
Irena memilih diam tidak menjawab pembelaan Saras
yang terdengar konyol. Bagaimana caranya menyamakan masakan dan kamera? Irena
tidak pernah membayangkan sebelumnya. Tapi benar juga, mendung di senja ini
membuat mereka menjadi nyaman. Meski sedikit gelap, tapi bisa membuat Irena
lupa dengan segala problem hidup. Untuk
sesaat dia tidak lagi memikirkan tugas kuliah, percintaan, target dan karir. Irena
menikmati hujan yang turun perlahan di luar jendela sedan merah yang mereka
tumpangi.
Di pinggir Sungai Batanghari, Irena bisa lebih
jelas melihat rintik yang mulai deras. Sepanjang pinggiran sungai, berjejer aneka
macam makanan yang menggoda. Terkonsep rapi, serta deretan kursi-kursi plastik menghadap
ke badan sungai. Mereka disajikan pemandangan indah Gentala Arasy yang diterpa lampu berwarna-warni. Dalam gelap,
bangunan yang terhubung dengan jembatan khusus pejalan kaki itu tampak mewah.
Di atas meja kayu, tersedia Sate, Bakso lengkap
dengan Teh hangat yang mereka pesan. Irena menyantap dengan lahap Sate yang
tidak pernah absen untuk melengkapi isi perutnya.
“Makan aja dulu kak!”
“Sabar.... sabar...” Saras berusaha mengambil
gambar sungai di bawah mendung.
“Bagaimana kakak bisa lihai memakai kamera itu?”
“Mudah saja...” Sebuah jepretan berhasil Saras
ambil “Kau harus mencintainya!”
“Kalau aku tidak cinta?”
“Artinya kau mengambil langkah yang salah.”
“Jadi, harus dibuang?”
“tidak juga.”
“Terus?”
“Bisa disimpan, barangkali suatu saat bisa
berguna, atau malah kau bisa saja jatuh cinta di waktu yang tepat.”
Perjalanan mereka sore itu diakhiri dengan berfoto
selfie. Irena merasa mulai menemukan mood yang baik. Benar kata Saras, hujan
itu harus dinikmati. Sensasinya menjadikan dunia begitu menyenangkan.
***
Dulu ketika berusia sembilan tahun, Ibu dan Ayah mengucapkan
selamat ulang tahun tepat jam 00.01. Irena
selalu terbangun tepat waktu seperti tahun-tahun sebelumnya. Di hari yang tidak
ingin terlewatkan.Wajah mereka gembira melihat putri cantiknya semakin dewasa.
Siapa sangka ulang tahun hari ini, sekaligus
mengenang kematian mereka yang ke-11 tahun. Kecelakaan mobil itu bahkan belum
tuntas hingga sekarang. Pelaku belum juga berhasil ditemukan. Selama sebelas
tahun ini, Irena selalu menanyakan kepada pihak berwajib, mengenai perkembangan
kasus. Tetap saja kehampaan yang dia terima.
Sebenarnya Irena sudah ikhlas dengan kepergian
mereka. Tapi masih ada rasa penasaran dalam hatinya. Siapakah pelakunya? Dia
hanya ingin mendengar maaf darinya. Meskipun sejak lama sudah dimaafkan.
Ada suara keributan di ruang tengah. Seketika
lampu mulai padam, ada yang tidak beres. Saras belum membayar listrik? Awalnya
biasa saja, tapi Irena mulai gerah. Dia tidak bisa dengan kondisi panas, kulitnya
bisa gatal dan memerah. Bahkan saat ini Irena hanya mengenakan singlet. Tetap
saja merasa tidak nyaman.
Dengan memakai baju tidur kembali, Irena mencoba
untuk melihat Ampere di ruang tengah.
Ada yang sengaja menurunkan Ampere! Dia
sudah tahu, ini adalah konsep lama yang sering digunakan untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun. Setelah menaikkan Ampere, Irena melihat ke sekeliling
ruangan. Mencari mereka yang disangka ingin memberikan kejutan. Sengaja Irena
berdiri di sana lima menit, tapi tidak terjadi apa-apa.
Dugaannya salah! Tidak ada perayaan malam itu. Irena
yang salah menafsirkan keadaan. Matanya mulai sayu, ingin kembali ke kamar dan
tertidur dengan pulas. Setelah mengambil secangkir air putih, dia kembali ke
kamar. Tiba-tiba telepon berdering. “Mengganggu saja!” Karena Saras dan
suaminya sudah terlelap di kamar. Mau tidak mau, Irena ikhlaskan diri untuk
menerima telepon di jam 23.30.
“Hallo...”
“ah.. Hai..”
“Dimas?”
“Iya, sayang.”
Dimas adalah pacar Irena, mereka sudah menjalin
hubungan sejak sebelas tahun silam. Bersama dia, Irena mulai bangkit dari
kehampaan. Mulai mengerti caranya untuk ikhlas.
“Kenapa tidak lewat Handphone?”
“Aku tidak ada pulsa” Dimas seperti terbata-bata “Oh..
ya.”
“Kamu kenapa Dimas? Sakit?” Irena memotong
pembicaraan.
“Enggak.”
“Terus?”
“Aku Cuma mau mengucapkan selamat ulang tahun.”
“Tumben!”
“Maksudnya?”
“Tumben gak ke sini?”
“Kemana?”
“Ya kerumahku!”
Meski dia orang spesial. Terkadang tingkahnya,
pembicaraannya membuat Irena kesal. Dia itu orangnya terkadang sedikit lemot. Tapi terkadang orangnya
bijaksana, jadi angin-anginan.
“Aku sibuk banget hari ini!”
“Skripsi?”
“Bukan.”
“Jadi?”
“Lembur”
“Lembur... ngapain?”
“Lembur untuk mencintaimu”
Irena
sedikit tersedak mendengar ucapannya. “Tumben gombal!”
“Daripada gembel”
“Lebih cocok gembel kok.”
“Kamu mau?”
“Engga sih...”
“Kenapa?”
“Entar kamu pergi terus, akunya gimana?”
Dimas tertawa “ya, kamunya ikut!”
“Engga mau...!”
“Kenapa?”
“Maunya kita sukses bersama.”
“hehe.. bercanda, hari ini aku lembur ngurusi rumah
makan ayah.”
“Emang ayah kemana?”
“Dia lagi sakit, jadi seharian ini aku yang
gantiin.”
“Harusnya berkelanjutan!”
“Maunya gitu, tapi ayah gak ngebolehin.”
“Ayah yang gak boleh atau kamu yang gak mau?”
Tidak ada suara balasan dari Dimas. Hanya
terdengar suara keributan yang samar-samar. “Haloo....” senyap, sunyi, hampa
tidak terdengar suara pria itu lagi. “Halo....” seketika telepon itu terputus. Irena
mencoba menghubunginya lagi, tapi tidak diangkat.
Karena lelah, dia putuskan untuk pergi ke istana
kamar. Mengambil air putih di sebelah telepon. Melangkah menuju pintu, membukanya
dengan perlahan. Pintu kamarnya macet, seperti ada yang mendorong dari dalam. Irena
paksakan pintu itu agar terbuka. Dorongan begitu keras, mendarat ke gagang
pintu.
Irena terpelongo, bingung, aneh, ragu melihat
segerombolan orang berada di kamar. Mereka membawa sebuah kue ulang tahun Chocolate Fudge kesukaannya.
“Laras, Dimas, Anggun, Aji sejak kapan ada di
sini?” Irena benar-benar terkejut.
“Sejak mati lampu” mereka tertawa lepas.
“Kok bisa masuk?”
“Kak Saras dan Om Rafi yang menolong kami.” Mereka
meledakkan Confetti, serpihan kertas
warna-warni beterbangan di udara. “Selamat ulang tahun Irena!”
***
Pintu garasi terdengar keras, sepertinya sudah tertutup
dengan rapat. Siapa yang membukanya? Mungkin hanya suara kucing yang kerap kali
membenturkan diri ke sana. Suara itu terdengar lagi! Makin keras.
“Siapa yang pulang?” Anggun terganggu dengan suara
berisik itu.
“Entahlah!”
Tak lama berselang Rafi muncul dari balik pintu.
“Om Rafi... Kirain siapa, Kak Saras mana?”
“Itu!” Rafi menunjuk pada seorang wanita yang
tergopoh membawa plastik belanjaan.
“Gak dibantuin om?”
“Dianya gak mau dibantu.”
Saras terpelongo melihat kondisi rumah sedang
ramai. “Ehhh... Ada tamu, tumben malam-malam ke sini?”
Irena sedikit mengkerutkan wajah “Bukannya kakak
yang mengizinkan mereka ke sini?”
“Iya sih..” Saras terkekeh singkat “Ini, kakak
belikan hadiah buatmu.”
“Wahh... besar sekali kak.” Irena menggapai bingkisan
kado besar yang mendarat di lantai. Mendadak Saras menepis tangannya.
“Bukan yang ini, kalau ini sudah punya orang
lain.” Irena menambah kerutan di wajahnya “Ini untukmu! Selamat ulang tahun.”
Irena menatap dengan penuh kehati-hatian pada
bingkisan yang panjangnya setengah tangannya. Dari bentuknya sudah tidak
meyakinkan, dia yakin isinya pasti di luar dugaan. Apa ini? Hatinya berontak
terus berkata “jangan dibuka”.
“Apa ini kak?”
“Buka aja!”
“Bom?”
Saras tertawa lebar “Mana ada bom panjang!”
“Bom model baru.”
“Buka aja...!” Saras duduk menghadap Irena.
Dengan penuh perasaan was-was, Irena membuka
kertas kado berwarna coklat yang membungkus benda aneh itu. Sulit, dia perlu
tenaga lebih untuk mengupas habis bungkus itu. Ada perasaan tidak enak ketika Irena
menatap kardus panjang yang tidak lagi dibingkis oleh kertas. Ketika jemarinya
meraba, membukanya dengan hati-hati. Ya Tuhan! Benar pikirnya benda itu di luar
dugaan.
“Apa ini kak?”
“Ini......” Saras menepuk kedua telapak tangan dan
membiarkannya menyatu “Spatula, kalau kita biasa menyebutnya Sudip.”
“Untuk apa?”
“Ya untuk dirimu masak, di hari ulang tahunmu ini
kakak doakan masakanmu lebih bervariasi dan lebih nikmat”
“Sekalian saja kakak menyuruhku membuka rumah
makan!” Irena sangat jengkel, tingkat kejengkelannya sudah sampai ke level
maksimal.
“Maunya seperti itu!” Saras membuka plastik
belanjaannya dengan semangat “Ini kakak belikan juga lengkap dengan sendok
sayur untukmu.”
“Kak.....!”
Sumpah dia kesal, tapi juga ingin ketawa. Saras
menatap ke arah Dimas.
“Dimas ini pengusaha rumah makan?”
Dimas yang kaget namanya dipanggil lekas menoleh
ke arah Saras “Punya ayah saya, bu.”
“Ahh... Jangan panggil bu, panggil aja kakak biar
lebih akrab.”
“Eh... Iya kak” Dimas sedikit mengangguk.
“Nah, Irena bisa bantu-bantu Dimas dengan hadiah
baru yang kakak beri.”
“Kak...!” Irena malas menanggapi dengan serius.
Saras tersenyum, matanya sedikit genit “Kakak ke
kamar dulu, Om Rafi ada proyek dengan kakak.”
“Proyek apa?”
“Ra-ha-sia...” Cetus Saras sembari berjalan menuju
kamar.
Saat Irena tidak melihat tubuh Saras lagi yang
seutuhnya telah masuk ke kamar. Tiba-tiba ada suara seorang pria berbisik padanya.
“Kakakmu...” Suara itu serak-serak basah, tepatnya
cool “Lagi kumat, maklumi saja!”
Saras memang sering kumat, bila itu terjadi dia
bisa menjadi sangat amat menyebalkan. Bila ada kata yang lebih tinggi dari
“sangat amat” maka itu layak dinobatkan untuk menggambarkan Saras. Terlepas
dari itu semua, Irena kembali ke forum yang sedari tadi geli melihat adegannya
dan Saras.
“Kak Saras memang baik ya” Kalimat itu agak rancu
di telinga Irena.
“Larasku.... Dia itu nyebelin!”
“Tapi, kakakmu seru!” Dimas ikut menimpal pembicaraan
yang menyimpang dari topik awal.
“Iya, jadi dirimu bisa membantu Dimas di rumah
makannya” Perkataan Anggun itu sontak meledakkan sebuah kata “cieee....” ke
tengah-tengah forum.
Ada seorang yang tidak terdengar suaranya dari
tadi, Aji. Dia biasanya paling cerewet, paling suka ngejek orang.
“Ji, kamu kenapa?”
Aji yang sadar dirinya sedang menjadi objek
pengamatan, lantas tersadar dari lamunan.
“Lagi marahan sama Dinda?”
Aji diam, tanpa kata, tanpa suara, tanpa makna.
“Tuh... kan benar” Laras melanjutkan pembicaraan
dengan nada tinggi “Ada apa? Cerita dong”
Aji membetulkan posisi duduknya melayangkan tatapan
misterius. Saat ini sedang diadakan rapat darurat, untuk membahas pelanggaran hati
yang terjadi pada Aji. Aji dan Dinda kerap kali mengalami patah hati. Mereka
sering putus-nyambung kayak listrik. Saat romantis, mereka seperti Romeo dan
Juliet yang paling sweet sepanjang
masa. Bila sedang marahan, mereka lebih mengerikan dari perang dunia.
“Begini!” Sebuah kata itu meletuskan kebisuan Aji
“Kemarin aku lihat Dinda, dia pergi ke kampus dengan seorang pria.”
“Siapa?” Irena memperhatikan dengan serius.
“Aku tidak tahu, pria itu mengantar pakai mobil
putih.”
“Terus?”
“Ya, aku cemburu.”
“Terus...”
“Irena... Dia pria kaya, sedangkan aku cuma bisa
nganterin Dinda pakai Sudiro!”
“Vespa bututmu!” Tegas Irena, dan wajah Aji tampak
lebih kusut.
Ini adalah problem
cinta yang kerap terjadi pada setiap orang. Kecemburuan menjadi api yang
siap membakar hubungan. Api kecemburuan yang tidak terkendali, akan
menghanguskan pondasi dari kedua hati yang mulai dibangun. Satu-satunya cara
hanyalah menahan emosi.
“jangan negatif thinking! Coba tanyakan
baik-baik.”
“Sudah Irena.... Tapi Whatsapp-nya ceklis.”
“Telepon!”
“hmmm” Aji mulai terdiam kembali “Aku tidak ada
pulsa!”
Ada rasa kasihan melihat Aji, ketika hubungan
mereka terkendala pulsa. Ingin ketawa tapi takut dikira ngejek. Ingin ngejek
tapi takut dia tersinggung.
“Ya elah Aji... Pulsa cuma tujuh ribu, beli aja!”
Aji sedikit tertawa “hehe... Iya nanti aja Irena.
Tanggal tua” tuntasnya.
***
“Tapi, ini serius loh. Dinda itu kayaknya nyimpan
rahasia” Anggun memperkeruh suasana.
“Rahasia apa?” Wajah Aji sudah tidak mengkerut,
tapi kusut!
“Pernah gak dirimu kepikiran, kenapa Dinda mudah
aja mutusinmu, Ji?”
“Ya, sebagian besar karena salahku.” Aji membela
Dinda seketika.
“Dan siapa yang sering ngajak balikan?”
“Aku!”
“Kenapa gak Dinda yang ngajak balikan?”
“Ya... Mana mungkinlah cewek yang ngajak balikan.”
“Mungkin saja.”
Aji tidak menanggapi dengan serius. Dia terus mencari
alasan untuk memperbaiki nama baik Dinda.
“Memangnya dirimu mau.... ngajak balikan mantan?”
“Ya, enggak sih!”
“nah, begitu juga Dinda!”
“Tapi...” Wajah Anggun datar “ini sudah kelewatan,
Ji. Kalian itu sudah lebih lima kali putus-nyambung. Lima Kali!” Tegas Anggun.
“Biasa aja kok Anggun. Tandanya kami saling
sayang, hanya belum pandai menahan ego.”
“Ini lebih dari sekedar ego.”
Tidak ada yang bicara selain Aji dan Anggun. Mereka menjadi penyimak yang baik.
“Aku terlalu egois sama dia!”
“Bukan”
“Jadi?”
“Kamu itu terlalu baik pada dia, Ji.”
“Kalau aku baik, mana mungkin dia marah terus
Anggun....”
“Di situ persoalannya, ada sesuatu yang dia
sembunyikan. Sesuatu yang menjadi api pengobar amarahnya.”
“Aku yakin Dinda hanya marah dalam persoalan
biasa, persoalan cinta yang rumit.”
“Ini lebih rumit!”
“Serumit apa?”
“Serumit dirimu menahan rasa cemburu di hati!”
Anggun menatap tajam ke arah Aji “Ji, ini tidak bisa terus berlanjut. Aku tahu
dirimu cemburu karena Dinda sering digoda Bastian, ditambah lagi dirimu melihat
Dinda ke kampus dengan cowok lain.”
“Terus?”
“Kau harus mengungkap semuanyas segera! Sebelum
terlambat”
“Sudah terlambat, aku sudah jatuh pada cinta yang
dalam.”
“Masih ada waktu untuk memperbaiki keputusan
cintamu.”
“Sudah terlambat” Tuntas Aji dengan nada tinggi.


No comments:
Post a Comment