Sepaket Tanya Tentang Tuhan
Aku merasa
terusik dengan kehadiran seorang mahasiswa bernama Joko di sebelahku. Pandangannya
tidak lepas dari laptop yang
memancarkan cahaya begitu terang di layarnya. Dari raut wajahnya tampak dia
sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Tapi jemarinya tidak
mengimbangi, Joko tidak sekalipun mengetik di keyboard yang masih tampak mengkilap.
Joko sibuk memainkan tombol scroll yang berada tepat di tengah mouse. Aku yakin pria itu masih kaku
dalam memanfaatkan teknologi modern
itu. Hanya mengerti sebatas dasarnya saja. Selain berasal dari kampung, Joko
memang kerap mengeluarkan argumen yang aneh.
Sudah dua jam Joko berada di sebelahku. Aku
berpura-pura untuk tidak ikut nimbrung di dunianya. Menikmati secangkir kopi
hitam manis. Melanjutkan lukisan wanita yang selalu terbayang di mataku. Wanita
yang pernah hadir di hidupku, memberi arti meski akhirnya pergi untuk
selamanya.
“Namaku Joko” kuas yang menari di kanvas
seketika menjadi berat. Ingin rasanya aku berteriak di wajahnya. Aku sudah tahu dari tadi. Tapi masih
tertahan, aku hanya membalas dengan anggukan.
“Gambarmu bagus.” Itu adalah pujiannya yang
ke-5 kali selama dua jam ini. Aku menarik nafas tenang, berusaha untuk tidak
terganggu dengan perkataannya. Menarikan kuas yang telah berbaur dengan rona
warna. Membayangkan objek itu, agar tidak lari dari ingatan.
“Itu siapa?” Aku sedikit mengeluh dengan
pertanyaannya itu. Mengibaskan baju di tubuhku, hari begitu panas. Aku
merasakan gerah yang sangat mencekam. “Pacarmu!” cukup sudah. Aku mulai bosan
berada di sebelahnya.
Sepaket alat lukis di atas meja, aku tutup
dan rapikan. Melihat sekeliling, berharap ada kursi kosong untuk pindah. Ternyata
semua kursi siang itu telah penuh terisi, orang-orang sedang makan siang. Aku
menghirup napas panjang, mengeluarkannya dengan keras. Tanpa perlu berkata
banyak, aku kembali duduk dan membuka sepaket alat lukis.
“Apakah menurutmu tuhan itu dekat?” sambil menimpa
warna hitam ke rambut wanita yang aku lukis. Aku mencoba untuk tenang
menghadapi Joko.
“Mungkin saja.” Jawabku singkat tanpa perlu
mendefiniskan lebih panjang lagi.
“Sedekat apa?”
Aku tidak peduli dengan pertanyaan kedua-nya
tentang tuhan. Aku terus mengarsir rambut cantik wanita yang ada di bayanganku.
“Apakah tuhan ada di sebelah kita?”
“Cukup dekat, bahkan tidak ada jarak dengan
kita.” Mendengar jawaban itu, Joko memindahkan posisi duduknya tepat
menghadapku.
“Jadi, dimana tuhan?” Pertanyaan itu
meluncur sampai telinga terdalam. Ingin aku berteriak: di hidupmu. Pasti akan muncul pertanyaan lain seperti mengupas
habis informasi lebih rinci dariku. “Selama hidupku, aku selalu mencari
keberadaan tuhan!” Belum sempat aku menjawab, Joko menghujamku dengan
pertanyaan lainnya.
“Apakah tuhan selalu bersama kita?”
“Bisa jadi.” Tidak ada jawaban panjang yang
aku berikan. Berharap dia mengerti jika aku sedang tidak ingin berbicara
dengannya. Tapi pertanyaannya membuyarkan bayangan wanita itu di mataku.
“Apakah tuhan dekat?” Pertanyaan yang sama
itu membuat aku semakin gerah.
“Bisa jadi.”
“Dimana tuhan?”
Aku memindahkan posisi duduk, mengambil sebuah
buku dari tas Joko. Mengoyaknya menjadi selembar kertas yang bersih.
“Tulis pertanyaanmu sampai kertas ini penuh!”
Perintahku langsung disambar oleh Joko dengan menuliskan kata-kata yang sama Apakah tuhan dekat?. Sampai kertas itu
tidak menyisakan tempat lagi untuk ditulis.
“Sudah!...” Joko memberikan kertas itu
dengan sangat sopan “Jadi dimana tuhan?” wajahnya datar. Joko seperti anak
kecil yang serba ingin tahu.
“Kertas ini seperti kau dan tuhan.” Joko
menatap dengan tajam “Dua sisi yang berbeda tapi menyatu. Bagian yang bersih
itulah tuhan, sedangkan manusia penuh dengan coretan dosa.”
“Tapi, aku tidak dapat melihat tuhan!”
“Seperti mata dan pandangan. Kau tidak bisa
melihat matamu sendiri, tapi bisa merasakannya. Bila tuhan pergi, maka gelaplah
pandanganmu.”
“Kalau tuhan dekat, kenapa tuhan tidak
selalu mengabulkan doa. Kenapa tuhan tidak selalu memberikan yang baik-baik
kepada kita?” Joko kembali menatap ke-arah laptop.
Dia merasa tidak puas dengan jawaban yang aku berikan. Tanpa sadar aku
mulai masuk ke alam pertanyaannya. Aku mulai bersemangat untuk berdiskusi lebih
banyak dengannya.
“Tuhan itu seperti setiap kata yang selalu
kau ucap. Kata tanpa makna hanya hambar terasa. Begitu pula dirimu tanpa tuhan,
tidak punya tujuan.” Aku meletakan kuas di atas tisu. Memindahkan kursi lebih
dekat dengan Joko “Kalau tuhan selalu memberikan yang baik-baik. Maka manusia
tidak perlu lagi berusaha. Kalau mau makan tinggal bilang, mau kaya tinggal
bilang, mau emas tinggal bilang.”
Ucapanku mulai tergesa-gesa seperti menyerang
balik pada Joko yang sedari tadi menggangguku. “Kalau tuhan tidak memberikan
ujian. Manusia tidak akan mau untuk berusaha. Akan ada ketimpangan di dunia
ini, tuhan telah menciptakan semuanya dengan cermat. Menyeimbangkan setiap
rezeki kepada umatnya.” Aku berhenti sejenak, memandang wajah Joko mulai
tertarik dengan argumenku. “Kalau tuhan tidak memberikan ujian. Maka kamu tidak
akan berusaha untuk mencari dimana tuhan. Kamu tidak akan peduli. Tapi, dengan
tindakanmu ini secara tidak langsung kau berusaha mencari tuhan.”
Aku meluruskan kembali kursiku. Mengambil
kuas yang telah berhenti meneteskan rona warna. Menyelupkannya lagi ke warna biru.
Mengarsir langit-langit indah di kanvas.
“Artinya tuhan itu dekat!” Nada bicara Joko
mulai menurun. Setelah dua jam berbicara, inilah kalimat yang terasa nyaman
untuk aku terima.
“Sangat dekat, pegang dadamu!” Joko meletakkan
telapak tangannya tepat di atas dada. “Rasakan detak jantungmu! Itulah tuhan.”
“Aku tidak mengerti”
“Jantung itu kau, tuhan itu detaknya. Tanpa
tuhan, jantungmu akan berhenti dan kau akan mati.”
Aku menuntaskan penjelasan itu dengan meminum
secangkir kopi yang mulai dingin. Meskipun percakapan di antara aku dan Joko
cukup panas. Sehingga membuatku sampai naik tensi untuk menjawabnya. Aku merasa
puas bisa memberinya sedikit gambaran mengenai pertanyaan yang selalu dia
tanyakan.
“Itu siapa? Pacarmu?” Joko melirik lukisan
yang baru saja selesai aku lukis.
“Bukan, dia adikku.”
“Dimana dia?”
“Di sisi tuhan.”
Setelah jawabanku, tidak ada lagi
pertanyaan yang meluncur dari mulut Joko. Dia terdiam, tidak tahu apa yang ada
di pikirannya. Ada satu perubahan yang terjadi saat ini. Joko dengan lihai
menekan tombol-tombol di keyboard. Dia
tidak lagi hanya memainkan mouse.
Pertanyaan Dimana tuhan? Apakah tuhan dekat? Tidak lagi terdengar darinya. Hanya
suara jemari berbenturan dengan keyboard yang
terdengar sangat jelas. Mata Joko bergerak mengikuti kata demi kata yang mulai
ditulisnya.
Saat aku berusaha mendekatinya. Mengendap
untuk membaca tulisannya. Ada sebuah judul dengan jenis font: Times New Roman ukuran 16 berwarna hitam pekat karena
pengaruh Bold yang digunakannya. Judul
itu cukup panjang, aku mulai senyap setelah membacanya Sepaket Tanya Tentang Tuhan.
Selepas lembar ke-5. Jemari Joko berhenti
mengetik. Layar di laptop mulai
meredup. Dia mengangkat tangan ke atas seperti kelelahan. Merenggangkan
tulang-tulangnya sampai berbunyi. “Terimakasih” ujarnya singkat sebelum
menjinjing ranselnya. Lalu pergi membawa sepaket jawaban yang dia curi dariku
sedari tadi dengan senyum lebar.
Diangkat dari puisi
"Tuhan Kita Dekat"
Tuhan Kita Dekat
Tuhan, kita dekat
seperti dua sisi
kertas, pudar dan bersih
aku pudar Kau bersih
pudar oleh dosa yang
lama tergambar
Tuhan, kita dekat
seperti jantung dan
detaknya
aku jantung Kau
detaknya
aku mati tanpa-Mu
Tuhan, kita dekat
seperti mata dan
pandangan
aku mata Kau
pandangan
aku gelap tanpa
cahya-Mu
Tuhan, kita dekat
seperti rembulan dan
bintang
aku bulan Kau bintang
aku redup tanpa
sinar-Mu
Tuhan, kita dekat
seperti kata dan
makna
aku kata Kau makna
aku hambar tanpa
kuasa-Mu
Tuhan, kita dekat
Seperti jalan dan
jejak
Tuntun diriku menuju
jalan-Mu
Jambi, 21 Mei 2018



No comments:
Post a Comment