Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Thursday, May 24, 2018

Sepaket Tanya Tentang Tuhan


Sepaket Tanya Tentang Tuhan

 
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"




Aku merasa terusik dengan kehadiran seorang mahasiswa bernama Joko di sebelahku. Pandangannya tidak lepas dari laptop yang memancarkan cahaya begitu terang di layarnya. Dari raut wajahnya tampak dia sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Tapi jemarinya tidak mengimbangi, Joko tidak sekalipun mengetik di keyboard yang masih tampak mengkilap.
Joko sibuk memainkan tombol scroll yang berada tepat di tengah mouse. Aku yakin pria itu masih kaku dalam memanfaatkan teknologi modern itu. Hanya mengerti sebatas dasarnya saja. Selain berasal dari kampung, Joko memang kerap mengeluarkan argumen yang aneh.
Sudah dua jam Joko berada di sebelahku. Aku berpura-pura untuk tidak ikut nimbrung di dunianya. Menikmati secangkir kopi hitam manis. Melanjutkan lukisan wanita yang selalu terbayang di mataku. Wanita yang pernah hadir di hidupku, memberi arti meski akhirnya pergi untuk selamanya.
“Namaku Joko” kuas yang menari di kanvas seketika menjadi berat. Ingin rasanya aku berteriak di wajahnya. Aku sudah tahu dari tadi. Tapi masih tertahan, aku hanya membalas dengan anggukan.
“Gambarmu bagus.” Itu adalah pujiannya yang ke-5 kali selama dua jam ini. Aku menarik nafas tenang, berusaha untuk tidak terganggu dengan perkataannya. Menarikan kuas yang telah berbaur dengan rona warna. Membayangkan objek itu, agar tidak lari dari ingatan.
“Itu siapa?” Aku sedikit mengeluh dengan pertanyaannya itu. Mengibaskan baju di tubuhku, hari begitu panas. Aku merasakan gerah yang sangat mencekam. “Pacarmu!” cukup sudah. Aku mulai bosan berada di sebelahnya.
Sepaket alat lukis di atas meja, aku tutup dan rapikan. Melihat sekeliling, berharap ada kursi kosong untuk pindah. Ternyata semua kursi siang itu telah penuh terisi, orang-orang sedang makan siang. Aku menghirup napas panjang, mengeluarkannya dengan keras. Tanpa perlu berkata banyak, aku kembali duduk dan membuka sepaket alat lukis.
“Apakah menurutmu tuhan itu dekat?” sambil menimpa warna hitam ke rambut wanita yang aku lukis. Aku mencoba untuk tenang menghadapi Joko.
“Mungkin saja.” Jawabku singkat tanpa perlu mendefiniskan lebih panjang lagi.
“Sedekat apa?”
Aku tidak peduli dengan pertanyaan kedua-nya tentang tuhan. Aku terus mengarsir rambut cantik wanita yang ada di bayanganku.
“Apakah tuhan ada di sebelah kita?”
“Cukup dekat, bahkan tidak ada jarak dengan kita.” Mendengar jawaban itu, Joko memindahkan posisi duduknya tepat menghadapku.
“Jadi, dimana tuhan?” Pertanyaan itu meluncur sampai telinga terdalam. Ingin aku berteriak: di hidupmu. Pasti akan muncul pertanyaan lain seperti mengupas habis informasi lebih rinci dariku. “Selama hidupku, aku selalu mencari keberadaan tuhan!” Belum sempat aku menjawab, Joko menghujamku dengan pertanyaan lainnya.
“Apakah tuhan selalu bersama kita?”
“Bisa jadi.” Tidak ada jawaban panjang yang aku berikan. Berharap dia mengerti jika aku sedang tidak ingin berbicara dengannya. Tapi pertanyaannya membuyarkan bayangan wanita itu di mataku.
“Apakah tuhan dekat?” Pertanyaan yang sama itu membuat aku semakin gerah.
“Bisa jadi.”
“Dimana tuhan?”
Aku memindahkan posisi duduk, mengambil sebuah buku dari tas Joko. Mengoyaknya menjadi selembar kertas yang bersih.
“Tulis pertanyaanmu sampai kertas ini penuh!” Perintahku langsung disambar oleh Joko dengan menuliskan kata-kata yang sama Apakah tuhan dekat?. Sampai kertas itu tidak menyisakan tempat lagi untuk ditulis.
“Sudah!...” Joko memberikan kertas itu dengan sangat sopan “Jadi dimana tuhan?” wajahnya datar. Joko seperti anak kecil yang serba ingin tahu.
“Kertas ini seperti kau dan tuhan.” Joko menatap dengan tajam “Dua sisi yang berbeda tapi menyatu. Bagian yang bersih itulah tuhan, sedangkan manusia penuh dengan coretan dosa.”
“Tapi, aku tidak dapat melihat tuhan!”
“Seperti mata dan pandangan. Kau tidak bisa melihat matamu sendiri, tapi bisa merasakannya. Bila tuhan pergi, maka gelaplah pandanganmu.”
“Kalau tuhan dekat, kenapa tuhan tidak selalu mengabulkan doa. Kenapa tuhan tidak selalu memberikan yang baik-baik kepada kita?” Joko kembali menatap ke-arah laptop. Dia merasa tidak puas dengan jawaban yang aku berikan. Tanpa sadar aku mulai masuk ke alam pertanyaannya. Aku mulai bersemangat untuk berdiskusi lebih banyak dengannya.
“Tuhan itu seperti setiap kata yang selalu kau ucap. Kata tanpa makna hanya hambar terasa. Begitu pula dirimu tanpa tuhan, tidak punya tujuan.” Aku meletakan kuas di atas tisu. Memindahkan kursi lebih dekat dengan Joko “Kalau tuhan selalu memberikan yang baik-baik. Maka manusia tidak perlu lagi berusaha. Kalau mau makan tinggal bilang, mau kaya tinggal bilang, mau emas tinggal bilang.”
Ucapanku mulai tergesa-gesa seperti menyerang balik pada Joko yang sedari tadi menggangguku. “Kalau tuhan tidak memberikan ujian. Manusia tidak akan mau untuk berusaha. Akan ada ketimpangan di dunia ini, tuhan telah menciptakan semuanya dengan cermat. Menyeimbangkan setiap rezeki kepada umatnya.” Aku berhenti sejenak, memandang wajah Joko mulai tertarik dengan argumenku. “Kalau tuhan tidak memberikan ujian. Maka kamu tidak akan berusaha untuk mencari dimana tuhan. Kamu tidak akan peduli. Tapi, dengan tindakanmu ini secara tidak langsung kau berusaha mencari tuhan.”
Aku meluruskan kembali kursiku. Mengambil kuas yang telah berhenti meneteskan rona warna. Menyelupkannya lagi ke warna biru. Mengarsir langit-langit indah di kanvas.
“Artinya tuhan itu dekat!” Nada bicara Joko mulai menurun. Setelah dua jam berbicara, inilah kalimat yang terasa nyaman untuk aku terima.
“Sangat dekat, pegang dadamu!” Joko meletakkan telapak tangannya tepat di atas dada. “Rasakan detak jantungmu! Itulah tuhan.”
“Aku tidak mengerti”
“Jantung itu kau, tuhan itu detaknya. Tanpa tuhan, jantungmu akan berhenti dan kau akan mati.”
Aku menuntaskan penjelasan itu dengan meminum secangkir kopi yang mulai dingin. Meskipun percakapan di antara aku dan Joko cukup panas. Sehingga membuatku sampai naik tensi untuk menjawabnya. Aku merasa puas bisa memberinya sedikit gambaran mengenai pertanyaan yang selalu dia tanyakan.
“Itu siapa? Pacarmu?” Joko melirik lukisan yang baru saja selesai aku lukis.
“Bukan, dia adikku.”
“Dimana dia?”
“Di sisi tuhan.”
Setelah jawabanku, tidak ada lagi pertanyaan yang meluncur dari mulut Joko. Dia terdiam, tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Ada satu perubahan yang terjadi saat ini. Joko dengan lihai menekan tombol-tombol di keyboard. Dia tidak lagi hanya memainkan mouse.
Pertanyaan Dimana tuhan? Apakah tuhan dekat? Tidak lagi terdengar darinya. Hanya suara jemari berbenturan dengan keyboard yang terdengar sangat jelas. Mata Joko bergerak mengikuti kata demi kata yang mulai ditulisnya.
Saat aku berusaha mendekatinya. Mengendap untuk membaca tulisannya. Ada sebuah judul dengan jenis font: Times New Roman ukuran 16 berwarna hitam pekat karena pengaruh Bold yang digunakannya. Judul itu cukup panjang, aku mulai senyap setelah membacanya Sepaket Tanya Tentang Tuhan.
Selepas lembar ke-5. Jemari Joko berhenti mengetik. Layar di laptop mulai meredup. Dia mengangkat tangan ke atas seperti kelelahan. Merenggangkan tulang-tulangnya sampai berbunyi. “Terimakasih” ujarnya singkat sebelum menjinjing ranselnya. Lalu pergi membawa sepaket jawaban yang dia curi dariku sedari tadi dengan senyum lebar.

Diangkat dari puisi 

"Tuhan Kita Dekat"

Tuhan Kita Dekat



Tuhan, kita dekat
seperti dua sisi kertas, pudar dan bersih
aku pudar Kau bersih
pudar oleh dosa yang lama tergambar

Tuhan, kita dekat
seperti jantung dan detaknya
aku jantung Kau detaknya
aku mati tanpa-Mu

Tuhan, kita dekat
seperti mata dan pandangan
aku mata Kau pandangan
aku gelap tanpa cahya-Mu

Tuhan, kita dekat
seperti rembulan dan bintang
aku bulan Kau bintang
aku redup tanpa sinar-Mu

Tuhan, kita dekat
seperti kata dan makna
aku kata Kau makna
aku hambar tanpa kuasa-Mu

Tuhan, kita dekat
Seperti jalan dan jejak
Tuntun diriku menuju jalan-Mu

Jambi, 21 Mei 2018  







No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *