Cafe Antariksa
Masih terbayang dalam
pikiranku bagaimana alam semesta ini terbentuk. Big Bang salah satu teori yang
menjelaskan adanya ledakan besar, membuat gas dan debu terpencar ke segala
penjuru. Terbukti atau tidak, aku tetap bersyukur dengan teori yang berusaha
untuk dijelaskan dengan pembuktian. Ledakan itu membuat diriku terhampar sampai
saat ini. Dalam planet yang menghidangkan kebutuhan manusia. Air, udara, pohon,
makanan semua terangkai dalam pola dan tujuan tertentu.
Ketika aku mulai
menulis peta hidup yang mulai kelabu. Sadarlah aku jika banyak kenangan telah
berlalu. Tersaji sebagai asupan yang membakar diri. Berproses sebagai suatu
pembelajaran. Sehingga di umur yang semakin tua, aku mampu mengendalikan emosi.
Bukan karena bisa tapi terpaksa. Banyak persoalan yang datang dan pergi. Permasalahan
belum sampai pada titik jalan keluar. Buntu oleh ketidak mampuan untuk
mengendalikan.
Sebentar lagi, di
Cafe Antariksa tempatku duduk saat
ini. Ada fakta yang sebetulnya tidak perlu untuk didengar. Kenyataan yang tidak
harus aku tunggu. Kedatangannya hanya menjadikan darahku semakin tinggi. Semua
ini dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Alona duduk tepat
di hadapanku. Wajahnya masih sama seperti saat pertama bertemu. Wangi tubuhnya
selalu membuat aku naik dalam ketertarikan yang memuncak.
“Pulanglah!” Aku
tidak mampu berucap banyak. Bongkahan dalam hatiku semakin menyiksa.
Alona diam. Nyaman
dengan tatapan kosong. Alunan musik masih terus mengalun merdu.
“Pulanglah!”
Tidak ada balasan
yang ingin aku dengar. Alona masih terpaku oleh kata-kata. Ada pembelaan yang
ingin diujarkan. Masih takut untuk disampaikan. Aku tidak berani menatap binar
mata, yang selalu menjadikan aku gagal move
on. Kami hanya memesan dua gelas es jeruk. Masih penuh, belum sekalipun diminum.
“Aku tidak bisa!” Dirinya
mulai memandangku. Adegan ini menjadikan aku beku. Tubuhku sedikit gemetar. “Sudah
cukup lima tahun ini!”
“Kenapa Alona? Karena...”
“Cukup!!” Tiba-tiba
Alona memutus pembicaraanku. “Jangan bawa dia. Tidak ada sangkut pautnya.
Mengerti!”
Aku terdiam. Tidak
meneruskan pembicaraan yang ingin disampaikan. Mengambil gelas di atas meja.
Berusaha menenangkan diri, dengan meminum segelas jeruk segar. “Karena aku
seorang pemabuk?”
Wajah Alona
tampak memerah. Enggan mendengar kenangan lama yang pernah dilalui. Dia telah
bersama pria lain beberapa bulan ini. Menjalin hubungan setelah berpisah
denganku. Aku mengenalnya! Pria itu. Seorang direktur di sebuah perusahaan
properti. Hidupnya mapan, Alona bahagia bersamanya. Tidak harus berjuang di
jalanan, untuk mencari kebutuhan hidup. Tinggal meminta dengan pria yang dia
cinta saat ini.
“Karena aku miskin!
Aku seorang narapidana. Masuk dalam penjara dengan tuduhan yang sebenarnya
tidak aku lakukan.” Aku mulai menahan bulir yang memaksa untuk keluar. “Aku
orang kecil, yang dengan mudah bisa diinjak-injak.”
Aku tahu Alona
saat ini sudah tidak merasa nyaman. Tensi diantara kami berdua sudah sampai
klimaks. Aku tidak ingin melanjutkan, tapi harus dilakukan. “Kerjaku tidak
jelas. Serabutan! Tidak pantas berdampingan denganmu. Mana mau wanita elit” Tiba-tiba
Alona mengepalkan jemari. Sudah begitu geram “Wanita elit sepertimu, bersanding
denganku!”
“Cukup!! Hentikan
Fernando!” Nafas Alona mulai menggebu “Pernyataanmu seolah menganggap diriku
wanita murahan. Hanya mengharap harta. Pembicaraan ini seolah menyalahkanku.
Kau tidak pernah mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah! Kau tidak
pernah mau mengalah. Bahkan oleh kenyataan yang ada.”
“Aku tidak
membunuhnya!” Aku sudah terlanjur emosi. Kalimat itu tidak lagi tertahan dalam
hati. “Kamu salah! Aku tidak membunuh ayahmu. Aku dijebak.”
“Sudahlah! Cukup
lima tahun itu aku tersiksa. Aku begitu kecewa.”
“Alona....” Aku
memandang tajam ke arah matanya “Aku di-je-bak” kalimat itu meluncur tersendat.
“Pria yang bersamamu saat ini, dia menjebakku.”
“Cukup!!!” Alona
berdiri di hadapanku “Jangan bawa-bawa dia. Aku tidak suka”
“Tapi itulah
faktanya.”
“Pria itu yang
selalu ada saat aku sedang terpuruk. Saat aku jatuh dalam duka mendalam. Kemana
kau pergi? Kemana dirimu waktu itu? Saat aku butuh motivasi untuk bangkit. Kau
menghilang seperti ditelan bumi. Sekarang! Saat aku mulai bisa meng-ikhlaskan.
Kau datang tiba-tiba.”
“Aku tidak
pergi..!!”
“Sudah cukup! Sampai
disini pertemuan kita malam ini, bahkan untuk selamanya. Aku tidak mau
melihatmu lagi.”
Alona mengambil
tas, mengeluarkan dompet. Memberiku uang Rp. 100.000 “Ini untuk membayar dua
gelas jeruk. Dan untuk dirimu membeli makanan” Katanya, setengah membentak. Aku
merasa terhina, sebagai seorang laki-laki aku merasa direndahkan. Tapi aku
tidak marah padanya. Faktanya demikian, aku hanya seorang pengangguran. Tidak
punya uang untuk membayar makan malam di Cafe
Antariksa. Apalagi memenuhi kebutuhan hidup Alona.
Aku menatap ke
luar jendela. Malam ini begitu panas. Aku meledak menjadi sebuah lempengan
kecil. Seperti debu yang tidak berarti. Akulah gas yang tidak dapat dilihat.
Terbang menjadi semesta yang terbuang. Aku kalah oleh kenyataan. Tapi kenyataan
yang membawaku kesini, bertemu dengannya. Aku dijebak, dunia yang aku jalani
begitu mengerikan. Belum sempat Alona keluar pintu “Pulanglah! Bukan untuk aku,
tapi untuk anak-anak kita.” Tiba-tiba wanita itu berhenti mendengar ucapanku.
Aku tahu wajahnya
memerah, bulir di matanya terjun bebas. Aku tahu dia merindukan buah hatinya.
Meskipun dia jijik melihat siapa suaminya. Mengetahui bahwa pria yang dulu dia
cinta. Merupakan seorang pembunuh, bahkan lebih parahnya. Membunuh mertuanya,
ayah Alona. Antara percaya atau tidak. Dijebak atau tidak. Kenyataan itu terasa
begitu pahit. Hatinya hancur, saat ini dia sudah tidak bisa menahan air mata
yang terjun bebas.
Aku ingin
memeluknya. Memberikan perhatian seperti dulu. Saat kami masih berstatus
sebagai suami-istri. Saat rumah tangga yang dibina, baik-baik saja. Saat tidak
ada pria lain yang mencoba merebutnya. Sehingga tragedi seperti ini hanya
menjadi fiksi. Sebagai mitos yang tidak benar adanya. Aku tahu dia mencintaiku,
meskipun hidup serba kekurangan.
Nasi sudah
menjadi bubur, bahkan lebih cair. Menjadi sebuah ampas yang tidak mungkin
kembali. Aku melihat mobilnya pergi meninggalkan Cafe Antariksa. Aku masih terduduk dengan kesedihan mendalam.
![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |


No comments:
Post a Comment