Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Monday, May 7, 2018

Cafe Antariksa


Cafe Antariksa


Masih terbayang dalam pikiranku bagaimana alam semesta ini terbentuk. Big Bang salah satu teori yang menjelaskan adanya ledakan besar, membuat gas dan debu terpencar ke segala penjuru. Terbukti atau tidak, aku tetap bersyukur dengan teori yang berusaha untuk dijelaskan dengan pembuktian. Ledakan itu membuat diriku terhampar sampai saat ini. Dalam planet yang menghidangkan kebutuhan manusia. Air, udara, pohon, makanan semua terangkai dalam pola dan tujuan tertentu.
Ketika aku mulai menulis peta hidup yang mulai kelabu. Sadarlah aku jika banyak kenangan telah berlalu. Tersaji sebagai asupan yang membakar diri. Berproses sebagai suatu pembelajaran. Sehingga di umur yang semakin tua, aku mampu mengendalikan emosi. Bukan karena bisa tapi terpaksa. Banyak persoalan yang datang dan pergi. Permasalahan belum sampai pada titik jalan keluar. Buntu oleh ketidak mampuan untuk mengendalikan.
Sebentar lagi, di Cafe Antariksa tempatku duduk saat ini. Ada fakta yang sebetulnya tidak perlu untuk didengar. Kenyataan yang tidak harus aku tunggu. Kedatangannya hanya menjadikan darahku semakin tinggi. Semua ini dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Alona duduk tepat di hadapanku. Wajahnya masih sama seperti saat pertama bertemu. Wangi tubuhnya selalu membuat aku naik dalam ketertarikan yang memuncak.
“Pulanglah!” Aku tidak mampu berucap banyak. Bongkahan dalam hatiku semakin menyiksa.
Alona diam. Nyaman dengan tatapan kosong. Alunan musik masih terus mengalun merdu.
“Pulanglah!”
Tidak ada balasan yang ingin aku dengar. Alona masih terpaku oleh kata-kata. Ada pembelaan yang ingin diujarkan. Masih takut untuk disampaikan. Aku tidak berani menatap binar mata, yang selalu menjadikan aku gagal move on. Kami hanya memesan dua gelas es jeruk. Masih penuh, belum sekalipun diminum.
“Aku tidak bisa!” Dirinya mulai memandangku. Adegan ini menjadikan aku beku. Tubuhku sedikit gemetar. “Sudah cukup lima tahun ini!”
“Kenapa Alona? Karena...”
“Cukup!!” Tiba-tiba Alona memutus pembicaraanku. “Jangan bawa dia. Tidak ada sangkut pautnya. Mengerti!”
Aku terdiam. Tidak meneruskan pembicaraan yang ingin disampaikan. Mengambil gelas di atas meja. Berusaha menenangkan diri, dengan meminum segelas jeruk segar. “Karena aku seorang pemabuk?”
Wajah Alona tampak memerah. Enggan mendengar kenangan lama yang pernah dilalui. Dia telah bersama pria lain beberapa bulan ini. Menjalin hubungan setelah berpisah denganku. Aku mengenalnya! Pria itu. Seorang direktur di sebuah perusahaan properti. Hidupnya mapan, Alona bahagia bersamanya. Tidak harus berjuang di jalanan, untuk mencari kebutuhan hidup. Tinggal meminta dengan pria yang dia cinta saat ini.
“Karena aku miskin! Aku seorang narapidana. Masuk dalam penjara dengan tuduhan yang sebenarnya tidak aku lakukan.” Aku mulai menahan bulir yang memaksa untuk keluar. “Aku orang kecil, yang dengan mudah bisa diinjak-injak.”
Aku tahu Alona saat ini sudah tidak merasa nyaman. Tensi diantara kami berdua sudah sampai klimaks. Aku tidak ingin melanjutkan, tapi harus dilakukan. “Kerjaku tidak jelas. Serabutan! Tidak pantas berdampingan denganmu. Mana mau wanita elit” Tiba-tiba Alona mengepalkan jemari. Sudah begitu geram “Wanita elit sepertimu, bersanding denganku!”
“Cukup!! Hentikan Fernando!” Nafas Alona mulai menggebu “Pernyataanmu seolah menganggap diriku wanita murahan. Hanya mengharap harta. Pembicaraan ini seolah menyalahkanku. Kau tidak pernah mengerti bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah! Kau tidak pernah mau mengalah. Bahkan oleh kenyataan yang ada.”
“Aku tidak membunuhnya!” Aku sudah terlanjur emosi. Kalimat itu tidak lagi tertahan dalam hati. “Kamu salah! Aku tidak membunuh ayahmu. Aku dijebak.”
“Sudahlah! Cukup lima tahun itu aku tersiksa. Aku begitu kecewa.”
“Alona....” Aku memandang tajam ke arah matanya “Aku di-je-bak” kalimat itu meluncur tersendat. “Pria yang bersamamu saat ini, dia menjebakku.”
“Cukup!!!” Alona berdiri di hadapanku “Jangan bawa-bawa dia. Aku tidak suka”
“Tapi itulah faktanya.”
“Pria itu yang selalu ada saat aku sedang terpuruk. Saat aku jatuh dalam duka mendalam. Kemana kau pergi? Kemana dirimu waktu itu? Saat aku butuh motivasi untuk bangkit. Kau menghilang seperti ditelan bumi. Sekarang! Saat aku mulai bisa meng-ikhlaskan. Kau datang tiba-tiba.”
“Aku tidak pergi..!!”
“Sudah cukup! Sampai disini pertemuan kita malam ini, bahkan untuk selamanya. Aku tidak mau melihatmu lagi.”
Alona mengambil tas, mengeluarkan dompet. Memberiku uang Rp. 100.000 “Ini untuk membayar dua gelas jeruk. Dan untuk dirimu membeli makanan” Katanya, setengah membentak. Aku merasa terhina, sebagai seorang laki-laki aku merasa direndahkan. Tapi aku tidak marah padanya. Faktanya demikian, aku hanya seorang pengangguran. Tidak punya uang untuk membayar makan malam di Cafe Antariksa. Apalagi memenuhi kebutuhan hidup Alona.
Aku menatap ke luar jendela. Malam ini begitu panas. Aku meledak menjadi sebuah lempengan kecil. Seperti debu yang tidak berarti. Akulah gas yang tidak dapat dilihat. Terbang menjadi semesta yang terbuang. Aku kalah oleh kenyataan. Tapi kenyataan yang membawaku kesini, bertemu dengannya. Aku dijebak, dunia yang aku jalani begitu mengerikan. Belum sempat Alona keluar pintu “Pulanglah! Bukan untuk aku, tapi untuk anak-anak kita.” Tiba-tiba wanita itu berhenti mendengar ucapanku.
Aku tahu wajahnya memerah, bulir di matanya terjun bebas. Aku tahu dia merindukan buah hatinya. Meskipun dia jijik melihat siapa suaminya. Mengetahui bahwa pria yang dulu dia cinta. Merupakan seorang pembunuh, bahkan lebih parahnya. Membunuh mertuanya, ayah Alona. Antara percaya atau tidak. Dijebak atau tidak. Kenyataan itu terasa begitu pahit. Hatinya hancur, saat ini dia sudah tidak bisa menahan air mata yang terjun bebas.
Aku ingin memeluknya. Memberikan perhatian seperti dulu. Saat kami masih berstatus sebagai suami-istri. Saat rumah tangga yang dibina, baik-baik saja. Saat tidak ada pria lain yang mencoba merebutnya. Sehingga tragedi seperti ini hanya menjadi fiksi. Sebagai mitos yang tidak benar adanya. Aku tahu dia mencintaiku, meskipun hidup serba kekurangan.
Nasi sudah menjadi bubur, bahkan lebih cair. Menjadi sebuah ampas yang tidak mungkin kembali. Aku melihat mobilnya pergi meninggalkan Cafe Antariksa. Aku masih terduduk dengan kesedihan mendalam.
   
"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *