Bermimpilah!
Setinggi Gunung Tujuh
04.00 dini
hari
Bus yang
telah membawaku sekitar 12 jam itu akhirnya berhenti. Lampu yang semula padam,
seketika hidup menerpa penumpang yang telah kelelahan. Aku pandang Dinda, saat
itu tubuhnya sangat letih. Di peluknya boneka doraemon yang selalu dibawa
kemana-mana. Perlahan aku sentuh rambutnya, mencoba menyadarkannya dari mimpi
indah. Sekaligus berpamitan untuk beberapa waktu. Dinda tetap tidak
tersadarkan, kegiatan lebih dari seminggu di Sumatera Barat membuatnya begitu
letih.
Seorang pria
datang ke arahku. Badannya besar, hitam, perutnya buncit dan wajahnya juga
tampak begitu kelelahan. “Mas, kita sudah sampai” ternyata suara pria itu
begitu lembut dan halus. Tidak sesuai dengan struktur tubuh yang begitu
menyeramkan. Tanpa banyak berkata aku lekas mengambil ransel yang berada di
kabin atasku. Bersamaan dengan pria itu aku pergi meninggalkan Dinda sendiri
yang masih bermimpi indah.
Avanza silver
sudah menantiku sejak 15 menit yang lalu. Ayah sengaja untuk bangun pagi dan
menjemputku di terminal. Keluarga di rumah sudah menanti kehadiranku. Satu
semester aku habiskan untuk menuntut ilmu di kampus. Mata perkuliahan yang
padat, memaksaku untuk tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Hari ini aku
sempatkan segalanya, Ibu menantiku bersama dengan mie instan yang siap makan.
Pagi buta ini
kami sibuk menyantap masakan ibu, sembari menonton semua kegiatanku di tv. Aku sengaja merekamnya menggunakan Handycam yang sudah berusia tujuh tahun.
Selalu setia merekam seluruh cerita yang pernah aku lewati. “bu, Tama mengajak
Reza pergi ke kerinci.” Belum genap satu jam aku di rumah. Aku beranikan
pernyataan itu hadir di tengah-tengah kami. “mau ngapain?” Wajah ibu mulai
mengkerut. Dia meletakkan mangkuk mie itu di atas meja.
“Sudah lama
kami mau daki gunung tujuh, bu” Ibu semakin kaget. Dia terheran-heran mendengar
keinginanku yang berbahaya. “Reza, cuaca lagi tidak bagus.” Aku meneruskan
makan sembari mendengar perkataan ibu “Ibu mengizinkan, coba tanyakan pada
temanmu apa tidak berbahaya?” Dengan segala pertimbangan. Kami sudah
memutuskannya, kondisi cuaca memang sudah diprediksi. Terkadang kenyataan tidak
sesuai khayalan. Resiko yang ada sudah ditelisik dengan matang.
“Yasudah,
pergilah kebetulan nenek juga ada di Kerinci. Kalian tidur disana saja, biar
semua kebutuhan disiapkan oleh keluarga di Kerinci.” Aku tersenyum tipis. Sadar
meskipun ibu membolehkan, tapi masih ada sedikit kerinduan yang belum terbalas.
“Kapan mau berangkatnya?” Aku mengambil ponsel, membuka pesan yang dikirim oleh
Tama. “Hari Jumat sore bu.” Dua hari lagi, aku kembali berangkat. Mewujudkan
mimpi yang telah lama direncanakan. Tanpa tindakan, sekaranglah waktu yang
tepat untuk menghadirkannya kembali.
Ibu hanya
mengangguk, itu bertanda dia memperbolehkan. Aku sedikit lega, sebab aku pulang
tidak bisa berbuat banyak. Kemudian pergi kembali tanpa meninggalkan tindakan
yang mengesankan. Bagiku masih ada banyak mimpi yang belum terealisasi. Masa
remaja ini adalah saat yang tepat. Untuk melaksanakan tindakan, sebelum usia
menahan kaki yang rapuh.
₪₪₪₪
Aku, Tama,
Tio, dan Usar sudah berkeliling selama satu jam. Bertamu di seluruh loket,
bertanya dan bernegosiasi mengenai tiket menuju Kerinci. Kami benar-benar
melaksanakan penghematan. Membandingkan loket satu dan lainnya. Berbeda
pendapat terkadang terjadi pada kami. Ada yang menginginkan kenyamanan dengan
harga yang mahal. Tapi Usar meyakinkan kami dengan salah satu loket menawarkan
harga murah. Usar bercerita jika mobilnya itu nyaman. Full AC dan pastinya tidak
kalah mewah dengan loket yang harga mahal itu.
Kami
memantapkan pilihan pada loket yang menawarkan harga murah itu. Kami berangkat
pukul 19.00 dari Jambi menuju Kerinci. Ini adalah pengalaman pertama bagi Tio,
Tama dan Usar untuk bertualang di Kabupaten yang memiliki semboyan Sakti Alam
Kerinci. Sayang kami tidak bisa menikmati perjalanan karena suasana alam sangat
gelap. AC alami yang bersumber dari
luar jendela. Membuat aku mengantuk, jujur aku orangnya tidak bisa naik mobil
terlalu jauh. Bisa-bisa membuat aku mabuk perjalanan.
Aku duduk di
sebelah ibu dan anaknya. Anak kecilnya kelihatan takut saat melihatku. Menatap
seperti memandangi seorang penculik kelas kakap. Sampai-sampai anak itu
berpegangan pada ibunya. Padahal wajahku biasa-biasa saja, bahkan kata orang
aku ganteng (meskipun terpaksa). Aku mendengar lagu-lagu pengantar tidur dari
MP3 yang mulai rusak. MP3 milikku tidak memiliki baterai. Untuk menghidupkannya
dibutuhkan bantuan powerbank guna
menambah daya.
Usar mulai
gelisah, mobil pilihan ini tidak sesuai angan-angan. Dia mulai mual dan
sebentar lagi pasti akan mabuk. Jalan yang berliku sekaligus sempit menjadi
sensasi tersendiri. Kami tidak bisa tidur dibuatnya. Terlebih lagi supir mobil
yang melaju dengan kecepatan tinggi. Kami seperti naik halilintar. Terpental
kemana-mana saat kelokan ataupun jalan berlubang.
₪₪₪₪
Setelah lama aku menikmati
tidurku yang ekstrim. Aku terbangun karena rem mendadak menghindari lubang. Kami
tiba di Tanjung Pauh Mudik, tepatnya tempat keluargaku tinggal. Cuaca disini
sangat dingin, tiga temanku tampak menggigil di balik selimut. Tante Sukma
membuatkan kami teh hangat. Hari pertama ini memberikan kesan tersendiri bagi
temanku “DINGIN”. Kami berbincang seharian melepas penat. Bercerita mengenai
pengalaman yang pernah ada. Untuk memanaskan suasana, kemudian seluruh keluarga
besarku mendengarkannya.
Tio dan Usar sangat suka
mengobrol. Perkataan mereka menjadi serius, meskipun kebenarannya perlu
dipertanyakan. Setelah berlarut dalam obrolan yang tak memiliki ujung. Kami
menyempatkan untuk berkeliling menggunakan motor milik tante. Menikmati suasana
alam yang begitu ramah menyambut kami. Hamparan sawah yang hijau lengkap dengan
orang-orangannya dan burung sesekali hinggap lalu terbang. Mampu menyihir mata
untuk tetap terpaku oleh objek itu.
Sekelilingnya ada pagar tinggi
yang disebut bukit. Kami seperti berada dalam benteng yang luas. Berada di
negeri yang kaya dengan wisata alamnya. Danau kerinci meningkatkan kadar
kekaguman dari dalam darah. Sehingga meledak dalam ungkapan “luar biasa”. Hujan
yang sedari tadi mengguyur perjalanan kami. Meskipun jaket tebal yang kami
pakai tidak cukup untuk menyembunyikan dingin. Kami sangat menikmatinya.
Pohon pinus yang berjajar rapi
menjadi atap bagi kami berteduh. Berhenti untuk mengabadikan momen berharga. Naik
ke sebuah rumah kayu bermuatan tidak lebih dari 7 orang. Menatap air yang
berjatuhan di atas atap. Tetesan itu aku rekam dalam Handycam tua. Tetesan itu menjadi sebuah keindahan tersendiri, di negeri
yang hanya dapat aku datangi sesekali saja.
₪₪₪₪
Kami ngaret dua jam dari rencana
awal. Keberangkatan itu baru terlaksana pukul 09.00. Aku mengajak Sandi untuk
turut mendaki bersama kami hari ini. Sandi sudah berpengalaman, dia bahkan
sudah tiga kali mendaki gunung kerinci. Jadi dia pasti tau persis kondisi di
gunung tujuh, yang tingginya di bawah gunung Kerinci. Style kami seperti orang yang ingin bermain di Mall. Memakai kemeja dan celana jeans
pensil. Kami tidak kelihatan seperti orang yang mau mendaki gunung. Lebih
tepatnya keliatan seperti wisatawan yang ingin berbelanja ketimbang mendaki.
Untuk sampai di lokasi pendakian
membutuhkan waktu tiga jam. Satu-satunya yang tau jalan kesana adalah Sandi. Aku
berboncengan dengan Sandi memimpin perjalanan. Kami berkonvoi layaknya penjelajah
yang ahli. Rupanya minyak motor kami sedang krisis, akhirnya berhenti di sebuah
pom untuk mengisi minyak dan istirahat. Disana tanpa disangka kami bertemu
Oman, teman SMA yang lama tidak berjumpa. Perjumpaan ini tidak pernah
direncanakan. Begitu pula hidup, tidak pernah tau apa yang selanjutnya terjadi.
Kami berjalan tanpa berpikir
untuk tau kedepannya. Membiarkannya menjadi sebuah misteri, sekaligus rasa
penasaran untuk dipecahkan. Hanya menikmati seluruhnya perlahan. Mengomentari
perjalanan yang sudah berlalu. Saat sampai dititik ini, semua mata bertakjub. Hamparan
daun teh mewarnai bukit yang begitu luas. Mata tidak pernah puas memandang kiri
dan kanan. Kami dikepung oleh dahsyatnya alam. Suasana ini belum pernah
dirasakan sebelumnya. Aku tidak pernah lepas dari Handycam tua, tidak ingin ketinggalan untuk merekam momentum luar
biasa ini.
Di ujung belokan, tampak berdiri
kokoh Gunung Kerinci. Seperti tiang yang menopang langit. Kondisi cuaca sedang
tidak bagus, kabut menyelimutinya. Kami tidak bisa melihat puncak gunung yang
menjadi identitas Kerinci bahkan Jambi. Setelah melewati patung macan,
tiba-tiba hujan menyergap kami. Semakin deras, pada akhirnya kami menyerah dan
berhenti di sebuah toko. Kesempatan ini juga kami manfaatkan untuk membeli nasi
bungkus. Setelah sampai puncak kami berencana untuk makan bersama.
Setengah jam kami menanti, tidak
ada perubahan yang terjadi. Hujan tetap menyergap, akhirnya kami melanjutkan
perjalanan di bawah derasnya hujan. Sandi mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.
Melewati tempat wisata yang kemarin kami ceritakan “Rawa Bento”. Sandi
dengan sigap membelokkan motor ke sebuah
lorong. Sampai disana, seketika dia berhenti karena melihat seorang temannya.
“Gunung tujuh masih jauh?” pertanyaan itu muncul dari mulut Sandi. “Kalian
salah jalan, bukan lorong ini. Tapi lorong setelah ini.” Ujar orang yang
misterius itu. Aku terkejut, ternyata
kami salah jalan.
Mendengar pernyataan seseorang
yang tidak aku kenal. Sandi bergegas memutar balik motor itu. Begitu pula dengan
Tio, Tama, dan Usar yang mengikuti kami dari tadi. Secepat kilat motor itu
melaju di bawah terpaan hujan. Kilat sesekali menyambar, aku melihat segaris
menyambar ke atas Gunung Kerinci. Kami sampai ke lokasi pendakian Gunung Tujuh.
Kami memarkirkan motor di tempat yang aman. Melanjutkan perjalanan menggunakan
mobil gerobak. Pada akhirnya kami siap untuk mendaki sebuah mimpi.
Mendaki gunung adalah pengalaman
pertama bagi kami, kecuali Sandi. Aku melihat pendaki lain menggendong tas
besar dan perlengkapan lengkap. Menggunakan baju kaos, sarung tangan dan
perlengkapan lainnya. Mereka bingung melihat kami menggunakan kemeja, celana jeans dan tas sandang. Tas sandang itu
berisi penuh dengan nasi bungkus, gorengan dan air mineral. Volumenya menjadi
berat, sehingga pundakku menjadi sakit. Untuk membawanya kami bahkan harus
bergantian. Setiap dua patok, tas itu selalu berpindah orang. Sampai akhirnya
menyadari, bahwa aku salah bawa tas.
Sebagai pemula ini menjadi sebuah
pembelajaran bagi kami. Medan yang ditempuh juga sangat berat. Kami harus
mendaki jalan yang curam serta tinggi. Hujan menyebabkan tanahnya menjadi
lumpur sehingga licin untuk di daki. Kami harus mendaki menggunakan mantel
hujan untuk menghilangkan dingin. Ada ide gila aku untuk mendaki menggunakan helm. Untung saja tidak jadi, karena
nanti menjadi bahan tertawaan.
Kami sudah sampai di pos ke-dua. Semuanya
begitu letih, terlebih lagi dengan Usar. Dia bahkan sempoyongan untuk mendaki. Aku
khawatir tetapi juga lucu melihatnya. Ekspresinya datar, berjalan sempoyongan
seperti orang mabuk miras. Aku merekamnya untuk dijadikan bahan film pendekku. Ya
tuhan, kami kehabisan air dan sangat dehidrasi. Ditengah belantara hutan ini,
tidak ada warung untuk membeli air.
“Di atas ada danau gunung tujuh,
kita ambil saja airnya untuk minum.” Aku terkejut mendengar perkataan Sandi
“Kamu serius, San?” Sandi mengangguk. Mukanya serius aku terdiam dan
meng-iyakan rencana itu. Terus mendaki dengan sisa tenaga yang ada. Kaki penat
serta sepatu sudah berat ditempeli lumpur. Langkah kami semakin berat, ini
adalah mimpi yang telah dicanangkan sejak masih kelas XI. Keinginan ini tetap
menggebu meskipun baru terlaksana saat ini. Usia yang tidak semuda dulu, serta
kondisi fisik yang berbeda. Kami tetap semangat, bahkan saat sampai pada patok
bertulisan “21”. Kami sempatkan untuk berfoto mengingat kembali masa-masa SMA
saat itu. Kami adalah angkatan ke-21 di SMA, keluarga keduaku saat tinggal di
Asrama.
Sampai kami di puncak gunung
tujuh, setelah ini kami harus melewati penurunan yang curam. Hujan membuatnya
semakin susah untuk di langkah. Apa yang menjadi keinginan kami sejak dulu ada
di depan mata. Kami mempercepat langkah, aku tidak teliti dan tersandung oleh
akar tumbuhan. Beruntung Tama sigap menarik bajuku, Handycam milikku terbentur batu besar. Beruntung nasib baik
menimpaku, aku tidak apa-apa begitu juga Handycamku.
Kami berpegangan di akar pohon,
melompati lubang. Sekitar kami hanya ada lembah tanpa dasar. Air terjun
mengalir deras, bahkan tidak tau ujungnya dimana. Dengan sekali meluncur karena
jalannya licin. Kami sampai di sebuah negeri yang terasa asing. Terkubur oleh
rimba dan perbukitan. Sebuah harta karun yang selalu dicari bajak laut. Kamilah
bajak laut pencarinya, sekarang kami mendapatkannya.
Danau Gunung Tujuh, memberi aura
yang luar biasa. Arwahnya mengalir dalam darahku. Seumur hidup, inilah kali
pertama aku melihat danau seperti ini. Butuh perjuangan dan mimpi
bertahun-tahun untuk menaklukkannya. Melawan perompak yang disebut “ketakutan”
begitu pula rintangan yang ada. Aku
menghela nafas panjang, mimpi kami terselesaikan. Tio, Usar dan Tama
tidak berkedip sedikitpun. Pengalaman berharga dalam hidup untuk menggapai
sebuah mimpi.
Aku melihat tulisan di sebuah
batang pohon “Bermimpilah Setinggi Gunung Tujuh.” Dari hal sederhana dapat
menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Menjadikannya proses, untuk mimpi yang
lebih besar. Sesuatu yang disangka kecil ternyata amat sulit untuk diraih. Kami
berhasil menggapai mimpi ini. Kami sangat puas, kemudian menggunakan rakit dengan
membayar Rp. 10.000/orang berlayar ke tengah danau. Nafas Danau Gunung Tujuh
semakin terasa. Kebeningannya tetap terjaga, bukit yang berbentuk aneh menjadi
daya tarikku.
Aku tidak pernah berhenti merekam
momen ini. Mengabadikannya sebagai hal luar biasa dalam hidup. Mempelajari
makna yang terkandung di dalamnya. Sandi mengeluarkan botol kosong dari dalam
tas. Mengisi air danau itu, sebagai persiapan untuk turun nanti. Aku pikir
Sandi bercanda, ternyata dia memang serius. Aku menurutinya saja sebab dia lebih
berpengalaman dalam mendaki. Kami sempatkan mengambil beberapa gambar dengan
ponsel. Berfoto bersama sebagai bukti nyata.
Setelah puas menikmati surga ini.
Kemudian menyantap nasi bungkus di pinggir air terjun. Akhirnya pukul 16.00
kami melanjutkan perjalanan untuk turun. Membutuhkan waktu yang lama pula.
Sekitar 3 jam berjalan kaki dengan medan yang berat akan kami tempuh. Kami
tidak membawa tenda untuk menginap, padahal malam ini adalah tahun baru. Kami
terpaksa untuk pulang hari.
Waktu terus berjalan, saat
maghrib tiba kami bahkan belum sampai di bawah. Lokasi pendakian terasa sepi,
hanya kami berlima yang berusaha untuk turun sebelum malam semakin gelap. Bermodal
air yang diambil dari danau. Kami secepatnya melangkah di tengah hujan.
Melewati medan berat dan licin. Pada akhirnya tepat pukul 19.15 kami sampai di
bawah. Disaat bersamaan kabut dari gunung Kerinci sudah tidak ada.
Ya tuhan, kami dapat melihat
gunung itu sepenuhnya. Betapa besarnya, betapa tingginya. Dia seperti berkuasa
di tanah ini. Segumpal tanah dari surga. Puncak gunung Kerinci terlihat jelas,
dan kami ketakutan saat melihatnya. Membayangkan jika suatu saat nanti kami
akan berjuang menaklukkan Gunung itu. Dengan ragu-ragu dan menelan ludah, aku
berkata kepada mereka:
“Itu adalah tujuan dan mimpi kita!
Suatu saat nanti.”
![]() |
| "Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata" |


No comments:
Post a Comment