Berkarya dengan rasa Memilih dengan selera Bertindak dengan nyata

BUKU NAKAL

Friday, February 16, 2018

Bermimpilah Setinggi Gunung 7

Bermimpilah! 
Setinggi Gunung Tujuh

04.00 dini hari

Bus yang telah membawaku sekitar 12 jam itu akhirnya berhenti. Lampu yang semula padam, seketika hidup menerpa penumpang yang telah kelelahan. Aku pandang Dinda, saat itu tubuhnya sangat letih. Di peluknya boneka doraemon yang selalu dibawa kemana-mana. Perlahan aku sentuh rambutnya, mencoba menyadarkannya dari mimpi indah. Sekaligus berpamitan untuk beberapa waktu. Dinda tetap tidak tersadarkan, kegiatan lebih dari seminggu di Sumatera Barat membuatnya begitu letih.
Seorang pria datang ke arahku. Badannya besar, hitam, perutnya buncit dan wajahnya juga tampak begitu kelelahan. “Mas, kita sudah sampai” ternyata suara pria itu begitu lembut dan halus. Tidak sesuai dengan struktur tubuh yang begitu menyeramkan. Tanpa banyak berkata aku lekas mengambil ransel yang berada di kabin atasku. Bersamaan dengan pria itu aku pergi meninggalkan Dinda sendiri yang masih bermimpi indah.
Avanza silver sudah menantiku sejak 15 menit yang lalu. Ayah sengaja untuk bangun pagi dan menjemputku di terminal. Keluarga di rumah sudah menanti kehadiranku. Satu semester aku habiskan untuk menuntut ilmu di kampus. Mata perkuliahan yang padat, memaksaku untuk tidak bisa berkumpul dengan keluarga. Hari ini aku sempatkan segalanya, Ibu menantiku bersama dengan mie instan yang siap makan.
Pagi buta ini kami sibuk menyantap masakan ibu, sembari menonton semua kegiatanku di tv. Aku sengaja merekamnya menggunakan Handycam yang sudah berusia tujuh tahun. Selalu setia merekam seluruh cerita yang pernah aku lewati. “bu, Tama mengajak Reza pergi ke kerinci.” Belum genap satu jam aku di rumah. Aku beranikan pernyataan itu hadir di tengah-tengah kami. “mau ngapain?” Wajah ibu mulai mengkerut. Dia meletakkan mangkuk mie itu di atas meja.
“Sudah lama kami mau daki gunung tujuh, bu” Ibu semakin kaget. Dia terheran-heran mendengar keinginanku yang berbahaya. “Reza, cuaca lagi tidak bagus.” Aku meneruskan makan sembari mendengar perkataan ibu “Ibu mengizinkan, coba tanyakan pada temanmu apa tidak berbahaya?” Dengan segala pertimbangan. Kami sudah memutuskannya, kondisi cuaca memang sudah diprediksi. Terkadang kenyataan tidak sesuai khayalan. Resiko yang ada sudah ditelisik dengan matang.
“Yasudah, pergilah kebetulan nenek juga ada di Kerinci. Kalian tidur disana saja, biar semua kebutuhan disiapkan oleh keluarga di Kerinci.” Aku tersenyum tipis. Sadar meskipun ibu membolehkan, tapi masih ada sedikit kerinduan yang belum terbalas. “Kapan mau berangkatnya?” Aku mengambil ponsel, membuka pesan yang dikirim oleh Tama. “Hari Jumat sore bu.” Dua hari lagi, aku kembali berangkat. Mewujudkan mimpi yang telah lama direncanakan. Tanpa tindakan, sekaranglah waktu yang tepat untuk menghadirkannya kembali.
Ibu hanya mengangguk, itu bertanda dia memperbolehkan. Aku sedikit lega, sebab aku pulang tidak bisa berbuat banyak. Kemudian pergi kembali tanpa meninggalkan tindakan yang mengesankan. Bagiku masih ada banyak mimpi yang belum terealisasi. Masa remaja ini adalah saat yang tepat. Untuk melaksanakan tindakan, sebelum usia menahan kaki yang rapuh.
₪₪₪₪
Aku, Tama, Tio, dan Usar sudah berkeliling selama satu jam. Bertamu di seluruh loket, bertanya dan bernegosiasi mengenai tiket menuju Kerinci. Kami benar-benar melaksanakan penghematan. Membandingkan loket satu dan lainnya. Berbeda pendapat terkadang terjadi pada kami. Ada yang menginginkan kenyamanan dengan harga yang mahal. Tapi Usar meyakinkan kami dengan salah satu loket menawarkan harga murah. Usar bercerita jika mobilnya itu nyaman. Full AC dan pastinya tidak kalah mewah dengan loket yang harga mahal itu.
Kami memantapkan pilihan pada loket yang menawarkan harga murah itu. Kami berangkat pukul 19.00 dari Jambi menuju Kerinci. Ini adalah pengalaman pertama bagi Tio, Tama dan Usar untuk bertualang di Kabupaten yang memiliki semboyan Sakti Alam Kerinci. Sayang kami tidak bisa menikmati perjalanan karena suasana alam sangat gelap. AC alami yang bersumber dari luar jendela. Membuat aku mengantuk, jujur aku orangnya tidak bisa naik mobil terlalu jauh. Bisa-bisa membuat aku mabuk perjalanan.
Aku duduk di sebelah ibu dan anaknya. Anak kecilnya kelihatan takut saat melihatku. Menatap seperti memandangi seorang penculik kelas kakap. Sampai-sampai anak itu berpegangan pada ibunya. Padahal wajahku biasa-biasa saja, bahkan kata orang aku ganteng (meskipun terpaksa). Aku mendengar lagu-lagu pengantar tidur dari MP3 yang mulai rusak. MP3 milikku tidak memiliki baterai. Untuk menghidupkannya dibutuhkan bantuan powerbank guna menambah daya.
Usar mulai gelisah, mobil pilihan ini tidak sesuai angan-angan. Dia mulai mual dan sebentar lagi pasti akan mabuk. Jalan yang berliku sekaligus sempit menjadi sensasi tersendiri. Kami tidak bisa tidur dibuatnya. Terlebih lagi supir mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Kami seperti naik halilintar. Terpental kemana-mana saat kelokan ataupun jalan berlubang.
₪₪₪₪
Setelah lama aku menikmati tidurku yang ekstrim. Aku terbangun karena rem mendadak menghindari lubang. Kami tiba di Tanjung Pauh Mudik, tepatnya tempat keluargaku tinggal. Cuaca disini sangat dingin, tiga temanku tampak menggigil di balik selimut. Tante Sukma membuatkan kami teh hangat. Hari pertama ini memberikan kesan tersendiri bagi temanku “DINGIN”. Kami berbincang seharian melepas penat. Bercerita mengenai pengalaman yang pernah ada. Untuk memanaskan suasana, kemudian seluruh keluarga besarku mendengarkannya.
Tio dan Usar sangat suka mengobrol. Perkataan mereka menjadi serius, meskipun kebenarannya perlu dipertanyakan. Setelah berlarut dalam obrolan yang tak memiliki ujung. Kami menyempatkan untuk berkeliling menggunakan motor milik tante. Menikmati suasana alam yang begitu ramah menyambut kami. Hamparan sawah yang hijau lengkap dengan orang-orangannya dan burung sesekali hinggap lalu terbang. Mampu menyihir mata untuk tetap terpaku oleh objek itu.
Sekelilingnya ada pagar tinggi yang disebut bukit. Kami seperti berada dalam benteng yang luas. Berada di negeri yang kaya dengan wisata alamnya. Danau kerinci meningkatkan kadar kekaguman dari dalam darah. Sehingga meledak dalam ungkapan “luar biasa”. Hujan yang sedari tadi mengguyur perjalanan kami. Meskipun jaket tebal yang kami pakai tidak cukup untuk menyembunyikan dingin. Kami sangat menikmatinya.
Pohon pinus yang berjajar rapi menjadi atap bagi kami berteduh. Berhenti untuk mengabadikan momen berharga. Naik ke sebuah rumah kayu bermuatan tidak lebih dari 7 orang. Menatap air yang berjatuhan di atas atap. Tetesan itu aku rekam dalam Handycam tua. Tetesan itu menjadi sebuah keindahan tersendiri, di negeri yang hanya dapat aku datangi sesekali saja.
₪₪₪₪
Kami ngaret dua jam dari rencana awal. Keberangkatan itu baru terlaksana pukul 09.00. Aku mengajak Sandi untuk turut mendaki bersama kami hari ini. Sandi sudah berpengalaman, dia bahkan sudah tiga kali mendaki gunung kerinci. Jadi dia pasti tau persis kondisi di gunung tujuh, yang tingginya di bawah gunung Kerinci. Style kami seperti orang yang ingin bermain di Mall. Memakai kemeja dan celana jeans pensil. Kami tidak kelihatan seperti orang yang mau mendaki gunung. Lebih tepatnya keliatan seperti wisatawan yang ingin berbelanja ketimbang mendaki.
Untuk sampai di lokasi pendakian membutuhkan waktu tiga jam. Satu-satunya yang tau jalan kesana adalah Sandi. Aku berboncengan dengan Sandi memimpin perjalanan. Kami berkonvoi layaknya penjelajah yang ahli. Rupanya minyak motor kami sedang krisis, akhirnya berhenti di sebuah pom untuk mengisi minyak dan istirahat. Disana tanpa disangka kami bertemu Oman, teman SMA yang lama tidak berjumpa. Perjumpaan ini tidak pernah direncanakan. Begitu pula hidup, tidak pernah tau apa yang selanjutnya terjadi.
Kami berjalan tanpa berpikir untuk tau kedepannya. Membiarkannya menjadi sebuah misteri, sekaligus rasa penasaran untuk dipecahkan. Hanya menikmati seluruhnya perlahan. Mengomentari perjalanan yang sudah berlalu. Saat sampai dititik ini, semua mata bertakjub. Hamparan daun teh mewarnai bukit yang begitu luas. Mata tidak pernah puas memandang kiri dan kanan. Kami dikepung oleh dahsyatnya alam. Suasana ini belum pernah dirasakan sebelumnya. Aku tidak pernah lepas dari Handycam tua, tidak ingin ketinggalan untuk merekam momentum luar biasa ini.
Di ujung belokan, tampak berdiri kokoh Gunung Kerinci. Seperti tiang yang menopang langit. Kondisi cuaca sedang tidak bagus, kabut menyelimutinya. Kami tidak bisa melihat puncak gunung yang menjadi identitas Kerinci bahkan Jambi. Setelah melewati patung macan, tiba-tiba hujan menyergap kami. Semakin deras, pada akhirnya kami menyerah dan berhenti di sebuah toko. Kesempatan ini juga kami manfaatkan untuk membeli nasi bungkus. Setelah sampai puncak kami berencana untuk makan bersama.
Setengah jam kami menanti, tidak ada perubahan yang terjadi. Hujan tetap menyergap, akhirnya kami melanjutkan perjalanan di bawah derasnya hujan. Sandi mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Melewati tempat wisata yang kemarin kami ceritakan “Rawa Bento”. Sandi dengan  sigap membelokkan motor ke sebuah lorong. Sampai disana, seketika dia berhenti karena melihat seorang temannya. “Gunung tujuh masih jauh?” pertanyaan itu muncul dari mulut Sandi. “Kalian salah jalan, bukan lorong ini. Tapi lorong setelah ini.” Ujar orang yang misterius itu.  Aku terkejut, ternyata kami salah jalan.
Mendengar pernyataan seseorang yang tidak aku kenal. Sandi bergegas memutar balik motor itu. Begitu pula dengan Tio, Tama, dan Usar yang mengikuti kami dari tadi. Secepat kilat motor itu melaju di bawah terpaan hujan. Kilat sesekali menyambar, aku melihat segaris menyambar ke atas Gunung Kerinci. Kami sampai ke lokasi pendakian Gunung Tujuh. Kami memarkirkan motor di tempat yang aman. Melanjutkan perjalanan menggunakan mobil gerobak. Pada akhirnya kami siap untuk mendaki sebuah mimpi.
Mendaki gunung adalah pengalaman pertama bagi kami, kecuali Sandi. Aku melihat pendaki lain menggendong tas besar dan perlengkapan lengkap. Menggunakan baju kaos, sarung tangan dan perlengkapan lainnya. Mereka bingung melihat kami menggunakan kemeja, celana jeans dan tas sandang. Tas sandang itu berisi penuh dengan nasi bungkus, gorengan dan air mineral. Volumenya menjadi berat, sehingga pundakku menjadi sakit. Untuk membawanya kami bahkan harus bergantian. Setiap dua patok, tas itu selalu berpindah orang. Sampai akhirnya menyadari, bahwa aku salah bawa tas.
Sebagai pemula ini menjadi sebuah pembelajaran bagi kami. Medan yang ditempuh juga sangat berat. Kami harus mendaki jalan yang curam serta tinggi. Hujan menyebabkan tanahnya menjadi lumpur sehingga licin untuk di daki. Kami harus mendaki menggunakan mantel hujan untuk menghilangkan dingin. Ada ide gila aku untuk mendaki menggunakan helm. Untung saja tidak jadi, karena nanti menjadi bahan tertawaan.
Kami sudah sampai di pos ke-dua. Semuanya begitu letih, terlebih lagi dengan Usar. Dia bahkan sempoyongan untuk mendaki. Aku khawatir tetapi juga lucu melihatnya. Ekspresinya datar, berjalan sempoyongan seperti orang mabuk miras. Aku merekamnya untuk dijadikan bahan film pendekku. Ya tuhan, kami kehabisan air dan sangat dehidrasi. Ditengah belantara hutan ini, tidak ada warung untuk membeli air.
“Di atas ada danau gunung tujuh, kita ambil saja airnya untuk minum.” Aku terkejut mendengar perkataan Sandi “Kamu serius, San?” Sandi mengangguk. Mukanya serius aku terdiam dan meng-iyakan rencana itu. Terus mendaki dengan sisa tenaga yang ada. Kaki penat serta sepatu sudah berat ditempeli lumpur. Langkah kami semakin berat, ini adalah mimpi yang telah dicanangkan sejak masih kelas XI. Keinginan ini tetap menggebu meskipun baru terlaksana saat ini. Usia yang tidak semuda dulu, serta kondisi fisik yang berbeda. Kami tetap semangat, bahkan saat sampai pada patok bertulisan “21”. Kami sempatkan untuk berfoto mengingat kembali masa-masa SMA saat itu. Kami adalah angkatan ke-21 di SMA, keluarga keduaku saat tinggal di Asrama.
Sampai kami di puncak gunung tujuh, setelah ini kami harus melewati penurunan yang curam. Hujan membuatnya semakin susah untuk di langkah. Apa yang menjadi keinginan kami sejak dulu ada di depan mata. Kami mempercepat langkah, aku tidak teliti dan tersandung oleh akar tumbuhan. Beruntung Tama sigap menarik bajuku, Handycam milikku terbentur batu besar. Beruntung nasib baik menimpaku, aku tidak apa-apa begitu juga Handycamku.
Kami berpegangan di akar pohon, melompati lubang. Sekitar kami hanya ada lembah tanpa dasar. Air terjun mengalir deras, bahkan tidak tau ujungnya dimana. Dengan sekali meluncur karena jalannya licin. Kami sampai di sebuah negeri yang terasa asing. Terkubur oleh rimba dan perbukitan. Sebuah harta karun yang selalu dicari bajak laut. Kamilah bajak laut pencarinya, sekarang kami mendapatkannya.
Danau Gunung Tujuh, memberi aura yang luar biasa. Arwahnya mengalir dalam darahku. Seumur hidup, inilah kali pertama aku melihat danau seperti ini. Butuh perjuangan dan mimpi bertahun-tahun untuk menaklukkannya. Melawan perompak yang disebut “ketakutan” begitu pula rintangan yang ada. Aku  menghela nafas panjang, mimpi kami terselesaikan. Tio, Usar dan Tama tidak berkedip sedikitpun. Pengalaman berharga dalam hidup untuk menggapai sebuah mimpi.
Aku melihat tulisan di sebuah batang pohon “Bermimpilah Setinggi Gunung Tujuh.” Dari hal sederhana dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Menjadikannya proses, untuk mimpi yang lebih besar. Sesuatu yang disangka kecil ternyata amat sulit untuk diraih. Kami berhasil menggapai mimpi ini. Kami sangat puas, kemudian menggunakan rakit dengan membayar Rp. 10.000/orang berlayar ke tengah danau. Nafas Danau Gunung Tujuh semakin terasa. Kebeningannya tetap terjaga, bukit yang berbentuk aneh menjadi daya tarikku.
Aku tidak pernah berhenti merekam momen ini. Mengabadikannya sebagai hal luar biasa dalam hidup. Mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Sandi mengeluarkan botol kosong dari dalam tas. Mengisi air danau itu, sebagai persiapan untuk turun nanti. Aku pikir Sandi bercanda, ternyata dia memang serius. Aku menurutinya saja sebab dia lebih berpengalaman dalam mendaki. Kami sempatkan mengambil beberapa gambar dengan ponsel. Berfoto bersama sebagai bukti nyata.
Setelah puas menikmati surga ini. Kemudian menyantap nasi bungkus di pinggir air terjun. Akhirnya pukul 16.00 kami melanjutkan perjalanan untuk turun. Membutuhkan waktu yang lama pula. Sekitar 3 jam berjalan kaki dengan medan yang berat akan kami tempuh. Kami tidak membawa tenda untuk menginap, padahal malam ini adalah tahun baru. Kami terpaksa untuk pulang hari.
Waktu terus berjalan, saat maghrib tiba kami bahkan belum sampai di bawah. Lokasi pendakian terasa sepi, hanya kami berlima yang berusaha untuk turun sebelum malam semakin gelap. Bermodal air yang diambil dari danau. Kami secepatnya melangkah di tengah hujan. Melewati medan berat dan licin. Pada akhirnya tepat pukul 19.15 kami sampai di bawah. Disaat bersamaan kabut dari gunung Kerinci sudah tidak ada.
Ya tuhan, kami dapat melihat gunung itu sepenuhnya. Betapa besarnya, betapa tingginya. Dia seperti berkuasa di tanah ini. Segumpal tanah dari surga. Puncak gunung Kerinci terlihat jelas, dan kami ketakutan saat melihatnya. Membayangkan jika suatu saat nanti kami akan berjuang menaklukkan Gunung itu. Dengan ragu-ragu dan menelan ludah, aku berkata kepada mereka:

“Itu adalah tujuan dan mimpi kita!
Suatu saat nanti.”


"Berkarya dengan rasa, Memilih dengan selera, Bertindak dengan nyata"

No comments:

Post a Comment

SISTEM KOMENTAR

PENULIS

"Sudikah Dirimu Setia Menantiku" NAFRI DWI BOY penulis buku "Sudikah Dirimu Setia Menantiku". Harga Rp. 50.000

KOMENTAR

HUBUNGI KAMI

Name

Email *

Message *